Home / Romansa / Kiki's Journey / SAAT AKU MULAI LELAH.

Share

SAAT AKU MULAI LELAH.

Author: Rut Brielle
last update Last Updated: 2021-09-27 11:55:17

Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama.

Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku.

Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata.

Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah.

Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama.

Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah.

Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana.

Tak lama kemudian, Bu Guru yang lain masuk ke ruangan.

"Adeknya kenapa, Ki?" Tanya Bu Guru.

Aku yang gagal menenangkan Adikku, jadi ikut menangis juga.

"Badannya panas, Bu," Jawabku pada Bu Guru yang sudah mengambilnya dari pangkuanku.

Rasanya ingin menangis saja, hatiku terasa sakit. Aku menoleh ke arah kelas dimana teman-temanku sedang melihat kearahku dari dalam. Kemudian aku menunduk dan menghapus air mataku.

"Kamu kembali ke kelas saja, biar Ibu yang jaga Adikmu," Suara Bu Guru yang tegas tapi lembut, terdengar dari mulut wanita separuh baya yang duduk di depanku. Aku mengangguk dan menitipkan adikku padanya.

Sampai di kelas, aku berjalan menunduk menuju tempat dudukku. Aku tau, beberapa mata mereka masih tertuju padaku.

Bulan demi bulan berlalu, Guru dan Kepala Sekolah tak pernah menyinggung tentang uang Sekolah. Hanya pernah bertanya tentang kabar Mama dan Papa, yang aku jawab tak ada kabarnya.

Ada kala ... rasanya aku ingin berhenti Sekolah, tapi, aku sangat suka belajar.

Bulan berikutnya, saat kami tiba di rumah setelah bekerja. Aku melihat Mama sedang mengobrol dengan perempuan tua itu.

"Mama!" Teriakku memanggilnya.

Aku berlari sambil menggendong Adikku yang terlihat senang melihat Mama pulang. Mama langsung meraihnya dalam gendongan, dan memelukku. 

"Maen dimana? dari siang baru pulang," perempuan tua itu bertanya seakan tidak tau.

Tanpa kata, aku menjawabnya menggunakan jari telunjukku yang ku arahkan asal-asalan.

Sebenarnya di Rumah ini bukan hanya ada kami bertiga. Anak dari Adiknya Papa juga ada. Salah satunya seumuran dan sekelas denganku di Sekolah. Hanya saja perlakuan yang mereka dapat berbeda dengan kami.

Mungkin karena Ibunya selalu memberinya uang. Berbeda dengan Papa yang hampir selalu tak punya Pekerjaan, dan hanya mengandalkan uang dari kerja Mama yang seringnya hampir tak pernah ada sisa setiap bulannya.

Aku duduk di samping Mamaku, mengambil cemilan yang Mama bawa dari Jakarta dan memasukan kemulutku.

"Enak ya, Ki. Nanti kalau Mamaku pulang, aku mau minta beliin itu juga sama Mama," ujar sepupu tiriku. Aku membalasnya dengan lirikan sinis. Tidak di sekolah, tidak di rumah. Aku tetap tidak menyukainya.

Mama tiduran di atas kasur saat aku masuk ke kamar. Adik kecilku tengah memeluknya.

Aku memilih duduk di kursi kayu dalam kamar, menunggu kata-kata apa yang akan terucap dari mulut Mama, 'Bukan kah, seharusnya Dia mengatakan sesuatu?' gumamku.

Beberapa menitpun berlalu, aku mulai jengah menunggu kata-kata yang tak kunjung terucap itu.

"Ma,"

Mama mengalihkan pandangannya ke arahku, "hmm?" jawabnya.

"Mama berapa lama disini?" 

"Kenapa?" Dia mengatakan itu sambil membalikkan badannya dan bangun. Dia duduk di sisi kasur dan menghadap kearahku.

"Kiki, gak betah disini, ya?" tanya Mama.

Aku menjawab dengan mengangguk pelan.

"Nanti Mama ke Sekolah dulu, untuk selesein tunggakan uang sekolahmu," Lanjutnya, "Setelah itu ... besok aja di omongin. Kita tidur dulu, yuk?" 

Sekali lagi aku mengangguk, kemudian berdiri dan naik ke tempat tidur.

Sayup-sayup aku mendengar suara orang ngobrol dari dapur.

Aku sendiri baru akan bangun dari tempat tidur. Aku berjalan pelan ke arah suara itu. 

Ada Mama dan perempuan tua itu di sana.

"Nah, akhirnya bangun," celetuk perempuan tua itu.

Dia menyodorkan segelas teh manis hangat kearahku. Kemudian terdengar suara Mama melarangnya.

"Jangan Mak, biar dia mandi dulu," 

"Jam berapa ini baru bangun, Ki? Bangun lebih pagi lagi, bantu Nenek di dapur. Masa Nenek yang harus buatin minuman buat kamu?!" omelnya.

Dalam hati aku menggerutu, entah sejak kapan perempuan tua itu membuatkan minuman untukku? Setiap pagi aku mengurus semuanya sendiri. Dasar munafik! 

Sikapnya itu membuatku semakin tak menyukainya. Entah apa yang sudah di katakan pada Mama. Aku hanya merasa Mama seperti berada di pihaknya. Tanpa berkata lagi, aku meninggalkan mereka berdua dan pergi ke kamar mandi.

Selesai mandi, Mama mengurus Adikku yang di bantu perempuan tua itu untuk pergi ke Sekolahku nanti. Aku memicingkan mataku melihat kearah mereka dengan sinis. Mual rasanya. Sepupu tiriku juga ada disana, mencoba menggoda Adikku untuk bercanda dengannya.

Aku melengos melewati mereka menuju kamar. Melempar handuk ke atas kasur sesampainya di dalam.

Mulutku monyong-monyong menirukan perkataan mereka yang sok manis di luar. Jijik!

Aku berada di koridor menuju kelas. Saat sekilas terlihat Mama menangis di kantor Kepala Sekolah. Dia menunduk sambil mendekap Adikku di atas pangkuannya. Aku penasaran, apa yang mereka bicarakan. Namun, Bel sudah berbunyi tadi dan aku harus segera masuk kelas.

Saat waktu pulang Sekolah. Mama dan Adikku tak ada lagi, "Sudah pulang duluan tadi," Kata Bu Guru yang berada disitu. Akupun langsung menuju pintu gerbang Sekolah dan pulang.

Di kamar, Mama menangis sambil melipat baju, memasukkannya ke dalam tas. Dia menyuruhku untuk makan semangkuk mie instan rebus lengkap dengan telurnya, yang sudah ada di dalam kamar.

"Abisin makanannya! biar susah begini, kalo cuma mie instan aja. Mama masih mampu beliin!"

Nada tinggi dengan suara keras, seperti sengaja dia lakukan agar seseorang bisa mendengarnya. Dengan bingung, aku mengambil mangkok itu dan langsung memakannya tanpa mengganti pakaianku dulu. Sesekali aku melirik kearah Mamaku yang masih menangis sambil melipat baju dan mengoceh. Aku tak berani bertanya.

Selesai makan, aku keluar kamar membawa mangkok kosong di tanganku. Secara kebetulan sepupu tiriku keluar juga dari kamar Neneknya. Membawa beberapa mangkok kosong dan baskom kecil di tangannya, Dan menyapa.

"Ehh, Kiki makan mie juga, ya? Aku juga, enak loh!"

Aku tak menghiraukannya, 'Dasar tukang pamer!' gumamku.

Aku sudah mengganti pakaianku, dan akan pergi ke rumah tetangga yang biasa mengajakku mencari sayuran untuk di jualnya.

"Kemana, Ki?!" 

Mama sudah berdiri di ambang pintu kamar, dengan gorden yang tersingkap di tangannya.

"Pulang Sekolah jangan keluyuran aja! Belajar, jagain Adiknya! Jangan maen terus!" 

Aku menghentikan langkahku. Masih bingung, 'Apaan, sih??' gerutuku. Akhirnya dengan malas aku menghampirinya dan masuk ke kamar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kiki's Journey   DALAM HIDUP ADA PILIHAN

    Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil

  • Kiki's Journey   HANDSOME GIRL

    Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.

  • Kiki's Journey   BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN

    Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka

  • Kiki's Journey   SADIS

    “Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara

  • Kiki's Journey   KELUARGAKU, SEGALANYA.

    Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du

  • Kiki's Journey   SEXY DANCER.

    "Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status