Share

Bab 6 Kedatangan Tuan Rey

[Halo, Tuan]

[Kenapa belum memberi kabar, Risma?]

[Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.]

[Kamu dimana sekarang?]

[Di Rumah Sakit Pelita Hati]

[Aku kesana sekarang.]

Tut.

Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.

Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.

Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.

Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.

Aku melihat wajah anakku yang masih terpejam. Terdengar bunyi di layar monitor menandakan anakku jantungnya masih berdetak.

“Bangunlah, Sayang. Ibu kangen sama kamu.” Aku berucap lirih. Aku tetap mengajaknya bicara, meskipun Ririn tidak merespon, tapi aku yakin telinganya masih mendengar.

Drrt ... Drrt ... Drrt

Gawaiku bergetar, aku segera mengangkatnya.

[Aku sudah di depan]

Tut ... tut ... tut

Belum sempat aku mengucap salam telepon langsung dimatikan. Terkadang aku heran dengan Tuan Rey, Kadang terlihat baik dan perhatian, terkadang terlihat dingin dan cuek. Ah, sudahlah ngapain juga mikirin Tuan Rey, mending sekarang aku ke depan daripada nanti marah-marah lagi.

“Siapa yang sakit? Tuan Rey bertanya saat melihatku.

“Anak saya, Tuan. Arif dan Ririn. Mereka jadi korban kekerasan ayahnya,” ucapku dengan marah.

“Maksudnya?” Ia minta penjelasan

“Seperti yang kubilang kemarin Tuan, suamiku menikah lagi, dan ternyata selama ini mereka menyiksa kedua anakku, selepas dari sana aku membawa mereka ke rumah sakit dan inilah hasilnya, Arif menderita banyak luka fisik sedangkan Ririn terbaring  koma.” Aku menangis kembali. Entah sudah berapa kali aku menangis. Sesak didalam dada tak juga menghilang, rasanya seperti terhimpit beban berat.

“Aku mau lihat anakmu, boleh?” tanyanya kemudian.

“Boleh, Tuan. Ruangannya sebelah sini.” Aku berjalan didepannya menunjukkan  ruangan Arif di rawat.

Arif sedang diperiksa suster, sepertinya suster itu mengganti cairan infus Arif. Setelah menyalami Ibuku Tuan Ronald mendekati Suster itu dan berkata, “Tolong pindahkan pasien ini ke ruangan VVIP juga pasien di ICU atas nama Ririn berikan pelayanan yang terbaik.”

“Tidak usah, Tuan,” tolakku. Aku sungguh tidak ingin berhutang budi kepada bosku ini.

“Jangan menolak, anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawabku kepadamu.”

“Tapi, Tuan ....” Aku tetap tidak enak hati menerimanya.

“Sudahlah kau menurut saja.” Ibu memotong ucapanku.

“Sepertinya dia bermaksud baik. Siapa dia Risma?” Ibu menengok ke arahku.

“Dia bosku, Bu. Selama di luar negeri aku kerja sama dia.”

“Saya Ronald  Keith, nama lengkapnya Ronald Keith Sasongko. Biasa dipanggil Rey. Ibu saya dari Indonesia bernama Riana Sasongko.”

“Wah, pantas saja bahasa Indonesiamu sangat bagus. Tapi nama Riana Sasongko sepertinya aku pernah mendengarnya.” Ibu memegang keningnya dengan telunjuk sambil berusaha mengingat-ingat.

“Ibu ....” Arif memanggilku.

“Iya, Sayang. Kamu haus? Atau lapar? Pengin sesuatu?” tanyaku beruntun.

“Boleh aku makan buah itu? Sudah lama aku tidak pernah makan buah.” Arif menunjuk buah apel yang tersedia di meja.

“Boleh banget, Sayang. Ibu kupaskan ya?”

Arif mengangguk.

“Aku senang Ibu sudah kembali. Dulu Ayah dan tante Mala selalu bilang kalau Ibu pergi karena benci padaku, makanya meninggalkanku di sini sama ayah, tapi aku tidak pernah percaya itu.” Arif  mengambil apel yang sudah kukupas dan memakannya.

Aku mendengarkan dengan seksama.

“Ibu, apa kau benar-benar membenciku?” tanya Arif sendu

Aku meletakkan apel dan pisau yang kupegang kemudian memeluknya hati-hati.

“Mana mungkin Ibu membencimu? Justru Ibu sangat menyayangimu, Nak. Kamu anak kebanggaan Ibu. Ibu ingat dulu kamu selalu juara kelas dan jadi murid teladan di sekolah,”

“Aku pengin sekolah lagi, Bu,” ucapnya kemudian.

“Boleh, tapi kamu harus sembuh dulu, Nak. Nanti ke sekolah bareng Ibu.”

“Hore! Tak sabar rasanya. Sudah tiga tahun aku tidak sekolah, gimana kabar teman-teman dan Bu Guru ya, Bu?”

Arif begitu gembira bisa sekolah lagi, tapi aku bingung, dia bilang sudah tiga tahun tidak sekolah. Apa maksudnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status