Share

Pengkhianat

“Boleh aku tambah, Tuan? ”

Agnes langsung menyenggol lengan anak laki-laki itu, wajah Agnes terlihat khawatir. Mungkin, sudah sering kali mereka mengalami penolakan. 

“Silakan! Tambah semau kalian.” 

Aku memanggil pelayan untuk menambah pesanan. 

Sejujurnya, makanan di tempat ini sangat tidak enak. Roti yang mereka sajikan keras, tidak berasa, dan sup yang mereka sajikan lebih terasa seperti air bercampur garam saja. 

Mengingat tempat miskin seperti ini, ini sudah menjadi makanan yang cukup mewah. Sebagai penguasa wilayah, aku sadar betapa menyedihkannya. 

“Tanganmu kenapa bisa terluka?” 

Aku mencoba bertanya setenang mungkin. Wajah predator ini bisa saja membuat mereka takut. 

Dia menyembunyikan tangan kanannya di bawah meja, mulutnya seperti terkunci. Rasa takut membuatnya rapat. 

“Kakak dipukul karena tidak membayar uang.”

Adik perempuannya menjelaskan dengan sendok yang masih di dalam mulut. Agnes melotot padanya. 

Aku mengusap kepalanya dan melirik matanya dengan hangat. 

“Adel. Namaku, Adel, Tuan.”

Sepertinya dia cukup sensitif dan pintar. 

Aku tersenyum. 

“Baiklah, Adel. Kau bisa menceritakannya padaku.”

Adel melirik Agnes yang marah, keraguan muncul dari tubuh kecilnya. 

“Agnes,”

“....”

“Aku orang yang cukup mempunyai kekuasaan. Aku bisa melindungi kalian.” 

Aku memberikan keyakinan pada mereka. Mereka hanyalah anak kecil yang sekarang menjadi korban, keraguan dan rasa takut mengendalikan mereka. 

Agnes memperhatikanku dari atas hingga bawah, dia melakukannya sedetail mungkin. Memahami apakah perkataanku benar atau tidak. 

Agnes melihat pedang yang bersembunyi di balik jubahku. 

“Apakah Tuan seorang kesatria?” 

“Benar.”

Dia menarik napas dalam. “Mungkin Tuan bisa mengalahkan mereka.”

Inilah yang kutunggu. Mereka membuka mulut tanpa rasa tertekan. 

“Kami di sini harus membayar upeti.” Dia menggaruk kepalanya sembari menunduk. 

Tubuhku bergetar. Emosi ini menyerang tubuhku. Sekuat tenaga aku mengendalikan agar mimik wajahku tidak berubah menyeramkan dan menakuti mereka. 

“Kami yatim piatu ... jika kami tidak ingin dijual, maka kami wajib memberikan mereka uang setiap bulannya per kepala.” Agnes melirik adik-adiknya. 

Rasa sedih dan marah ini menyerangku.  Ada manusia-manusia kurang ajar yang tinggal di tanahku. Ayahku, Baron Sanktessy, bahkan membebaskan pajak karena melihat rakyatnya menderita. Namun, mereka menikam keluargaku dengan menarik upeti. 

Tidak bisa kumaafkan. 

“Minggu kemarin, uang yang kami berikan kurang ... dan mereka berniat mengambil adikku.”

“Mereka melukai tangan Kak Agnes saat kami berusaha kabur.” Mata Adel berkaca, walaupun dia berusaha setenang mungkin—ketakutan  menghantuinya. 

“Kenapa tidak melaporkannya ke kepala desa atau keamanan di sini?”

“Mereka tidak peduli, bahkan keamanan di sini yang menarik upeti, Tuan.”

Aku menarik napas dalam.  Aku akan menghukum mereka. 

“Agnes, semuanya akan segera membaik. Sekarang kalian lanjutkan makannya.” Aku tahu bahwa senyum yang kuperlihatkan terlihat kaku. Akan tetapi, wajahku tidak bisa kulemaskan lebih dari ini. 

Levian sudah menungguku di luar tempat makan. Tugas yang kuberikan padanya sepertinya sudah selesai. 

“Tuan Kesatria, terima kasih atas makanannya.”

Adel menarik jubahku. Rasa Terima kasih yang tulus sungguh terlihat dari wajahnya. 

“Terima kasih, Tuan.” Agnes berterima kasih padaku sambil menepuk punggung kedua adik kembarnya. 

“Te-terima kasih, Tuan ...,“ kata mereka berbarengan. 

Aku tersenyum. Makanan yang kuberikan hanyalah sedikit. Masing-masing dari mereka sudah kuberikan perbekalan yang sepertinya cukup untuk sebulan. 

Aku paham, perbuatanku yang seperti ini tidak akan bisa menyelamatkan mereka selamanya.  Tentu saja harus menyelesaikan sampai akarnya. 

Levian berjalan bersama mereka. Aku sudah memerintahkannya untuk mencari tempat persembunyian sementara dan tugas rahasia lainnya. 

**

Ini tengah hari, waktu yang dijanjikan oleh Kepala Desa Aurus untuk menyerahkan pembukuan desa ini. 

Ada perasaan diremehkan yang sedang mereka lakukan padaku. Mungkin gelar swordmaster termuda tidak begitu menakutkan baginya. 

Sehingga dia dengan sengaja telat menemuiku. Orang yang ada di belakangnya sungguh orang yang berkuasa. 

Bahkan saat dia datang, raut wajahnya tidak bersalah. 

Yang harus dipahami, akulah penguasa di sini. Akulah calon penerus. Dia harus tahu itu. 

Aku membanting buku yang dia berikan di atas meja. Suaranya membuatnya terkejut

Sepertinya dia tersadar kembali, bahwa yang ada di hadapannya adalah predator. 

“Apa kau tahu kesalahanmu?”

Aku berbicara sedingin mungkin. 

“Terlalu banyak kesalahan sampai kau tidak tahu kesalahanmu.”

Keringatnya mulai muncul, ketenangan ini mau terlalu baik untuknya. 

“Apa kau pikir aku bodoh?”

Aku memancarkan aura pembunuh. 

“Mungkin kau pikir aku tidak mengerti tentang pembukuan.”

“Bicara!”

“Ti-tidak, Tuan Muda ... Akion. Saya sudah menulis sedetail mungkin dan tidak menipu ....” Suaranya tergagap. 

Aku terkekeh pelan. Ini lucu. Badut di depanku akan menjadi babi guling. 

“Levian.”

Satu kata itu membuat keributan sesudahnya. Levian muncul secepat angin dan merapal mantra. 

Ada satu kebodohan dari badut di depanku. Menganggap enteng diriku dan bawahanku. 

Tidak banyak yang tahu, Levian adalah perapal mantra sederhana yang cukup hebat. 

Levian mengubah semua isi buku yang kubaca sebelumnya. Dia memberikan buku itu. 

Ini adalah pembukuan yang sebenarnya. Sihir yang dirapal Levian adalah pembalik sihir ilusi dari penulis yang menulis buku ini. 

Semuanya tipuan. 

“Kau berani menikam penguasamu dari belakang.”

Aku melukai tangannya secepat angin, dia berteriak kesakitan. 

“Maafkan saya, Tuan Muda Akion!!”

“Maaf? Bahkan jika lidahmu kuambil, itu juga terlalu murah,” tegasku. 

“Itu sungguh, bukan saya .... Saya menjalankan tugas dengan baik ....” Dia masih mencoba menyelamatkan dirinya dengan melemparkan dosa pada orang lain. 

Aku melukainya lagi berkali-kali. Jantungku berdenyut.

“Satu kata lagi keluar dari mulutmu, kutebas kepalamu.” 

Ini ancaman sungguhan. Aku lelah dengan manusia seperti dia. 

“Levian, bawa itu.”

Levian menghilang lalu kembali dengan membawa segerombolan pasukan keamanan. 

“Apa kau ingin menyerangku?” Mataku menatap sinis dan tertawa antagonis. 

“Kau menarik upeti. Bahkan aku tidak meminta pajak darimu. Kau juga korupsi, kau berniat menyerangku.” 

Pedangku sudah berada di lehernya. 

“kau berkhianat, bekerja sama dengan bangsawan lain untuk hidup enak.”

“Dosamu begitu banyak.”

Aku menarik pedangku, segaris darah keluar dari lehernya. 

“Hukuman untuk seorang pengkhianat apa, Levian?”

Aku sengaja menanyakannya, agar orang ini merasa lebih tertekan. 

“Tuan Muda Akion, hukumannya tentu saja hukuman mati.”

Itu berhasil. Badannya lunglai. 

Para preman bergelar palsu pasukan keamanan itu ikut gemetar. Dilihat dari mana pun, pasukan keamanan adalah sesuatu yang berlebihan untuk mereka. Kebugaran tubuh yang tidak dijaga, keahlian yang kurang, dan sikap seperti sampah. 

Mereka persis seperti sosok preman berseragam di Indonesia. 

“Apa kau mau bicara sekarang?”

Dia masih menutup mulutnya. Entah karena takut atau tenaganya sungguh sudah hilang. 

Namun, di otakku, tidak ada rasa kasihan untuknya. Aku menyuruh Levian melemparkan jeruk di atas meja. 

Sekilas aku melihat wajahnya bingung Levian, tetapi dia tetap melakukan perintahku. 

Aku mempelajarinya saat menjadi Leon, rasa sakit membuat orang membuka mulut. 

Kugoreskan lagi pedang hitamku ke kakinya. Kemudian, kubelah jeruk yang sedang kupegang. Aku sedikit tersenyum. 

“Bicara!” 

Perasan jeruk jatuh di atas lukanya. Kubiarkan dia berteriak sekencang-kencangnya. Aku sengaja, biar seisi rumah ini menyadari perilaku mereka yang mencoba berkhianat. 

Kusebarkan teror di antara mereka. Kemudian, mereka akan saling menunjuk siapa yang lebih bersalah darinya. 

“Tuan Muda ... Akion ... tolong ... h-hentikan ....”

“Apa?”

Aku berpura-pura tidak dengar sambil masih meneteskan air jeruk. 

“Aku akan bicara!” teriaknya diikuti tangisan menderita. 

Aku berhenti memeras jeruk di atas lukanya. Kuangkat dagunya sambil tersenyum, dan kulihat wajahnya yang menderita. 

Bagus, itulah wajah yang kumau. 

**

Aku sudah menduganya. Dia berani bertindak seperti itu karena ada orang yang lebih tinggi daripada kami. 

Ya, sepertinya dugaanku benar sejak awal. Tidak mungkin orang berharga diri itu ingin berteman pada kami. 

Dia pasti berniat mencari kelemahan kami, menghancurkan lalu menyeret kami di bawahnya. 

Jika kau bisa mendapatkan anjing yang kuat, siapa pun akan takut. 

Mengenai badut sialan itu. Mungkin, Akion asli bertemperamen buruk ini sudah menyatu padaku. Aku tidak sengaja menebas kepalanya. Sedangkan para pengkhianat lainnya, aku menyimpan untuk keperluan nanti. 

Ada satu yang tidak terduga terjadi. 

Levian sedikit merasa aku terlalu kejam kali ini. Bukankah dia bilang bersikap tegas. 

“Tuan Muda Akion ... di mana Anda belajar penyiksaan seperti itu?” Wajahnya sedikit merasa tidak nyaman. 

Bukannya dalam dunia penuh perang ini menyiksa itu hal biasa. 

“Anda lebih suka memainkan kekuatan Anda, pedang Anda.” Dia diam sebentar. “Menggunakan penyiksaan seperti itu bukan seperti Anda.” 

Aku tersenyum, ya, karena aku bukanlah Akion yang asli. 

“Improvisasi itu dibutuhkan, Levian.”

“Aku sudah bersikap tegas.”

Aku berjalan meninggalkannya dengan bangga. Levian hanya mengikutiku dari belakang, menerima semua penjelasanku tanpa pertanyaan lagi. 

Begitulah sikap seorang kesatria yang loyal pada penguasanya. 

Aurus, wilayah ini tanpa pengurus. Wilayah yang cukup luas. Makanan yang ditimbun oleh mereka juga sudah kubagikan sebagian untuk warga yang kelaparan. 

Namun, itu hanya bisa bertahan sebentar. Harus ada yang mengatur pembagian makanan dan dibutuhkan tenaga untuk membangun desa ini. 

Distribusi makanan dilalui dari pusat wilayah Sanktessy. Namun, ini kurang. 

Tanah di wilayah ini tandus. Wilayah Sanktessy benar-benar dikepung dengan banyak hal buruk. Laut yang terlalu pekat, sehingga lebih banyak monster berada di sana dibandingkan dengan ikan. Kemudian, hutan kegelapan yang sebagian besar mengepung wilayah Sanktessy. 

Untungnya air dari hutan kegelapan masih bisa digunakan. 

Ada satu cara untuk bertani sekarang. Teknologi di Bumi bisa digunakan di sini. Mereka terlalu mengandalkan sihir. Itu bagus. 

Namun, karena terlalu mengandalkan, mereka tidak mengembangkan teknologi. 

Tok! tok! 

Sepertinya Levian sudah kembali.  

“Masuklah!”

Levian membuka pintu, ada sesosok pria paruh baya di sampingnya. 

Wajah yang penuh kebijaksanaan, walaupun tubuhnya sudah tua, kehormatannya tidak hilang. 

Hayd Zerdy, dahulu mantan pasukan penyintas Sanktessy. Aku bahkan tidak tahu jika Levian tidak memberitahuku. 

Saat mengantar Agnes, dia bertemu Hayd yang mengelola panti asuhan. 

“Hormat kepada sang penguasa muda Sanktessy.”

Sikap hormatnya persis seperti kesatria terhormat. 

“Salam hangat dariku, Kesatria Hayd.”

Matanya yang tua memandangku malu. “Aku tidak pantas lagi dipanggil kesatria, Tuan.”

Bahkan dengan tubuh tuanya itu, dia masih terlihat tegap seperti kesatria. Kemudian, sikapnya yang mengabdi ini yang membuatku memperhitungkannya. 

“Jangan merendahkan dirimu, Hayd.” Aku berjalan ke arahnya. “Duduklah! Pembicaraan kita akan panjang.”

Hayd duduk di depanku. Levian berada di sampingnya. Pembicaraan ini akan memakan waktu yang lama. 

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, tidak ada sedetik pun Hayd kehilangan fokus terhadap penjelasanku. 

Sepertinya aku memilih orang yang benar untuk hal ini. 

“Baiklah, Tuan Muda Akion. Aku mungkin tidak sempurna untuk memenuhi tugas yang Anda berikan, tapi aku akan berusaha keras.”

Aku tersenyum kembali. Belum sampai sehari, aku tahu bahwa dia akan bisa mencapai ekspektasiku.

BERSAMBUNG•••

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Daniel Silalahi
seru nih ceritanya
goodnovel comment avatar
Irwan Nudin
wiiihhhh... Indonesia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status