"Jaeko, apa perlumu memanggilku kesini?" protes Vee yang saat ini sudah berdiri di depan Jaeko yang sedang duduk santai memandang ke arah luar jendela-tepatnya di taman belakang sekolah milikknya.
Jakarta Revolution Elementary School; adalah sekolah berbasis Internasional yang dikelola oleh John Jaeko Aditama. Pria yang hanya berjeda satu tahun lebih muda dari Vee itu adalah anak tunggal dari keluarga Aditama; yang terkenal dengan usahanya dalam membangun tren bisnis dalam bidang pendidikan."Vee lihatlah," Jaeko menunjuk arah luar dari jendela yang terbuka dengan isyarat dagu dinaikkan keatas. "Masa anak-anak memang sangat menyenangkan ya, semangat yang membara dan pantang menyerah," ungkapnya melanjutkan tanpa memadang lawan bicara.Vee yang penasaran akan arah pembicaraan yng Jaeko berikan, lantas langsung saja mendekat ke arah pria itu, lalu memfokuskan pandangannya ke arah yang dimaksudkan.Vee mngerutkan kening. "Itu Sean 'kan?" tanyanya.Dalam benak Vee mengatakan, jika yang dipandanginya sekarang adalah seorang anak laki-laki yang sangat diketahui merupakan putra dari John Jaeko Aditama yaitu John Sean Aditama yang tengah bertanding basket satu lawan satu dengan seorang anak gadis, jika dilihat sekilas, tentu saja Vee tahu gadis itu bersekolah disini, seragamnya pun sama dengan milik putrinya.Jaeko memilih diam dan hanya berdehem sebentar namun, pikirannya berkelana kemana-mana, seperti tengah merencanakan sesuatu yang membuat sisi jail seorang Jaeko mencuat keluar, sudah lama tidak bersenang-senang, pikirnya."Vee, mau taruhan?"Vee mengerutkan dahi melirik ke arah Jaeko, matanya memincing curiga. "Jangan aneh-aneh, Ko," ucapnya memperingati."Ya Tuhan, nggak bakalan aneh-aneh."Jaeko mencoba meyakinkan namun, dalam hatinya menghitung score atas pertandingan anaknya yang sedang bertarung dibawah sana, 5-5, seri. Sedangkan Vee tetap menatap datar sang lawan bicara, tahu betul otak si pria itu tidak pernah beres jika itu menyangkut soal taruhan."Ayo kita taruhan, siapa yang akan menang di antara bocah kecil yang sedang memperubutkan bola disana, kau boleh memilih duluan siapa jagoanmu," tawar Jaeko dengan ekspresi sesantai mungkin."OK sebentar, aku lihat dulu," jawab Vee penuh semangat, membuat Jaeko salah mengira jika Vee akan curiga, padahal Vee tentu tahu satu poin yang sudah dilakukan Jaeko sebelumnya.Vee melihat pertandingan yang menurutnya sama-sama kuatnya. Kemampuan mereka tidak jauh berbeda, gadis itu mampu menyeimbangi gerakan Sean. Memang tidak begitu jelas dari atas sini, namun sudah cukup hanya dengan melihat gerakan-gerakannya saja."Berapa skor mereka, Ko? Aku yakin sebelum kau menantangku, diam-diam kau menghitung score mereka. Benar 'kan?" tanya Vee dengan lirikan geli dan senyum miring.Tepat sekali tebakan Vee, pria pemilik suara dengan khas bariton itu tidak mudah untuk dibohongi hanya dengan urusan seperti ini.Jaeko menanggapi dengan cengiran sesaat sebelum menjawab, "Untuk saat ini seri, 7-7."Vee cukup tercengang sampai menganga tidak percaya. Vee juga tidak buta untuk melihat bagaimana kualitas pertandingan anak-anak itu. Sebagai anak laki-laki yang mempunyai kekuatan yang begitu mendominasi, Sean sama sekali tidak mengalah.Bagaimana mungkin dengan Sean yang tidak mengalah bisa mencetak pertandingan yang seri?Seberapa kuat dan cerdiknya gadis yang dilawan Sean?"Aku yakin kau akan memilih anakmu. Baiklah," Vee menyandarkan kedua telapak tangannya untuk bertumpu di bibir jendela, menatap lurus sosok gadis cilik yang mencoba merebut bola basket dengan cekatannya. "Aku akan memilih gadis itu," imbuhnya final menentukan pilihan."Lily, nama gadis itu Lily, teman Sean yang baru pindah hari ini." Jaeko memberitahu disusul anggukan oleh Vee tanda mengerti.Kedua anak-anak yang bertanding dibawah sana tidak tahu betapa hebohnya para pria kurang kerjaan yang menonton mereka dari kejahuan. Support dan teriakan keduanya memenuhi ruangan. Jaeko berseru sangat kencang melihat anak tampannya kembali mencetak score, 19-18, memimpin."Kau hebat jagoan, kau persis sepertiku," teriak Jaeko bangga hingga menyamakan dengan masa keemasannya dulu saat masih aktif dalam permainan basket di sekolah."Hello, Ko, kau selalu dibawahku jika kau lupa," sergah Vee yang kenyataannya memang selalu lebih unggul dalam permainan ini.Jaeko diam merasa kalah dengan kenyataan."Yaaas," ungkap bangga Vee dengan tangan mengepal keudara. "Bagus gadis manis, kau menyamai scoremu," teriaknya mengimbuhi.Bahkan kurang puas, setelahnya Vee menunjuk-nunjuk Lily dan bergantian mentoel Jaeko untuk menunjukkan bahwa gadis jagoannya menyusul score yang tertinggal. Sepertinya Vee sangat senang sekali ini.Dibalik itu semua, Jaeko diam-diam tersenyum. Mungkin sudah sangat lama sekali ia tidak melihat pemandangan seperti ini. Vee yang bersemangat hanya karena hal sederhana.Jaeko lama mengamati Vee hingga kembali ke masa-masa dimana pria pemilik hidung tinggi itu seperti seorang yang putus asa. Ia sama sekali tidak pernah masuk dalam kehidupan pribadi Vee, yang ia tahu, Vee yang selalu tersenyum di depan Rachel putrinya, danberperangai sebagai seseorang yang tak tersentuh dengan kedudukannya.Jaeko mencoba menepis bayangan itu, kembali lagi pada saat ini yang memang tidak boleh di lewati. "Detik-detik terakhir, Vee, kita lihat," ucapnya saat waktu mulai menepi diakhir."Sean kau pasti bisa.""Lily kau pasti bisa."Jaeko dan Vee saling merapalkan harapan mereka. Telapak tangan Vee pun tak henti-hentinya saling mengusap, berharap Lily lah yang akan memenangkan pertandingan.Waktu terhitung mundur dari angka tiga."Yuhuuuuu, Sean menang, hahahahaha kau kalah." tunjuk Jaeko tepat di depan mata Vee saat bola orange itu tengah berhasil ditembakkan ke dalam ring oleh Sean."Jujur aku tidak kecewa sedikitpun, tontonan yang sangat menyenangkan," ungkap Vee sangat jujur. Terlihat sangat jelas dari sorot matanya yang teduh, Jaeko mengakui."Jadi apa yang harus aku lakukan?" Vee lanjut bertanya. Sangat ingat dengan taruhan yang diberikan oleh Jaeko, ia bukan tipe orang yang suka dengan ingkar janji.Jaeko terkekeh. "Bisa mengantar Sean untuk pulang? Aku ada keperluan penting.""Oke karena itu taruhannya aku akan kulakukan." Vee pun melangkah ingin cepat berlalu dari hadapan Jaeko."Tunggu Vee, ada hal penting yang harus kusampaikan lagi padamu."Vee berbalik dengan alis tertaut penasaran. "Apa itu?""Deredolent menyelamatkanmu lagi, ini sudah ke-26 kalinya sejak tiga tahun yang lalu."Vee hanya menghembuskan napasnya pelan, otaknya seolah-olah buntu hanya dengan mendengar nama itu. "Aku akan mencari tau lagi siapa orang dibalik pemilik nama Deredolent itu."***
Vee mengambil bola di lantai hasil lemparan tidak sengaja yang di sebatkan oleh gadis cilik yang baru saja kalah dalam pertandingan yang dibilang cukup meyenangkan.
Vee berjalan menghampiri Sean dan Lily. "Hai Boy, Girl, apa kalian tidak akan pulang kerumah?" suara berat Vee berhasil mengintrupsi dan mengalihkan atensi."Oh, hai Om," sapa Sean mendapati Vee yang hampir berada di hadapannya, Lily pun mengikuti arah suara bariton pria itu.Lily berjalan pelan ke arah Sean yang berada disampingnnya, meraih jemari Sean lalu menggenggamnya erat. Sean tahu sekali apa yang dirasakan Lily, gadis itu sedikit takut didekati pria dewasa yang belum dikenalnya."Tenang Lily, dia Om Vee, ayah Rachel," bisik Sean pelan pada Lily disampingnya.Lily yang mendapat penjelasan dari Sean pun langsung mengerti lantas sedikit mendonggakan kepalannya, seketika loloslah air mata yang sedari tadi ditahannya.Vee melihatnya, melihat Lily menangis, ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengerubung di rongga dadanya, menghentikan pasokan udara yang menimbulkan sesak yang teramat mencekik lehernya. Vee praktis bingung, kenapa hatinya begitu sedih melihat buntelan menggemaskan seperti Lily menangis sembari memandanginya, pun ada gemetar di sekujur tangannya.Tanpa perintah atau intrupsi dari siapapun, Vee berjongkok menyamai tinggi Lily. "Hai gadis manis, kenapa kamu menangis, hm?" tanyanya dengan vokal tenang, lembut, seperti seorang ayah yang melihat anaknya sendiri.Sean yang melihat Vee seperti itu sontak saja melihat ke arah mata Lily yang benar telah mengeluarkan air mata. "Kamu pasti menangis karena kalah 'kan? Mau makan ice cream? Ayolah, jangan memangis, tidak biasanya kamu cengeng." Sean membujuk dengan cerewetnya.Lily mengangguk lucu akan bujukan yang Sean berikan. Vee yang melihatpun sangat gemas pada keduanya."Bagaiman kalau Om yang mentraktir kalian?" tawar Vee .Mata Sean langsung berbinar. "Ide bagus, Om," ungkapnya."Terimasakih Uncle, boleh 'kan Lily memanggil Uncle?" tanya Lily ragu.Vee tersenyum mendengar permintaan lugu Lily. "Boleh dong, sudah jangan menangis lagi, ya."Vee menyeka air mata Lily dengan kedua ibu jari panjangnya, entah apa yang membuat ia bisa selembut itu pada Lily."Papa," panggil seoarang gadis seumuran Sean dan Lily dari sebrang sana.Rachel. Tentu saja gadis itu yang bisa memanggil sebutan Ayah pada Vee disaat tidak ada lagi seorang pria dewasa lainnya di tempat ini. Semua mata pun langsung tertuju pada Rachel yang sedang berlari menuju tempat mereka."Anak Papa pelan-pelan dong larinya." Vee pun memeluk lalu mencium kedua pipi Rachel setelah gadis itu sudah mencapainya."Apa Papa menunggu lama? Rachel baru selesai melukis!" Rachel berbicara manja sekali pada ayahnya. Sean dan Lily hanya bisa menyaksikan interaksi dari keduanya."Tidak Princess, selama apapun, Papa pasti menunggu." ucap Vee sembari merapikan anakan rambut Rachel yang berantakan."Oh iya, bagaiman kalau kita makan ice cream dulu bersama Sean dan Lily," tawar Vee pada putrinya."Papa kenal Lily?" tanya Rachel heran. Pasalnya baru hari ini Lily pindah sekolah, sudah pasti baru pertama kali juga bertemu dengan ayahnya.Vee tersenyum menanggapi. "Om Jaeko yang memberitahu. Bagaimana, Princess mau tidak?"Rachel mengangguk semangat. "Oke, Rachel mau."Sign, Pee🍂Vee sekarang sudah persis seperti pemandu wisata anak TK. Bagaiaman tidak, pria yang masih menggunakan setelan jas kantor itu sangat pusing sebelum sampai di tempat ini. Untuk menentukan tempat makan es krim saja membutuhkan waktu begitu lama, harus melewati sidang meja bundar dengan peserta tiga orang, minus Lily karena gadis itu tidak tahu apa-apa tentang Jakarta. Alhasil, keputusan ditangan Vee, mutlak sampai ke empat bokong mereka duduk saling berhadapan di meja kedai es krim di tengah kota ini. Meski sedikit pening, Vee tidak berbohong jika ia sangat senang. Keinginan Vee dari dulu memang ingin punya anak banyak. Bahkan, dia pernah sangat lantang membicarakan keinginannya ini pada kekasihnya waktu dulu. Sayang, aku ingin punya anak lima. Bak memori terulang kembali yang berhasil menoreh luka lama, Vee akhirnya segera menghapus bayangan masa lalunya, diganti dengan menatap satu persatu para kurcaci yang berada di depannya. V
Suhu dingin di pagi hari menyeruak menelungsupi ruang bernuansa merah maroon yang selama sebulan ini telah dihuninya. Bahkan, matahari pun juga belum mau memunculkan sinarnya sebagai penghangat, Rose merasa sangat dingin sampai lapisan tulangnya. Rose meremat baju bagian depan dada. "Kenapa dadaku sakit sekali." "Ya Tuhan kenapa kau menyiksaku, kenapa aku sangat merindukan dia," ucapnya lirih sembari mengelus dan menepuk-nepuk pelan dadanya yang menyesakkan. Semakin hari wanita berparas cantik ini tidak merasa lebih baik, justru ia semakin tersiksa walau harus rapat-rapat untuk menyembunyikan agar tidak muncul ke permukaan. Sebulan lamanya setelah pindah dari Australia ke Negara ini. Suasana Jakarta seakan membawanya kembali ke kenangan menyakitkan yang pernah di alaminya waktu dulu; sebuah penghianatan terbuka lebar dimatanya, penghancur kepercayaan yang sangat handal talak membuat hidupnya berantakan. Jiwa itu telah mati, tid
Sepasang kaki kecil itu tidak hentinya mengulir kesana kemari di lantai dasar rumahnya, perasaan gelisah memang tidak bisa dipungkiri. Tangannya mengenggam sebuah ponsel, tapi matanya tak henti untuk sekedar mengalihkan pandangan dari layar komputer miliknya. Lebih tepatnya dia menunggu balasan email dari seseorang yang seharian ini tidak bisa dihubunginya, sama sekali. Namun, satu, masih ada satu kesempatan yang belum ia digunakan, yaitu menelpon langsung, tapi untuk melakukan hal itu butuh kekuatan dan keberanian ekstra besar. "Jagoan apa yang kamu lakukan sedari pulang sekolah tadi?" tanya wanita yang sudah dipastikan adalah ibu dari jagoan itu. "Kamu juga belum memakan makanan yang sudah Mama siapkan." "Sean sedang menghawatirkan Lily, Mama," jawabnya sepontan tanpa ragu dan malu. Seharusnya untuk usia yang terbilang belum dewasa, tidak sewajarnya dia mengawatirkan seorang gadis. Tapi apa daya jika hati sudah berbicara, tidak bisa di hindari
Sosok itu tahu betul sedang dimana dirinya berada dengan menggandeng tangan mungil seorang jagoan yang sangat mirip dengan suaminya. Lala dan Sean telah sampai di Rumah Sakit dimana Rose sedang dirawat. Dalam hati Lala sedang dirundung rasa gelisah tanpa sepengetahuan anak kecil ber gigi kelinci yang berada disampingnya. Lala menuruti arahan dari seorang yang sudah ditugaskan untuk mengantarnya ke kamar rawat inap yang ditempati Rose sesaat sesampainya ia beserta Sean tepat di depan pintu utama Rumah Sakit. "Mama, kenapa kita harus diantar? Biasanya, dulu kalau kita mau mengunjungi orang sakit tinggal tanya saja ke resepsionis 'kan." Sean, bocah yang penuh dengan rasa penasaran berbisik lirih pada ibunya. "Sudah, kita ikuti saja, Sean," jawab Lala seadanya. Bau khas Rumah Sakit menyeruak menelungsungi rongga hidung, orang berlalu-lalang sibuk dengan urusan masing-masing memenuhi sepanjang lorong jalanan ini. Sean, laki-laki cilik itu me
Sudah dua hari Rose masih mendekam di kamar sakit di salah satu Rumah Sakit yang bisa dibilang paling besar di Indonesia. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya sehingga lama pulih dari kondisinya. Namun, dia lega ada Laura yang siap sedia menjaga putri semata wayangnya walaupun diawal sangat sungkan karena pasti merepotkan. Laura memang sangat dekat dengan Lily, tahu betul apa yang selalu diinginkan dan disukai gadis itu meskipun bukan anaknya sendiri. Seperti pagi ini, sangat ribut, Lily berkali-kali mengomel kala jam tangan kesayangannya hilang entak kemana, dicuri kucing tetangga mungkin, pikirnya tidak logis. "Auntie, apa kucing doyan makan jam tangan ya?" tanya Lily polos. Laura terkekeh. "Auntie tidak yakin kau ini benar-benar cerdas, Lily," jawabnya yang masih sibuk dengan rambut-rambut gandis berpipi gembul itu. Pagi ini Laura ingin membuat rambut Lily terlihat rapi dengan mengepangnya menjadi dua, hingga langkah terakhir membuat ce
Rose Alyne-Rose Garden Dihari yang sangat redup, dan penguasa matahari pun sepertinya sangat enggan hanya sekedar memberikan sedikit sinarnya pada bumi yang sangat malang ini. Entah kenapa pria dewasa yang tampak menawan dan rupawan dengan buntelan coat cream bisa terdampar di suatu tempat yang menurutnya sangat ia benci, namun hatinya ingin sekali mengunjungi. Duduk di kursi kayu yang melintang dipinggiran taman, memandang lurus kedepan menyaksikan bunga-bunga yang sedang bergoyang karena terpaan angin kencang. Dingin ini terasa menusuk tulang. Vee seorang diri sedang berkelana jauh di dalam ingatannya tentang wanita yang biasa disebutnya—Jalang. "Kau selalu menyebutnya jalang, tapi kau tak pernah lupa tempat ini, lalu apa, kau juga yang membuatkan ini semua." Intrupsi dengan nada datar mengoyak ingatan Vee untuk kembali ke asalnya. Vee tidak ingat sejak kapan pria berkulit pucat disampingnya itu mulai mendudu
Hari paling membahagiakan untuk Lily datang saat ini. Bagaimana tidak, ibu yang paling dia cintai di dunia akan segera pulang dari Rumah Sakit, yang artinya sudah sembuh dari sakitnya. "Yuuuhuuu, nanti malam bisa tidur bareng mommy," pekiknya terlalu bahagia. Kaki Lily menendang-nendang krikil di pinggiran jalan, tak lupa bibir mungilnya bersiul-siul, bagaimana bisa anak sekecil ini mampu menciptakan siulan yang begitu nyaring. Angin sedikit berhembus menghempas tubuh mungil Lily yang hanya berbalut seragam dan swift shirt sebagai luaran, anak ini bisa kedinginan setengah mati apabila tidak cepat beranjak dari tempat ini. Lily sengaja ingin berjalan kaki ke Rumah Sakit sekalian menjemput ibunya. Jarak yang tidak begitu jauh dari lokasi sekolahnya, pun sudah menjadi pertimbangan bagi Rose untuk memberi izin putrinya yang ngotot ingin berjalan kaki sendirian. "Aku butuh coklat panas, aku kedinginan." Bibir Lily menggerutu diiringi
Mungkin bagi semua pekerja hari minggu adalah hari terbaik di Dunia, hari dimana ketika bangun tidur bisa tidur lagi, atau tidak usah bangun sekalipun tidak masalah. "Perlu banget ya kamu kerja di hari minggu?" Penuturan pria putih tanpa mengalihkan atensinya karena sibuk duduk tersimpu di lantai ruang santai samping kanan dapur, tidak ada sekat tembok di area itu, lantas tangannya pun mengobrak abrik komponen skateboard. "Banyak yang belum aku beresin karena sakit, Jeff. Tumpukan kertas menggunung di mejaku. Belum lagi masalah pengembangan dan obat terbaru yang perlu di meetingin besok Rabu," jawab Rose menggebu. Rose juga tak kalah repot saat ini, dia berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari berbagai peralatan di dapur dan sekawannya. Rose harus menyelesaikan masakannya sebelum berangkat ke Rumah Sakit. "Seandainya aku paham, bakalan aku bantu." Jeffry menanggapi dengan cengiran bodoh. "Ada-ada saja kamu ini," timpal santai