"Apa kabar?" sapaku lagi sambil duduk di kursi kosong di sebelahnya.
"Selalu baik." Dia membalas dengan tersenyum kearahku.
Sempat beberapa menit kami terdiam, sebelum terdengar lagi Dia berkata, "Kapan pulang?" tanyanya sambil menoleh.
"Oh, itu ... dua hari lalu," jawabku. Aku berusaha tersenyum, meski jelas terasa begitu kaku.
"Aku duluan, bye!"
Dia mengatakan itu bersamaan dengan berdiri dari tempat duduk dan langsung melangkah keluar, tanpa menungguku membalas perkataannya. Masih pada posisiku semula, aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan. Entah kenapa ada rasa sedih di sini, aku menyentuh dadaku sendiri.
***
"So, nggak ada rencana untuk stay di sini dan nggak pergi lagi?"
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk, memperhatikan biji selasih dalam gelas minuman, saat mendengar pertanyaan itu. Di depanku, duduk seseorang yang kukenal beberapa bulan ini. Seseorang yang entah bagaimana menjadi dekat dengan tiba-tiba.
Berawal dari perayaan tahun baruan bersama keluarga. Sosoknya hadir di acara itu. Jujur, aku memang menyukainya sejak pandangan pertama. Kemudian aku tau dari sepupuku, bahwa Dia juga sama. Sejak itu aku selalu kepo menanyakan tentangnya pada sepupuku, yang sudah mengenal dia lebih dulu.
"Belum tau," jawabku, "Kenapa?"
"Oh ...." Ada sesuatu tersembunyi dari jawaban singkat itu, yang aku rasakan. Sempat terdiam, lalu kemudian lanjut mengobrol lagi. Tak terasa waktu sudah semakin malam, aku memutuskan untuk pulang.
"Aku anter,” ucapnya yang melihatku berdiri dari kursi.
"Gak usah, aku bisa naek kendaraan umum. Lagipula rumahku dekat aja dari sini," ujarku membalas tawarannya itu.
Tanpa berkata-kata lagi, dia berdiri dan meraih tanganku. Membawaku ke tempat motornya diparkirkan tadi.
"Udah malem, aku yang ngajak kamu keluar. Aku juga harus memastikan kamu pulang dengan selamat." Dia mengatakan itu sembari menaiki motor dan mengisyaratkanku untuk duduk di belakangnya.
Setelah sampai di depan rumah, dia pamit dan melaju dengan cepat. Aku belum merasakan perubahannya saat itu. Hingga selesai membersihkan diri sebelum tidur, tak ada kabar apapun darinya di handphoneku.
'Mungkin dia langsung tidur,' gumamku.
Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Kabar darinya tak pernah ku dengar lagi, selain dari cerita sepupuku. Aku menebak-nebak, entah pada ucapanku yang mana yang menyinggung perasaannya. Hingga sebuah chat singkatpun tak pernah lagi ada darinya untukku sejak saat itu. Dari Sosial Media yang dia punya, aku mengetahui kabar-kabar terbaru tentang dirinya.
Bagaimana dia menjalani hari-hari, juga tentang seorang perempuan yang kemudian aku tau telah menjadi kekasihnya kini. Ada rasa iri pada perempuan itu. Sempat aku membayangkan seandainya aku adalah dia. Namun, seiring berjalannya waktu aku bisa menerima kenyataan itu dan mengabaikannya. Tak pernah lagi aku cari tau kabarnya dari manapun juga.
Setelah dua tahun berlalu, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengannya. Tapi sikapnya tadi, terasa masih sama seperti saat waktu terakhir kali bertemu dulu.
"Mikirin apa, Mbak?"
Aku menoleh ke arah suara yang bertanya padaku. Sepupuku yang cukup dekat denganku selama ini, terlihat berdiri di belakangku dengan menyenderkan badannya pada tembok. Perlahan dia berjalan ke arahku yang kembali membelakanginya tanpa menjawab."Nih,”
Sebungkus rokok putih yang sudah terbuka dengan korek api di atasnya, disodorkan kearahku.
"Kamu ngerokok? Sejak kapan?" tanyaku keheranan. Meski kami dekat, tapi kami memang hampir tak pernah bersama. Itu karna aku selalu keluar kota untuk pekerjaanku."Udah lama, Mbak diem-diem aja ya. Soalnya gak ada yang tau,” jawabnya sambil cekikikan.
"Mbak tadi ketemu Jinan,” Akhirnya, aku membuka obrolan.
"Ho? Di mana?"
"Gereja," jawabku.
Angel sepupuku itu terlihat manggut-manggut mendengar ucapanku.
"Terus?" sambungnya,
"Nggak ada, cuma nyapa aja,” jawabku sambil tersenyum kecut.
Angel yang paling tau saat itu, bahkan mengira aku dan Jinan akan menjadi pasangan kemudian. Keluargaku yang juga hadir pada perayaan tahun baru dulu itu, juga sering menggodaku, membuat kami tersipu malu. Bahkan Angel dan sepupuku yang lain, membuat acara nonton film bareng setelahnya. Hanya agar kami memiliki waktu bersama lebih lama lagi malam itu.
Siapa sangka, semua berakhir sebelum sampai ke tahap lebih dekat. Bahkan aku sendiri masih tak tau penyebabnya hingga saat ini. Di mataku dulu, Jinan sosok yang berwibawa. Dengan tinggi badan 185cm dan berat sekitar 90. Dia terlihat sangat seksi dengan kaca mata minusnya dan pipinya yang sedikit chubby. Sebagai seorang introvert "Katanya", menurutku, dia cukup terbuka kala itu.
Embusan napas berat keluar dari mulutku. Beberapa saat tak ada ucapan dari kami berdua. Sebatang rokok menyala di tangan kami, membuat kami asik dengan lamunan sendiri.
"Mbak di cuekin?!" serunya mengagetkanku tiba-tiba.
"Hahahah ... iya,"
Masih dengan senyum kecut aku menjawabnya."Gak tau, salah apa coba? sampe segitunya,” lanjutku lagi.
Angel manggut-manggut lagi. Gayanya itu membuatku jadi ingin melempar bungkus rokok ke arahnya.
"Dah ah, tidur dulu. Bye!"
Aku meninggalkan Angel begitu saja dan tak peduli dengan suaranya yang memanggilku. Sambil berjalan masuk rumah, aku melambaikan tanganku keatas. Di dalam kamar, aku membuka salah satu sosial media di handphoneku sambil tiduran. Di mana dulu aku chatting dengannya di situ. Masih tertinggal jejak obrolan kami dulu. Aku membaca semuanya dari atas sampai akhir.
Tak kutemukan kata-kata yang janggal atau bisa menyinggung perasaan, dari semua chat yang aku kirimkan padanya. Aku menutup handphoneku dan mulai memikirkannya lagi. Mengingat kejadian bersamanya hingga yang terakhir kali.
"Apa, ya?" Aku bangkit dari tempat tidur, menggaruk kepalaku yang tak gatal. Menggeleng beberapa kali.
"Tau ah, stres gua jadinya!" ucapku sedikit berdesis.Mendadak aku memalingkan pandanganku pada handphoneku lagi.
"Kenapa gak coba chat dia aja?"
Aku meraih handphoneku dan membuka lagi aplikasi chat itu.
"Hai ...." ketikku pada kolom chat. Kemudian aku hapus lagi.
"J, apa kabar?" lama aku pandangi tulisan itu, dan urung lagi mengirimkannya. Hapus lagi.
'Ahh, norak! Ngomong apa, donk?' gumamku dengan kesal.
Kembali aku mencoba mengetikkan kata ke kolom chat kosong itu lagi.
"J, lagi ngapain?"
Suara 'tik tak' dari jarum jam dinding terdengar sangat keras sekali, kali ini. Mungkin hanya perasaanku.
Aku memejamkan mata. Merentangkan tanganku menjauh dari badan, dengan handphone masih kupegang. Kutekan option kirim pada layar handphoneku. Dan, terkirimlah isi chat itu. Aku menjatuhkan handphone dari tanganku ke atas kasur. Kemudian mengambil bantal untuk menutup wajahku keseluruhan.
"Di balas gak ,ya?" ucapku harap-harap cemas.
Kiki, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang beda Ayah. Ayahku sendiri telah meninggal, tak lama setelah aku mengenalnya. Ayah dan Ibuku, berpisah sejak aku masih dalam kandungan. Kedua adikku, Ibu dapatkan dari pernikahannya yang ke dua. Saat itu aku tak ada di sana. Itu karna sejak bayi, Kakek dan Nenek di kampung yang merawatku. Bahkan aku mengira kedua orang tua itu adalah Ayah dan Ibuku. Dan, inilah kisah perjalananku. Kembali pada beberapa belas tahun yang lalu. Pagi ini, masih sama dengan pagi sebelumnya. Masih dengan mengantuk, aku berjalan menuju sungai yang tak jauh dari Rumah. Dengan menenteng ember kecil berisi peralatan mandi, dan handuk melingkar di pundak. Sesampainya di sana, seperti biasa aku duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Dengan memeluk lututku dan merapatkan handuk di pundak, su
Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri. Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami. "Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya. Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur. Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar. Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku. Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku
Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama. Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku. Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata. Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah. Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama. Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah. Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana. Tak lama kemudi
"Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia
Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S
Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma