Share

Bab 5 Arif Sakit Parah

“Risma ... tunggu dulu Risma ....” Mas Rido mengejarku.

“Aku masih mencintai kamu ... Percayalah padaku! Aku ....”

“Cukup, Mas! Aku sudah Muak!” Aku menghentikan ucapan Mas Rido.

“Kau tidak hanya melukaiku tapi juga melukai hati anakmu. Kau bahkan tidak merasa bersalah telah menyakiti mereka! Aku bukan hanya kecewa padamu, tapi aku membencimu!!”

“Maaf, aku sedang emosi saja saat itu, tapi aku menyayanginya, bagaimanapun mereka anakku!”

“Sayang kau bilang? Menyiksa anak seperti hewan apa itu bentuk rasa sayangmu?” Aku tidak bisa menerima alasan  Mas Rido.

Mas Rido terdiam tak membalas ucapanku.

“Kalau aku tak datang, kau pasti masih akan terus menyiksa anakku.

“Kau urusi saja istri barumu itu, Mas.” Aku melirik ke arah Mala yang hanya diam saja melihat kami ribut.

“Tapi jangan pakai uangku!”

Aku berlalu pergi.

Cukup sudah semua ini. Aku harus mengakhirinya  Aku tidak akan pernah ikhlas jika hartaku dinikmati oleh Mas Rido dan  Mala. Lebih baik harta itu untuk anakku kelak.

Aku segera menuju rumah sakit untuk melihat keadaanku. Aku memanggil taksi online kembali. Barang -barang di truk itu biarlah aku lelang saja. Aku juga tak mau menggunakan barang-barang dari mereka. Aku segera membuka aplikasi jual beli online dan mengirimkan beberapa gambar di sana.

“Bagaimana keadaan Arif dan Ririn, Bu?”

Aku segera bertanya kepada Ibuku begitu sampai di ruang perawatan mereka.

“Mereka ....” Ibuku malah menangis, Ada apa ini?

“Mereka baik-baik saja kan bu?” tanyaku cemas.

“Banyak luka di tubuh Arif, sedangkan Ririn ....” Ibuku mengambil napas sebelum melanjutkan ucapannya.

“Dia koma, Nak.” Ibu kemudian menangis.

Aku luruh jatuh ke lantai. Menangisi keadaan kedua anakku. Ku kira tak sampai melukai fisik. Ternyata Mas Rido dan Mala sudah keterlaluan. Akan kulaporkan mereka nanti.

“Aku mau lihat keadaan  mereka, Bu,” ucapku pada Ibu.

Ibu hanya mengangguk lalu berkata.”Kamu harus kuat, Nak. Demi anakmu jangan perlihatkan kesedihanmu.”

Di dalam kamar terlihat Arif sedang tidur. Aku mendekati ranjang dan mengecup kening anakku lama. Terlihat Arif mulai mengerjapkan matanya., ia terbangun.

“Maaf ayah, aku tertidur, aku akan bangun. Aku akan kerja lagi. Aku hanya ambil sedikit saja nasinya, aku lapar ayah. Kumohon jangan pukul lagi, jangan siksa aku lagi.”

 Arif tiba-tiba berteriak.

Hatiku sangat sakit melihatnya. Begitu kejam perlakuan ayahnya sehingga menimbulkan trauma yang mendalam.

“Nak, tenanglah. Ini Ibu.” Aku pun memeluk anakku sambil terisak.

“Ibu, tolong bilang pada ayah, agar jangan memukuli Kami. Aku dan Ririn bukan anak pembawa sial. Jangan pukuli kami.”

Tangisanku semakin deras, sungguh aku benar-benar tak tega melihatnya. Aku hanya bisa memeluk anakku yang sedang menangis, terlihat ketakutan. Aku melirik ke arah Ibu, Ibu masuk bersama dokter. Sepertinya Ibu memanggilnya saat Arif berteriak tadi. Dokter pun memeriksanya dan menyuntikkan obat penenang agar Arif tidak teriak-teriak lagi.

“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”

Dokter itu menoleh. “Anda Ibunya?” Dokter itu bertanya. Aku pun mengangguk.

“Mari ikut ke ruangan saya, nanti saya jelaskan.” Dokter segera berjalan keluar ruang perawatan

Aku pun mengikuti  dokter itu.

“Jadi begini, Bu. Banyak luka memar di tangan dan kaki Arif, ada juga bekas sundutan rokok di tangan dan kakinya. Tidak hanya satu tapi tiga. Belum lagi ada sedikit luka bakar di pahanya. Dan juga ada gegar otak ringan di kepalanya.”

Dokter itu terdiam sejenak.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Bu? Kenapa bisa seperti ini?” tanyanya kemudian.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Lalu mengalirlah cerita itu, tentang aku jadi TW dan kekejaman suami serta istri barunya.

“Bagaimana keadaan anakku  Ririn, Dok, Kenapa dia bisa koma?” tanyaku pada  dokter itu.

“Anak Ibu mendapat benturan cukup keras di kepalanya. Cedera kepala dapat menyebabkan otak membengkak atau berdarah. Saat otak membengkak akibat trauma, cairan pada otak otomatis mendorong ke atas ke tengkorak. Pembengkakan pada akhirnya dapat menyebabkan otak menekan batang otak, sehingga merusak RAS (Reticular Activating System) bagian otak yang bertanggung jawab untuk membuat seseorang tetap sadar.” Dokter yang bernama Rama itu menjelaskan panjang lebar.

Aku kembali menangis. Batinku seakan tak kuat menerima berita ini. Kedua anakku menderita lahir batin sedangkan aku selama ini tak tahu apa-apa.

“Ibu yang sabar ya, Tuhan tidak akan menguji melebihi kemampuan hamba—Nya,” ucap Dokter itu.

“Iya, terimakasih, Dokter. Saya permisi dulu.”

Aku keluar dari ruang dokter itu. Duduk di kursi yang ada di selasar rumah sakit. Pikiranku kosong. Aku bingung apa yang harus kulakulan sekarang.

Ya, Tuhan. Begitu berat cobaan—Mu. Sakitnya diselingkuhi tak seberapa dibanding sakitnya melihat anakku terluka.

Drrt ... Drrt .... Drrt

Gawaiku bergetar. Aku mengambilnya dan melihat siapa yang memanggil

[Halo, Tuan]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status