[Halo, Tuan]
[Kenapa belum memberi kabar, Risma?]
[Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.]
[Kamu dimana sekarang?]
[Di Rumah Sakit Pelita Hati]
[Aku kesana sekarang.]
Tut.
Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.
Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.
Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.
Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.
Aku melihat wajah anakku yang masih terpejam. Terdengar bunyi di layar monitor menandakan anakku jantungnya masih berdetak.
“Bangunlah, Sayang. Ibu kangen sama kamu.” Aku berucap lirih. Aku tetap mengajaknya bicara, meskipun Ririn tidak merespon, tapi aku yakin telinganya masih mendengar.
Drrt ... Drrt ... Drrt
Gawaiku bergetar, aku segera mengangkatnya.
[Aku sudah di depan]
Tut ... tut ... tut
Belum sempat aku mengucap salam telepon langsung dimatikan. Terkadang aku heran dengan Tuan Rey, Kadang terlihat baik dan perhatian, terkadang terlihat dingin dan cuek. Ah, sudahlah ngapain juga mikirin Tuan Rey, mending sekarang aku ke depan daripada nanti marah-marah lagi.
“Siapa yang sakit? Tuan Rey bertanya saat melihatku.
“Anak saya, Tuan. Arif dan Ririn. Mereka jadi korban kekerasan ayahnya,” ucapku dengan marah.
“Maksudnya?” Ia minta penjelasan
“Seperti yang kubilang kemarin Tuan, suamiku menikah lagi, dan ternyata selama ini mereka menyiksa kedua anakku, selepas dari sana aku membawa mereka ke rumah sakit dan inilah hasilnya, Arif menderita banyak luka fisik sedangkan Ririn terbaring koma.” Aku menangis kembali. Entah sudah berapa kali aku menangis. Sesak didalam dada tak juga menghilang, rasanya seperti terhimpit beban berat.
“Aku mau lihat anakmu, boleh?” tanyanya kemudian.
“Boleh, Tuan. Ruangannya sebelah sini.” Aku berjalan didepannya menunjukkan ruangan Arif di rawat.
Arif sedang diperiksa suster, sepertinya suster itu mengganti cairan infus Arif. Setelah menyalami Ibuku Tuan Ronald mendekati Suster itu dan berkata, “Tolong pindahkan pasien ini ke ruangan VVIP juga pasien di ICU atas nama Ririn berikan pelayanan yang terbaik.”
“Tidak usah, Tuan,” tolakku. Aku sungguh tidak ingin berhutang budi kepada bosku ini.
“Jangan menolak, anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawabku kepadamu.”
“Tapi, Tuan ....” Aku tetap tidak enak hati menerimanya.
“Sudahlah kau menurut saja.” Ibu memotong ucapanku.
“Sepertinya dia bermaksud baik. Siapa dia Risma?” Ibu menengok ke arahku.
“Dia bosku, Bu. Selama di luar negeri aku kerja sama dia.”
“Saya Ronald Keith, nama lengkapnya Ronald Keith Sasongko. Biasa dipanggil Rey. Ibu saya dari Indonesia bernama Riana Sasongko.”
“Wah, pantas saja bahasa Indonesiamu sangat bagus. Tapi nama Riana Sasongko sepertinya aku pernah mendengarnya.” Ibu memegang keningnya dengan telunjuk sambil berusaha mengingat-ingat.
“Ibu ....” Arif memanggilku.
“Iya, Sayang. Kamu haus? Atau lapar? Pengin sesuatu?” tanyaku beruntun.
“Boleh aku makan buah itu? Sudah lama aku tidak pernah makan buah.” Arif menunjuk buah apel yang tersedia di meja.
“Boleh banget, Sayang. Ibu kupaskan ya?”
Arif mengangguk.
“Aku senang Ibu sudah kembali. Dulu Ayah dan tante Mala selalu bilang kalau Ibu pergi karena benci padaku, makanya meninggalkanku di sini sama ayah, tapi aku tidak pernah percaya itu.” Arif mengambil apel yang sudah kukupas dan memakannya.
Aku mendengarkan dengan seksama.
“Ibu, apa kau benar-benar membenciku?” tanya Arif sendu
Aku meletakkan apel dan pisau yang kupegang kemudian memeluknya hati-hati.
“Mana mungkin Ibu membencimu? Justru Ibu sangat menyayangimu, Nak. Kamu anak kebanggaan Ibu. Ibu ingat dulu kamu selalu juara kelas dan jadi murid teladan di sekolah,”
“Aku pengin sekolah lagi, Bu,” ucapnya kemudian.
“Boleh, tapi kamu harus sembuh dulu, Nak. Nanti ke sekolah bareng Ibu.”
“Hore! Tak sabar rasanya. Sudah tiga tahun aku tidak sekolah, gimana kabar teman-teman dan Bu Guru ya, Bu?”
Arif begitu gembira bisa sekolah lagi, tapi aku bingung, dia bilang sudah tiga tahun tidak sekolah. Apa maksudnya?
“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?Arif menggeleng.“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak me
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 11Aku baru saja pindah ke Amerika, membantu ayahku mengurusi bisnis keluarga kami. Aku memutuskan membeli rumah dan tinggal sendiri daripada bersama ayahku. Aku pun mencari Asisten Rumah Tangga yang akan membantu mengurusi rumah, hingga dari yayasan penyalur ART memberikan CV seorang wanita bernama Risma. Dia berasal dari Indonesia, tanah kelahiran Ibuku.Wajah Risma cantik, bersih, tanpa make up menor, mengingatkanku akan almarhumah istriku. Kerjanya rajin dan masakannya enak. Tinggal berdua di rumah menimbulkan benih cinta di hatiku, walaupun aku tahu dia sudah bersuami. Aku hanya diam, tak mau aku mengganggu rumah tangga orang lain. Sampai akhirnya Risma berpamitan, mengundurkan diri dan akan kembali ke Indonesia saat kutanya alasannya ternyata suaminya selingkuh. Akhirnya aku ikut ke Indonesia dengan dalih menengok Ibuku, padahal aku tak bisa jauh dari Risma.Saat mendengar dia di rumah sakit, secepat kilat aku datang. Ternyata anaknya terluka dan koma akibat perbuatan ayahny
Bab 12“Rey ... Rey ....” Risma menangis, tangannya gemetar melihat begitu banyak darah.“Tolong, siapa saja tolong bantu aku membawanya ke rumah sakit.” Risma melihat sekeliling, lalu dari arah belakangnya seseorang mendekat.“Aku akan membantumu, Mbak!” ucap Lita, dan Imran—suaminya—segera memapah Rey untuk membawanya ke rumah sakit.Sesampai di rumah sakit tindakan langsung dilakukan. Risma sempat mengambil gawai Rey di mobil, hendak menghubungi Nyonya Riana, Ibunya Rey.“Halo, Rey,” ucap Riana di seberang“Ini Risma, Nyonya. Tuan Rey masuk rumah sakit, jadi korban penusukan.” Risma mengadu sambil menangis.“Apa?! Rumah sakit mana? Aku kesana sekarang!”Risma memutuskan panggilan setelah memberi tahu rumah sakitnya. Tak berapa lama Nyonya Riana datang dan duduk disampingnya. Sekilas Risma menceritakan semua yang terjadi. Dan seperti yang ia duga, Nyonya Risma tak bisa memaafkannya.“Jadi ini semua gara-gara kamu?! Ku kira wanita mana yang membuatnya sampai terbang ke sini. Jadi kam
“Dia adalah Aida, asisten pribadiku, dulunya. Sekarang aku tugaskan dia untuk menemanimu, Risma.” Nyonya Riana memperkenalkan wanita itu kepadaku.“Tapi kenapa, Nyonya? Saya bukan pengusaha ataupun orang penting yang harus didampingi asisten pribadi. Maaf, saya menolaknya, Nyonya.”“Kau tak usah menganggapnya asisten, jadikan dia temanmu, Risma. Dia akan membantumu membalas keluarga suamimu itu.” Rey menimpali.“Kamu dan Rey bukan muhrim, dan kamu masih bersuami, tak baik selalu kelihatan bersama. Jadi, lebih baik kau bersama Aida saja,” ujar Nyonya Riana.“Sudahlah, kau menurut saja, semua sudah kuatur. Kau turuti saja semua rencana ini,” kata Rey meyakinkan Risma.“Mulai besok Aida akan tinggal di bersamamu, ujarnya kemudian.Risma menghela napas. “Baiklah, Tuan.”“Oke, Risma. Aku manggil nama aja ya? Kayaknya kita seumuran. Kita pergi sekarang.” Aida menarik tangan Risma.“Sebentar, aku pamit dulu. Tuan Rey, Nyonya Riana, saya permisi dulu.” Risma sedikit membungkukkan badannya.Ia
Azan berkumandang, aku segera bangun dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, berserah diri kepada Tuhan atas apa yang akan terjadi selanjutnya.Aku kebawah hendak memasak sarapan, tapi ternyata di dapur sudah ramai, para asisten rumah tangga tampak sibuk di tugasnya masing-masing.Aku kembali keatas, hendak mandi dan mempersiapkan diri. Di pintu lemari sudah digantung pakaian yang akan kupakai hari ini, aku tersenyum, biasanya aku yang melakukan pekerjaan itu, menyiapkan baju dan perlengkapan Rey sebelum kerja, tapi sekarang aku yang dilayani. Memang roda kehidupan akan berputar.“Risma, sudah belum? Ayo sarapan dulu, kita harus segera berangkat kerumah mertuamu.” Terdengar suara Aida di depan pintu.“Iya, sebentar lagi selesei.” Teriakku dari dalam kamar.Aku mengambil gawaiku dan menghubungi Ibu, memberitahunya bahwa akan ada yang menjemput kepulangan Arif dan tak usah kuatir masalah biaya karena sudah dibayar lunas.Arif dan Ririn akhirnya boleh pulang. Ya, Ririn juga boleh pu