共有

Persenjataan

作者: Omeye
last update 最終更新日: 2021-09-15 10:52:52

Permukaan Sungai Brantas terlihat tenang, tanda kedalaman sungai yang bermata air di Gunung Arjuno itu sulit diduga. Seperti sulitnya menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di kepala warga Kediri yang terpaksa harus mengungsi, berlindung, dan bersembunyi di tempat aman. Jalanan di sepanjang pinggiran kota hanya diisi lalu-lalang prajurit yang terlihat waspada dan siaga.

Lintang Abang dan Parasu sudah berada di tapal batas kota. Tak sulit bagi mereka untuk melewati penjagaan. Prajurit penjaga tak melihat keanehan dari keduanya sebagai warga dusun yang sedang mencari perlindungan dari kekejaman para rampok bekas laskar Singasari. Para prajurit itu bahkan menyarankan agar keduanya bersembunyi di balik Bukit Maskumambang atau di Pegunungan Klotok bersama ribuan warga dusun lainnya.

"Kek apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?" tanya Parasu setelah melangkah jauh dari gerbang perbatasan.

"Ceritanya sangat panjang, Rasu. Nanti di suatu masa, kamu juga akan mengerti..."

"Ah nanti di suatu masa...nanti di suatu masa terus...capek deh...Pokoknya Rasu maunya sekarang, nggak mau nanti di suatu masa lagi," rengek Parasu.

"Iya-iya, baiklah cucuku yang paling bawel," tukas Lintang Abang.

"Ah Kakek, buruan dong sudah nggak sabar nih," Parasu merajuk.

"Rasu, inti cerita ini sebenarnya adalah tentang kekuasaan. Kekuasaan yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan tak mudah dipadamkan. Tapi, tak hanya saat ini, nanti di suatu masa, kisah-kisah seperti itu akan berulang kembali seperti roda pedati,"

"Ah, kalimat itu lagi, itu lagi, nanti di suatu masa bla bla bla...Bosan ah Kek. Teruskan ceritanya, Kek. Tapi, nggak pakai 'nanti di suatu masa' ya," celetuk Parasu.

Lintang Abang tertawa terkekeh-kekeh. Ia pun meneruskan ceritanya.

"Kakek awali cerita ini melalui tokoh bernama Ken Arok. Ia berkedudukan sebagai akuwu atau bupati di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Sang Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kediri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka sekitar tahun 1144 Saka, Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di Dusun Ganter.

Dengan kemenangannya, Ken Arok dapat menguasai seluruh kekuasaan Kerajaan Kediri dan menyatakan dirinya sebagai raja dari kerajaan baru, Singasari, dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Sebagai raja pertama Singasari, Ken Arok menandai munculnya dinasti baru, yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra.

Tapi, perebutan kekuasan berdarah tak berhenti sampai di situ. Tak lama setelah memerintah Singasari, Ken Arok dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif Anusapati. Anusapati merupakan anak tiri Ken Arok dengan Ken Dedes. Anusapati merasa yakin sebagai anak kandung Ken Dedes dengan Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul Ametung.

Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dari istri keduanya, Ken Umang. Tohjaya kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati. Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1149 hingga 1190 Saka dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara."

Lintang Abang menghentikan ceritanya. Tinggal sepelemparan batu ia dan Parasu sampai di kaki bukit Maskumambang. Puluhan orang terlihat berkerumun di depan sebuah goa batu. Mereka terlihat menonton perkelahian antarprajurit Kediri yang berebut sesuatu yang menancap di dinding goa. Sebuah pedang. Gagangnya terbuat dari perak dengan ukiran naga berwarna hitam. Namun batang hingga ujung pedang tak terlihat karena terbenam di dinding batu hitam.

Tiba-tiba seorang berjubah layaknya brahmana dengan jenggot memutih menyeruak dari kerumunan yang mulai beringas. Ia mengenakan topi caping amat lebar sehingga wajahnya tak bisa terlihat jelas. "Sudah...sudah...saudaraku, jangan memperebutkan sesuatu yang bukan milik kita hingga harus mengorbankan nyawa," teriak sosok berjubah brahmana.

"Lalu bagaimana sebaiknya Brahmana? Karena semua orang di sini merasa memilikinya?" cetus seorang prajurit bertubuh gempal.

Sosok berjubah brahmana tersenyum tipis, "Baiklah agar adil, semua harus mendapat kesempatan bergilir. Siapa yang mampu mencabut pedang itu, berarti dia pemiliknya dan siapapun tak berhak mengambil pedang itu dari tangan pemiliknya!"

Satu jam berlalu. Sebelas prajurit telah berusaha mencabut pedang itu, tapi tak ada satu pun yang mampu. Wajah mereka dihiasi peluh penuh kekecewaan.

"Baiklah, siapa lagi yang hendak mencoba mencabut pedang itu? Siapa pun boleh, silakan mencoba!" teriak sosok berjubah brahmana sambil mengedarkan pandangan.

Lintang Abang dan Parasu sudah sampai di kerumunan di depan goa. "Kek, Rasu mau mencoba cabut pedang itu," bisik Parasu.

"Hush, buat apa, kita tak membutuhkan pedang," hardik Lintang Abang.

"Tapi Kek, Rasu ingin punya pedang untuk menghadapi gerombolan Begal Timur. Rasu capek berlari dan sembunyi terus. Rasu yakin dengan Gingkang Kijang dan sebuah pedang, Rasu bisa kalahkan para begal itu. BRAHMANA! Saya mau coba!!!" spontan Parasu mengajukan diri.

Lintang Abang kaget sekali, namun ia tak mampu mencegah. Parasu telanjur maju ke depan.

Sosok berjubah brahmana menoleh sesaat ke arah Parasu. Wajah bocah itu sepertinya tak asing bagi dirinya. Tapi buru-buru ia memalingkan wajah dan menutup kepalanya dengan topi caping lebar saat melihat sosok Lintang Abang. Sekilas. ia sempat menggenggam gagang pedang itu sebelum mempersilakan Parasu. "Silakan saja Nak, jika merasa mampu!"

Parasu berlari kecil mendekati dinding goa. Sesaat ia tertegun. Ia seakan tak asing dengan gagang pedang berukir naga hitam itu. Namun ia tak ingin mengingatnya karena pikirannya terpusat untuk mengumpulkan tenaga di kedua tangannya.

Dua tangan Parasu terjulur ke depan, takbutuh waktu lama gagang pedang pun sudah ada dalam genggaman. SREEET!

Pedang itu lolos dari himpitan batu hitam seperti lepas dari sarungnya. Cahaya sangat menyilaukan mata segera terpancar saat Parasu mengangkat pedang ke udara. Cahaya terang itu berasal dari batang pedang yang memantulkan sinar matahari. Kerumunan orang yang ada di sekitar goa segera memicingkan mata. Adapula yang langsung memejamkan mata.

"Pe-pe-pe-dang cahaya!" teriak seorang prajurit yang terlihat paling tua di antara prajurit-prajurit lainnya.

"Pedang cahaya..." gumam sosok berjubah brahmana.

"Pedang itu..." desis Lintang Abang.

Sosok berjubah brahmana mendekati Parasu seraya menepuk pundaknya. "Nak, pedang itu berjodoh denganmu, itu milikmu. Gunakanlah dengan sebaik-baiknya. Sebuah pedang tetaplah pedang, tergantung siapa yang menggunakannya." Usai berujar, sekali loncat sosok berjubah brahmana sudah keluar dari kerumunan.

Di loncatan kedua dan ketiga, tubuhnya sudah berada di separuh puncak bukit Maskumambang. Jubah hitamnya yang lebar berkibar-kibar diterpa angin. Kibaran jubah kian memperlihatkan lengan kanannya yang ternyata buntung.

"Rasu ada-ada saja kamu! Ayo lekas sini!" teriak Lintang Abang. Parasu bergegas menghampiri kakeknya. Wajahnya terlihat riang. Kerumunan orang-orang mulai berkurang.

"Ada apa Kek, kok kelihatannya nggak senang Rasu dapat senjata pusaka? Iri ya, nggak bisa mendapatkannya hayo? Ini pedang hebat lho Kek, kata orang-orang, ini namanya pedang cahaya. Senjata yang sangat terkenal dari daratan Cina," cetus Parasu.

Lintang Abang hanya membisu. Namun matanya tak lepas lekat pada pedang yang digenggam Parasu. Ia lalu menghela napas, "Itu...itu... pedang milik ayahmu yang telah lama hilang, Rasu..."

"Hah!!!? Parasu tersentak.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Titimangsa Parasu   Penutupan Awal

    Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li

  • Titimangsa Parasu   Perasaan

    Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt

  • Titimangsa Parasu   Pembantaian

    Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu

  • Titimangsa Parasu   Persamaan

    Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh

  • Titimangsa Parasu   Penemuan

    1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.

  • Titimangsa Parasu   Perantauan

    BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status