Share

2. Awal dari segalanya

Hidup bergelimbang harta, pasangan hidup tampan tiada duanya, apalagi yang masih dibutuhkan Zara.

Cinta, cinta dari suaminya.

Zara Sefani Brafesta, istri dari Vee Kanesh Bellamy, wanita yang tengah menjadi nyonya besar di rumah bak istana modern itu tangah disibukkan dengan suasana hati yang begitu kosong.

"Ma, bagus tidak?"

Mengulas sedikit senyuman, Zara mengangguk saat putri satu-satunya yang ia miliki melontarkan sebuah pertanyaan yang alhasil mampu membuyarkan lamunan.

"Sini, Mama bantu."

Gadis kecil berumur hampir delapan tahun itu menggeleng. "Rachel bisa sendiri, Ma." jawabnya.

Bahkan sekeras apapun Zara ingin membantu atau juga bisa ia memanggil sang ahli untuk membuat kuku-kuku cantik anaknya maka, dengan keras pula gadis bernama Rachel Sivania Bellamy itu menolak.

"Rachel bisa sendiri Mama, Rachel akan memperlihatkan pada Papa hasil kerja keras ini," tolaknya hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu dihadapan ayahnya.

Bahkan gadis berkulit cerah bening itu mampu membuat kerajinan tangan yang indah dan sudah mampu masuk di berbagai pameran yang tentu saja atas ikut campur tangan ayahnya.

Vee Kanesh Bellamy; termasuk dalam jajaran pembianis kaya dan sukses di Indonesia, ia juga punya peran penting dalam perusahaan kerajinan tangan peninggalan kakeknya.

Rachel selalu ingin tampil sempurna dan meniru apapun yang dilakukan oleh ayahnya, termasuk dalam bidang seni. Seni sudah melekat pada diri Vee, tak ayak sang anak ingin sekali menjadi duplikatnya. Rachel sangat mengagumi dan mengatakan bahwa inspirasi terbesarnya adalah ayahnya sendiri.

"Sebentar lagi Papa pulang, Rachel tidak mau mandi dulu?" tawar Zara.

"Baiklah Mama, nanti panggil Rachel kalau Papa sudah pulang," jawab antusias Rachel menuruti, diiringi dengan larian kecil memasuki kamar mandi.

Zara sangat bahagia dan bangga memiliki putri penurut dan baik hati, dialah satu satunya harapan Zara untuk tetap mempertahankan semuanya.

"Kau pulang Vee," sapanya setelah suara knop pintu terdengar membuka dan netranya menangkap pria yang sejak delapan tahun lalu menjadi suaminya.

Vee tidak menjawab, memilih berlalu, namun sedetik kemudian berhenti. "Dimana Rachel?" tanyanya meski enggan membalik badan, alhasil Zara hanya melihat punggung pria itu saja.

Zara tersinggung karena diabaikan. Mungkin ini memang bukan pertama kalinya bahkan, Vee setiap hari tidak memperdulikannya. Tapi, rasanya tetap sama-sakit.

"Kamu tidak penasaran dengan keaadaanku, Vee? Apa kamu tidak bisa mencintaiku walau barang sedikitpun?"

Vee tak bergeming dan hanya memilih diam. Muak dengan adegan drama cinta dari Zara yang sama sekali tidak diminatinya.

"Demi Rachel, lakukan demi Rachel, Vee?"  pintanya parau dan pilu karena Vee tak kunjung menjawab.

Vee mengepalkan tangannya. "Zara," suara berat itu terdengar menyeramkan. "Bukankah kita pernah membahasnya. Seribu kali kau menginginkan cintaku, seribu pula aku akan menolak. Hatiku sudah mati untuk dimasuki orang lain."

"Vee, apakah itu artinya jika dia kembali kau akan bersamanya?" tanyanya lagi dengan kaki yang melemas, perlahan Zara mendudukkan tubuhnya di lantai yang teramat dingin tapi tidak melebihi hatinya yang telah membeku karena tak ada kehangatan yang mampu menyelimuti, dan selimut yang diinginkan Zara hanyalah seorang Vee, hanya pria itu satu-satunya.

Vee menajamkan matanya, kilatan marah membobol pertahannannya. Pria itu muak sekali mendengar Zara mengungkit wanita masa lalunya, yang bahkan sangat dibencinya.

"Aku tidak akan pernah kembali pada wanita murahan itu, alasan aku disini karena Rachel, tolong hentikan ini Zara, aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh." Vee melirihkan suaranya, walaupun dia tidak bisa mencintai Zara, namun Vee sadar bahwa sikapnya selama ini sangatlah tidak benar.

Tidak bisa dipungkiri, dengan jawaban yang diberikan Vee barusan, tengah berhasil memberi efek berbunga di hati Zara, ada perasaan lega bahwa pria itu tidak akan kembali pada wanitanya dulu.

"Apa kau bisa berjanji tidak akan meninggalkan aku dan Rachel, Vee?"

"Selama kau tidak mengecewakanku."

"PAPA," teriak Rachel.

Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membungkus badan mungilnya, dia berlari kecil menghapiri ayahnya. Vee membungkuk dengan tangan merentang siap untuk menangkap Rachel kemudian dibawa ke gendongannya.

Zara bergegas untuk berdiri, mengusap air matanya, seolah baik-baik saja dan sedang tidak terjadi apa-apa. Keberuntungan memang sedang berpihak pada Zara, anak semata wayangnya tidak melihat kondisi mengenaskan ibunya.

"Anak Papa sudah mandi." Vee membubuhkan beberapa ciuman di pipi mulus Rachel.

"Papa lihat ini." Rachel memperlihatkan kuku lentiknya yang sudah dihiasi dengan indah yang tentu saja hasil polesannya sendiri.

"Cantik 'kan, Papa?" tanyanya melanjutkan.

Mata gadis itu menggantung berharap jika ayahnya akan suka bahkan memujinya juga.

"Cantik sekali princess," jawabnya dengan senyum tanpa henti.

Rachel memunculkan binaran dari dua bola matanya, pun Vee membawa gadis mungil itu masuk dalam kamar.

***

Mungkin, hari Senin adalah hari yang menyebalkan untuk memulai aktivitas lagi setelah di timang-timang kesenangan tempo hari, baik itu untuk anak-anak yang akan terkuras otaknya oleh sebab bergumbul dengan guru dan buku pelajaran, ataupun para orang dewasa yang sibuk akan pekerjaan.

Tapi tidak untuk Lily, gadis itu sangat menantikan hari di mana dia akan menempuh pendidikan di sekolah barunya. Karena terlalu semangatnya, gadis itu sampai rela bangun pagi.

Menyiapkan segala keperluannya sendiri tanpa merepotkan Rose sama sekali.

Bagai menanam buah jeruk di padang pasir, tidak akan tumbuh. Biarlah ibarat itu mengisi otak Lily, bagaimana tidak, perkiraan gadis itu sangatlah jauh dari ekspektasi; benar saja dia sudah siap tapi, sesiap apa pun akan percuma apabila dia harus menunggu sang ibu tercinta yang belum bangun dari alam mimpinya.

"Huh. Semangat membaraku hilang ditelan ikan paus." Lily menggerutu sendiri.

Baiklah. Untuk mengisi waktu kosongnya, Lily bergegas membuka laptop untuk sekedar mengirim sure kepada sahabat laki-laki yang dikenalnya sejak tiga tahun yang lalu.

lilybernasamanta@g***l.com📧

Hello Sean, kau akan mendapatkan kejutan.

***

Nuansa ini begitu asing, itu pikir Lily juga. Jika di Australia sana ia akan sampai sekolah pukul sembilan, maka, setelah informasi yang ia dapat, berselolah di sekolah dasar Indonesia mempunyai jam belajar yang jauh berbeda, lebih pagi.

Hilir mudik sepasang kaki panjang dengan tangan berpegangan erat saling menuntun sama lain antara orang tua dan anak-anaknya yang mengantar untuk menempuh pendidikan.

Berbeda juga dengan yang Lily alami dulunya. Gadis itu terbiasa dijemput bus sekolah, makanya ibunya itu sangat jarang mengantarnya langsung.

Lily tidak ingin melewatkan kesempatan, ia juga tak kalah, masing-masing tangannya digantung oleh Jeffry dan Rose sampai masuk halaman sekolahan, sangat menyenangkan.

"Mom, Dad stop." Jeffry dan Rose pun ikut berhenti sesuai arahan Lily.

"Cukup sampai sini, Lily bisa masuk sendiri," pintanya tegas sekaligus menggemaskan-membuat kedua orang tuanya tersenyum memgembang.

"Have a good day at school, sweetheart." Rose tak lupa memberikan kecupan pada pucuk kepala Lily, lalu diikuti oleh Jeffry.

"Bye, Mommy, Daddy," pamit Lily seraya melangkahkan kaki masuk ke area sekolah, tak lupa juga dengan melambaikan tangannya keudara.

Setelah beberapa hari menetap di Indonesia, memang hari inilah yang paling ditunggu oleh gadis berkuncir kuda itu. Lily bisa dikatakan sedikit tomboy, sama sekali tidak ada anggun-anggunnya, jika gadis kecil lainnya berdandan rapi, tidak untuk Lily, kemeja putih tepat di lengan digulung ke atas, jika nanti ada teguran, barulah ia akan merapikan, itu rencananya.

Lily memiliki kulit dengan warna tan, meskipun ia baik-baik saja, tapi ada satu fakta yang tidak dapat ia cerna; ibu dan ayahnya memiliki kulit putih bersih, kenapa Lily tidak seperti orang tuanya. Apa mungkin karena Lily yang sering keluar berjemur matahari untuk bermain basket dan skeatboard?

Entahlah.

"Sean," teriak Lily setelah mendapati anak laki-laki diujung sana, sedang bercengkrama dengan gadis yang berada disampingnya.

Lily berlari kecil ke arah Sean yang baru saja dipanggilnya. Laki-laki bergigi kelinci itu tidak sendirian, disamping Sean ada gadis kecil yang terlihat seumuran dengannya.

"Apa aku tidak salah lihat? Apa ini maksud dari email-mu tadi pagi?" Sean masih meninggalkan keterjutannya meskipun sudah diyakini bahwa di depannya ini adalah Lily, gadis yang sudah menjadi temannya sejak tiga tahun tang lalu.

"Ayolah Sean, ini aku Lily Berna Samanta," ucap Lily meyakinkan.

Lily menunjukkan muka datarnya tidak lupa merotasikan bola matanya, gadis itu sedikit melirik kearah seoseorang yang sedari tadi hanya diam disamping Sean sembari memandangnya.

Sean yang merasa yakin pun akirnya memegang pipi gembul milik Lily serta mencubitnya dengan gemas. "Harusnya kamu bilang saja terus terang, tidak perlu memberi kode-kode aneh."

"Sean lepas," pinta Lily menggerutu.

Lily tidak berani membentak seperti kebiasaannya bersama Sean. Lily cukup tahu malu akarena ada gadis cantik disebelah Sean-tidak ingin memberi kesan urakan pada teman baru yang belum dikenalnya itu.

Sean pun akhirnya melepaskan cubitannya dari pipi gembul milik Lily, tersenyum sejenak lalu menarik tangan Lily yang sontak membawa tubuh gadis itu kedalam pelukannya.

"Dasar gadis gembul, aku sangat merindukanmu, aku tidak sabar menunggu liburan selanjutnya untuk datang menemuimu."

Lily sangat terkejut atas perlakuan yang diberikan oleh Sean. "Oke, aku sudah disini, jadi, cepat lepaskan." Lily masih dipelukan Sean tanpa memberontak; dalam hal ini, mereka memang sering melakukannya saat bertemu.

"Why hold on to someone when you know you must let them go?" ucap Sean penuh godaan.

Ekspresi Lily bertambah suram, astaga, Sean memang keterlaluan, bagiamana bisa dia berbicara dengan lantang kalimat rayuan.

"Stup up, teman-temanmu terus melihatku, Se," bisik Lily lirih agar teman yang sebenarnya dimaksud oleh Lily tidak mendengarkannya. Alhasil, Sean melepas pelukan eratnya, tersenyum kikuk ala-ala remaja-dasar bocah piyik memaksa dewasa sebelum waktunya.

"Rachel, ini Lily temanku dari Australia." Sean mengenalkan Lily pada temannya yang memang sedari tadi tak berkutik melihat interaksi antara ia dan Lily.

"Hai aku Rachel, kita bisa berteman mulai sekarang," ucapnya dengan senyum mengembang yang mengarah kepada Lily dengan jabatan tangan.

Lily tidak bodoh untuk melihat bahwa gadis bernama Rachel itu menunjukkan ekspresi tidak suka yang sengaja ditutipinya. Namun Lily mencoba untuk bersikap biasa saja. Ia hanya enggan memikirkan hal yang tidak tidak.

"Hai, Rachel, tentu saja, mari berteman."

Lily dan Rachel berjabat tangan saling berkenalan, sungguh interaksi yang manis mengesampingkan perasaan aneh didalamnya, entah Rachel yang cemburu atau hanya perasaan anak-anak yang merasa jengkel apabila teman dekatnya berusaha diambil oleh orang lain.

***

Suara pantulan bola basket menggema di salah satu taman belakang sekolah elit ini. Seorang gadis dan anak laki-laki saling beradu dan memperebutkan bola bak pemain profesional. Peluh-peluh keringat hasil pekerjaan mereka pun menetes deras dari dahi hingga menyentuh tanah.

Setelah menghabiskan waktu untuk belajar, Sean dan Lily memutuskan untuk bermain basket di lapangan yang memang sudah disediakan. Lily memang sudah mengetahui akan fasilitas basket untuk anak-anak yang ada di sekolah ini. Lapangan dan ring bola pun di sesuaikan untuk ukuran anak-anak. Hal ini juga yang menjadi daya tarik Lily untuk memantapkan hati memilih bersekolah di tempat ini.

"20-19, yaas, aku menang. Wleee," ledek Sean yang ternyata memenangkan pertandingan one by one dan di akhiri dengan menjulurkan lidahnya yang praktis membuat Lily super jengkel.

Sangat menjengkelkan. Lily ingin berteriak tapi gengsi menolak, alhasil kumpulan emosi hanya teredam di dalam kepala saja.

"Jangan sombong dulu Sean, lain kali aku akan mengalahkanmu, tunggu saja." Kali ini Lily mengatakan dengan lantang.

Lily jelas tidak terima diremehkan, gadis itu berbalik diiringin pantulan bola yang dilemparkannya ke sembarang arah. Marah. Gadis itu marah. Lihat saja, sorot matanya yang menatap tajam kearah Sean, menakutkan hingga membuat bulu kuduk anak laki-laki itu berdiri.

Lily tidak suka kekalahan, sangat tidak suka.

Sean agak bergidik ngeri, namun bukan Sean namanya jika tidak bisa membuat Lily luluh kembali. Berteman dengan Lily sejak umur lima tahun membuat Sean mengetahui segala apapun tentang gadis itu.

Setelah sepuluh menit saling berdiam diri, akhirnya Sean menyerukan sebuah perdamaian, namun gagal karena sebelum ia melakukannya ada pria dewasa yang megintrupsi keduanya.

"Hai Boy, Girl, apa kalian tidak akan pulang kerumah?"

"Oh, hai Om," sapa Sean mendapati pria yang bertanya sembari mendekat kaearah mereka.

Sign, Pee🍂

Komen (2)
goodnovel comment avatar
amaranisaa
Keluarga Vee membagongkan
goodnovel comment avatar
Rara
Suka Lily dan Sean, lucu banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status