Share

3. Daddy

"Jaeko, apa perlumu memanggilku kesini?" protes Vee yang saat ini sudah berdiri di depan Jaeko yang sedang duduk santai memandang ke arah luar jendela-tepatnya di taman belakang sekolah milikknya.

Jakarta Revolution Elementary School; adalah sekolah berbasis Internasional yang dikelola oleh John Jaeko Aditama. Pria yang hanya berjeda satu tahun lebih muda dari Vee itu adalah anak tunggal dari keluarga Aditama; yang terkenal dengan usahanya dalam membangun tren bisnis dalam bidang pendidikan.

"Vee lihatlah," Jaeko menunjuk arah luar dari jendela yang terbuka dengan isyarat dagu dinaikkan keatas. "Masa anak-anak memang sangat menyenangkan ya, semangat yang membara dan pantang menyerah," ungkapnya melanjutkan tanpa memadang lawan bicara.

Vee yang penasaran akan arah pembicaraan yng Jaeko berikan, lantas langsung saja mendekat ke arah pria itu, lalu memfokuskan pandangannya ke arah yang dimaksudkan.

Vee mngerutkan kening. "Itu Sean 'kan?" tanyanya.

Dalam benak Vee mengatakan, jika yang dipandanginya sekarang adalah seorang anak laki-laki yang sangat diketahui merupakan putra dari John Jaeko Aditama yaitu John Sean Aditama yang tengah bertanding basket satu lawan satu dengan seorang anak gadis, jika dilihat sekilas, tentu saja Vee tahu gadis itu bersekolah disini, seragamnya pun sama dengan milik putrinya.

Jaeko memilih diam dan hanya berdehem sebentar namun, pikirannya berkelana kemana-mana, seperti tengah merencanakan sesuatu yang membuat sisi jail seorang Jaeko mencuat keluar, sudah lama tidak bersenang-senang, pikirnya.

"Vee, mau taruhan?"

Vee mengerutkan dahi melirik ke arah Jaeko, matanya memincing curiga. "Jangan aneh-aneh, Ko," ucapnya memperingati.

"Ya Tuhan, nggak bakalan aneh-aneh."

Jaeko mencoba meyakinkan namun, dalam hatinya menghitung score atas pertandingan anaknya yang sedang bertarung dibawah sana, 5-5, seri. Sedangkan Vee tetap menatap datar sang lawan bicara, tahu betul otak si pria itu tidak pernah beres jika itu menyangkut soal taruhan.

"Ayo kita taruhan, siapa yang akan menang di antara bocah kecil yang sedang memperubutkan bola disana, kau boleh memilih duluan siapa jagoanmu," tawar Jaeko dengan ekspresi sesantai mungkin.

"OK sebentar, aku lihat dulu," jawab Vee penuh semangat, membuat Jaeko salah mengira jika Vee akan curiga, padahal Vee tentu tahu satu poin yang sudah dilakukan Jaeko sebelumnya.

Vee melihat pertandingan yang menurutnya sama-sama kuatnya. Kemampuan mereka tidak jauh berbeda, gadis itu mampu menyeimbangi gerakan Sean. Memang tidak begitu jelas dari atas sini, namun sudah cukup hanya dengan melihat gerakan-gerakannya saja.

"Berapa skor mereka, Ko? Aku yakin sebelum kau menantangku, diam-diam kau menghitung score mereka. Benar 'kan?" tanya Vee dengan lirikan geli dan senyum miring.

Tepat sekali tebakan Vee, pria pemilik suara dengan khas bariton itu tidak mudah untuk dibohongi hanya dengan urusan seperti ini.

Jaeko menanggapi dengan cengiran sesaat sebelum menjawab, "Untuk saat ini seri, 7-7."

Vee cukup tercengang sampai menganga tidak percaya. Vee juga tidak buta untuk melihat bagaimana kualitas pertandingan anak-anak itu. Sebagai anak laki-laki yang mempunyai kekuatan yang begitu mendominasi, Sean sama sekali tidak mengalah.

Bagaimana mungkin dengan Sean yang tidak mengalah bisa mencetak pertandingan yang seri?

Seberapa kuat dan cerdiknya gadis yang dilawan Sean?

"Aku yakin kau akan memilih anakmu. Baiklah," Vee menyandarkan kedua telapak tangannya untuk bertumpu di bibir jendela, menatap lurus sosok gadis cilik yang mencoba merebut bola basket dengan cekatannya. "Aku akan memilih gadis itu," imbuhnya final menentukan pilihan.

"Lily, nama gadis itu Lily, teman Sean yang baru pindah hari ini." Jaeko memberitahu disusul anggukan oleh Vee tanda mengerti.

Kedua anak-anak yang bertanding dibawah sana tidak tahu betapa hebohnya para pria kurang kerjaan yang menonton mereka dari kejahuan. Support dan teriakan keduanya memenuhi ruangan. Jaeko berseru sangat kencang melihat anak tampannya kembali mencetak score, 19-18, memimpin.

"Kau hebat jagoan, kau persis sepertiku," teriak Jaeko bangga hingga menyamakan dengan masa keemasannya dulu saat masih aktif dalam permainan basket di sekolah.

"Hello, Ko, kau selalu dibawahku jika kau lupa," sergah Vee yang kenyataannya memang selalu lebih unggul dalam permainan ini.

Jaeko diam merasa kalah dengan kenyataan.

"Yaaas," ungkap bangga Vee dengan tangan mengepal keudara. "Bagus gadis manis, kau menyamai scoremu," teriaknya mengimbuhi.

Bahkan kurang puas, setelahnya Vee menunjuk-nunjuk Lily dan bergantian mentoel Jaeko untuk menunjukkan bahwa gadis jagoannya menyusul score yang tertinggal. Sepertinya Vee sangat senang sekali ini.

Dibalik itu semua, Jaeko diam-diam tersenyum. Mungkin sudah sangat lama sekali ia tidak melihat pemandangan seperti ini. Vee yang bersemangat hanya karena hal sederhana.

Jaeko lama mengamati Vee hingga kembali ke masa-masa dimana pria pemilik hidung tinggi itu seperti seorang yang putus asa. Ia sama sekali tidak pernah masuk dalam kehidupan pribadi Vee, yang ia tahu, Vee yang selalu tersenyum di depan Rachel putrinya, dan

berperangai sebagai seseorang yang tak tersentuh dengan kedudukannya.

Jaeko mencoba menepis bayangan itu, kembali lagi pada saat ini yang memang tidak boleh di lewati. "Detik-detik terakhir, Vee, kita lihat," ucapnya saat waktu mulai menepi diakhir.

"Sean kau pasti bisa."

"Lily kau pasti bisa."

Jaeko dan Vee saling merapalkan harapan mereka. Telapak tangan Vee pun tak henti-hentinya saling mengusap, berharap Lily lah yang akan memenangkan pertandingan.

Waktu terhitung mundur dari angka tiga.

"Yuhuuuuu, Sean menang, hahahahaha kau kalah." tunjuk Jaeko tepat di depan mata Vee saat bola orange itu tengah berhasil ditembakkan ke dalam ring oleh Sean.

"Jujur aku tidak kecewa sedikitpun, tontonan yang sangat menyenangkan," ungkap Vee sangat jujur. Terlihat sangat jelas dari sorot matanya yang teduh, Jaeko mengakui.

"Jadi apa yang harus aku lakukan?" Vee lanjut bertanya. Sangat ingat dengan taruhan yang diberikan oleh Jaeko, ia bukan tipe orang yang suka dengan ingkar janji.

Jaeko terkekeh. "Bisa mengantar Sean untuk pulang? Aku ada keperluan penting."

"Oke karena itu taruhannya aku akan kulakukan." Vee pun melangkah ingin cepat berlalu dari hadapan Jaeko.

"Tunggu Vee, ada hal penting yang harus kusampaikan lagi padamu."

Vee berbalik dengan alis tertaut penasaran. "Apa itu?"

"Deredolent menyelamatkanmu lagi, ini sudah ke-26 kalinya sejak tiga tahun yang lalu."

Vee hanya menghembuskan napasnya pelan, otaknya seolah-olah buntu hanya dengan mendengar nama itu. "Aku akan mencari tau lagi siapa orang dibalik pemilik nama Deredolent itu."

***

Vee mengambil bola di lantai hasil lemparan tidak sengaja yang di sebatkan oleh gadis cilik yang baru saja kalah dalam pertandingan yang dibilang cukup meyenangkan.

Vee berjalan menghampiri Sean dan Lily. "Hai Boy, Girl, apa kalian tidak akan pulang kerumah?" suara berat Vee berhasil mengintrupsi dan mengalihkan atensi.

"Oh, hai Om," sapa Sean mendapati Vee yang hampir berada di hadapannya, Lily pun mengikuti arah suara bariton pria itu.

Lily berjalan pelan ke arah Sean yang berada disampingnnya, meraih jemari Sean lalu menggenggamnya erat. Sean tahu sekali apa yang dirasakan Lily, gadis itu sedikit takut didekati pria dewasa yang belum dikenalnya.

"Tenang Lily, dia Om Vee, ayah Rachel," bisik Sean pelan pada Lily disampingnya.

Lily yang mendapat penjelasan dari Sean pun langsung mengerti lantas sedikit mendonggakan kepalannya, seketika loloslah air mata yang sedari tadi ditahannya.

Vee melihatnya, melihat Lily menangis, ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengerubung di rongga dadanya, menghentikan pasokan udara yang menimbulkan sesak yang teramat mencekik lehernya. Vee praktis bingung, kenapa hatinya begitu sedih melihat buntelan menggemaskan seperti Lily menangis sembari memandanginya, pun ada gemetar di sekujur tangannya.

Tanpa perintah atau intrupsi dari siapapun, Vee berjongkok menyamai tinggi Lily. "Hai gadis manis, kenapa kamu menangis, hm?" tanyanya dengan vokal tenang, lembut, seperti seorang ayah yang melihat anaknya sendiri.

Sean yang melihat Vee seperti itu sontak saja melihat ke arah mata Lily yang benar telah mengeluarkan air mata. "Kamu pasti menangis karena kalah 'kan? Mau makan ice cream? Ayolah, jangan memangis, tidak biasanya kamu cengeng." Sean membujuk dengan cerewetnya.

Lily mengangguk lucu akan bujukan yang Sean berikan. Vee yang melihatpun sangat gemas pada keduanya.

"Bagaiman kalau Om yang mentraktir kalian?" tawar Vee .

Mata Sean langsung berbinar. "Ide bagus, Om," ungkapnya.

"Terimasakih Uncle, boleh 'kan Lily memanggil Uncle?" tanya Lily ragu.

Vee tersenyum mendengar permintaan lugu Lily. "Boleh dong, sudah jangan menangis lagi, ya."

Vee menyeka air mata Lily dengan kedua ibu jari panjangnya, entah apa yang membuat ia bisa selembut itu pada Lily.

"Papa," panggil seoarang gadis seumuran Sean dan Lily dari sebrang sana.

Rachel. Tentu saja gadis itu yang bisa memanggil sebutan Ayah pada Vee disaat tidak ada lagi seorang pria dewasa lainnya di tempat ini. Semua mata pun langsung tertuju pada Rachel yang sedang berlari menuju tempat mereka.

"Anak Papa pelan-pelan dong larinya." Vee pun memeluk lalu mencium kedua pipi Rachel setelah gadis itu sudah mencapainya.

"Apa Papa menunggu lama? Rachel baru selesai melukis!" Rachel berbicara manja sekali pada ayahnya. Sean dan Lily hanya bisa menyaksikan interaksi dari keduanya.

"Tidak Princess, selama apapun, Papa pasti menunggu." ucap Vee sembari merapikan anakan rambut Rachel yang berantakan.

"Oh iya, bagaiman kalau kita makan ice cream dulu bersama Sean dan Lily," tawar Vee pada putrinya.

"Papa kenal Lily?" tanya Rachel heran. Pasalnya baru hari ini Lily pindah sekolah, sudah pasti baru pertama kali juga bertemu dengan ayahnya.

Vee tersenyum menanggapi. "Om Jaeko yang memberitahu. Bagaimana, Princess mau tidak?"

Rachel mengangguk semangat. "Oke, Rachel mau."

Sign, Pee🍂

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rara
Bapak bapak lagi asik sendiri ya
goodnovel comment avatar
Maria
Cutie anak anak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status