Share

Petualangan Dimulai

Pagi pun menyingsing, sinarnya menyeruak dari ufuk timur. Malam dingin berganti dengan pagi yang hangat.

Ayam berkokok saling bersautan, bagai alarm yang setia setiap pagi berbunyi. Membantu orang-orang terbangun dari lelapnya tidur dimalam hari.

***

Saat menjelang shalat subuh, kami semua di bangunkan oleh para santri yang berjaga. Gembok di luar pintu pun dibuka, agar kami semua bisa shalat berjamaah di musholla.

Saat malam selepas ba'da insya, pintu asrama akan di gembok dari luar dan dibuka lagi menjelang subuh. Begitulah setiap malam.

Para santriwan akan berjaga di sekeliling pesantren, menyusuri lorong-lorong asrama yang temaram karena minimnya pencahayaan dan setiap sudut pesantren guna memastikan keadaan sekitar aman.

Terkadang mereka juga akan minta dibuatkan kopi pada kami, guna menjaga mata agar tetap terjaga sepanjang malam.

Sangat jelas teringat  di dalam benak, saat kami ingin ke asrama sebelah. Kami akan melewati dinding dengan cara memanjat, karena tak mungkin bagi kami melewati pintu yang sudah terkunci dari luar.

Ada-ada saja ulah kami. Ada yang ingin mengantar atau berbagi makanan, ada yang ingin menumpang tidur, bahkan ada yang belajar mengaji.

Perjuangan anak pesantren, yang mulanya tak bisa apa-apa berubah dewasa seiring berjalannya waktu. Meraka menyikapi hidup dengan cara yang berbeda. Jauh dari orang tua, tak kelak membuat mereka mundur.

Aku akui, hati menjerit, mata menangis saat rasa rindu menerpa. Dekapan orangtua sangat kami butuhkan saat terluka dan sakit.

Kakiku pernah terluka, saat mandi di sumur dalam hutan. Saat itu aku tergelincir, serpihan kayu yang lumayan besar masuk menembus kulit telapak kakiku.

Sakit?... sudah pasti, namun aku hanya bisa mengais dalam diam. Berusaha mengeluarkan serpihan itu dari dalam dagingku, saat malam tiba kakiku meradang.

Rasa sakit dan bengkak sangat menyiksa, disaat seperti ini lah aku sangat membutuhkan belaian kasih sayang dari orang tuaku.

Saat itu aku hanya bisa bergumam ditengah malam. Karena takut membangunkan teman-teman yang sedang terlelap.

Tangis ku pecah di balik bantal, meredam suara agar tak terdengar. Isak tangis pilu mengiris hati siapapun yang mendengarnya.

"Ya Allah ..., sakit sekali. Serasa tak sanggup jika harus terus menjalani kehidupan seperti ini," kataku mendongakkan kepala sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi.

"Mak ...! aku rindu, aku membutuhkanmu. Bagaimana caraku menghilangkan rasa sakit ini," ratapku ditengah keheningan malam, mengusap air mata dan terus mencungkil sisa serpihan kayu di kakiku.

***

Setelah shalat subuh, kami melanjutkan dengan tadarus bersama, sampai waktu shalat Dhuha baru kami akan berhenti.

Shalat Dhuha di mulai pukul 8.00 pagi. Kami melaksanakannya di musholla pesantren secara berjamaah.

Setelah selasai, aku dan Mila telah siap untuk bergegas pulang, sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Kami mulai menyusuri jalan setapak yang ada di samping pesantren.

Sepanjang jalan menuju titik pertemuan, mata kami disuguhkan dengan pemandangan hijau nan asri.

Saat bangunan pesantren tidak terlihat lagi dari jangkauan netra. Kami bertemu dengan santriwan yang telah berangkat lebih dulu, menanti aku dan Mila di kejauhan.

'Kenapa kami bertemu di hutan? kenapa tidak di pesantren?' Mungkin inilah yang ada dibenak para pembaca sekalian.

Karena di hutan kami tidak akan ketahuan pengurus pondok dan sebaliknya jika kami bertemu di pesantren, dapat dipastikan kami akan gagal untuk pulang.

Peraturan pondok yang melarang kami saling berinteraksi kecuali ada urusan pembelajaran atau mendesak saja.

Pengurus pesantren juga tidak tahu kalau kami pulang dengan berjalan kaki, karena kami juga tidak pernah memberi tahu kalau kami pulang melalui jalan alternatif.

Perjalanan kami mulai dengan bercerita berbagai macam hal, mulai dari mitos sampai kejadian nyata.

Konon katanya, di belakang pesantren ini terdapat makam seseorang yang berilmu. Tubuhnya dimakamkan secara terpisah, karena ilmu hitam yang dianut. Membuat dia harus menerima perlakuan seperti itu.

Entah ilmu seperti apa itu tapi, orang-orang menyebutnya dengan ilmu rawarontek. Ilmu yang bisa menyatukan tubuh dan bisa hidup kembali saat darahnya menyentuh tanah.

Tubuhnya dibagi menjadi empat bagian dan di tanam di empat penjuru mata angin yang terpisah jauh, tak lupa pula setiap tubuh ditancapkan bambu kuning, supaya tubuhnya tak bisa bangkit dan menyatu kembali.

Selama empat puluh hari, empat puluh malam. Warga desa, tempat dia tinggal semasa hidupnya, didatangi satu-persatu.

Dia meminta supaya bambu yang ada di setiap pusaran nya dicabut dan tubuhnya didekatkan supaya dia bisa bangkit kembali.

Warga yang takut dan sudah resah dengan kelakuannya semasa hidup, cuma bisa bertahan dan mengabaikan. Mereka takut karena digilir setiap malam tapi, mereka lebih takut jika dia bangkit lagi.

Begitulah cerita yang kudengar dari santriwan yang bersama kami. Cerita ini sudah turun-temurun bak dongeng sebelum tidur, diketahui semua santri yang sudah cukup lama beranda di sini.

***

**Janganlah kalian bersekutu dengan setan, karena sesungguhnya, itu adalah perbuatan syirik**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status