“Risma ... tunggu dulu Risma ....” Mas Rido mengejarku.
“Aku masih mencintai kamu ... Percayalah padaku! Aku ....”
“Cukup, Mas! Aku sudah Muak!” Aku menghentikan ucapan Mas Rido.
“Kau tidak hanya melukaiku tapi juga melukai hati anakmu. Kau bahkan tidak merasa bersalah telah menyakiti mereka! Aku bukan hanya kecewa padamu, tapi aku membencimu!!”
“Maaf, aku sedang emosi saja saat itu, tapi aku menyayanginya, bagaimanapun mereka anakku!”
“Sayang kau bilang? Menyiksa anak seperti hewan apa itu bentuk rasa sayangmu?” Aku tidak bisa menerima alasan Mas Rido.
Mas Rido terdiam tak membalas ucapanku.
“Kalau aku tak datang, kau pasti masih akan terus menyiksa anakku.
“Kau urusi saja istri barumu itu, Mas.” Aku melirik ke arah Mala yang hanya diam saja melihat kami ribut.
“Tapi jangan pakai uangku!”
Aku berlalu pergi.
Cukup sudah semua ini. Aku harus mengakhirinya Aku tidak akan pernah ikhlas jika hartaku dinikmati oleh Mas Rido dan Mala. Lebih baik harta itu untuk anakku kelak.
Aku segera menuju rumah sakit untuk melihat keadaanku. Aku memanggil taksi online kembali. Barang -barang di truk itu biarlah aku lelang saja. Aku juga tak mau menggunakan barang-barang dari mereka. Aku segera membuka aplikasi jual beli online dan mengirimkan beberapa gambar di sana.
“Bagaimana keadaan Arif dan Ririn, Bu?”
Aku segera bertanya kepada Ibuku begitu sampai di ruang perawatan mereka.
“Mereka ....” Ibuku malah menangis, Ada apa ini?
“Mereka baik-baik saja kan bu?” tanyaku cemas.
“Banyak luka di tubuh Arif, sedangkan Ririn ....” Ibuku mengambil napas sebelum melanjutkan ucapannya.
“Dia koma, Nak.” Ibu kemudian menangis.
Aku luruh jatuh ke lantai. Menangisi keadaan kedua anakku. Ku kira tak sampai melukai fisik. Ternyata Mas Rido dan Mala sudah keterlaluan. Akan kulaporkan mereka nanti.
“Aku mau lihat keadaan mereka, Bu,” ucapku pada Ibu.
Ibu hanya mengangguk lalu berkata.”Kamu harus kuat, Nak. Demi anakmu jangan perlihatkan kesedihanmu.”
Di dalam kamar terlihat Arif sedang tidur. Aku mendekati ranjang dan mengecup kening anakku lama. Terlihat Arif mulai mengerjapkan matanya., ia terbangun.
“Maaf ayah, aku tertidur, aku akan bangun. Aku akan kerja lagi. Aku hanya ambil sedikit saja nasinya, aku lapar ayah. Kumohon jangan pukul lagi, jangan siksa aku lagi.”
Arif tiba-tiba berteriak.
Hatiku sangat sakit melihatnya. Begitu kejam perlakuan ayahnya sehingga menimbulkan trauma yang mendalam.
“Nak, tenanglah. Ini Ibu.” Aku pun memeluk anakku sambil terisak.
“Ibu, tolong bilang pada ayah, agar jangan memukuli Kami. Aku dan Ririn bukan anak pembawa sial. Jangan pukuli kami.”
Tangisanku semakin deras, sungguh aku benar-benar tak tega melihatnya. Aku hanya bisa memeluk anakku yang sedang menangis, terlihat ketakutan. Aku melirik ke arah Ibu, Ibu masuk bersama dokter. Sepertinya Ibu memanggilnya saat Arif berteriak tadi. Dokter pun memeriksanya dan menyuntikkan obat penenang agar Arif tidak teriak-teriak lagi.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
Dokter itu menoleh. “Anda Ibunya?” Dokter itu bertanya. Aku pun mengangguk.
“Mari ikut ke ruangan saya, nanti saya jelaskan.” Dokter segera berjalan keluar ruang perawatan
Aku pun mengikuti dokter itu.
“Jadi begini, Bu. Banyak luka memar di tangan dan kaki Arif, ada juga bekas sundutan rokok di tangan dan kakinya. Tidak hanya satu tapi tiga. Belum lagi ada sedikit luka bakar di pahanya. Dan juga ada gegar otak ringan di kepalanya.”
Dokter itu terdiam sejenak.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Bu? Kenapa bisa seperti ini?” tanyanya kemudian.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Lalu mengalirlah cerita itu, tentang aku jadi TW dan kekejaman suami serta istri barunya.
“Bagaimana keadaan anakku Ririn, Dok, Kenapa dia bisa koma?” tanyaku pada dokter itu.
“Anak Ibu mendapat benturan cukup keras di kepalanya. Cedera kepala dapat menyebabkan otak membengkak atau berdarah. Saat otak membengkak akibat trauma, cairan pada otak otomatis mendorong ke atas ke tengkorak. Pembengkakan pada akhirnya dapat menyebabkan otak menekan batang otak, sehingga merusak RAS (Reticular Activating System) bagian otak yang bertanggung jawab untuk membuat seseorang tetap sadar.” Dokter yang bernama Rama itu menjelaskan panjang lebar.
Aku kembali menangis. Batinku seakan tak kuat menerima berita ini. Kedua anakku menderita lahir batin sedangkan aku selama ini tak tahu apa-apa.
“Ibu yang sabar ya, Tuhan tidak akan menguji melebihi kemampuan hamba—Nya,” ucap Dokter itu.
“Iya, terimakasih, Dokter. Saya permisi dulu.”
Aku keluar dari ruang dokter itu. Duduk di kursi yang ada di selasar rumah sakit. Pikiranku kosong. Aku bingung apa yang harus kulakulan sekarang.
Ya, Tuhan. Begitu berat cobaan—Mu. Sakitnya diselingkuhi tak seberapa dibanding sakitnya melihat anakku terluka.
Drrt ... Drrt .... Drrt
Gawaiku bergetar. Aku mengambilnya dan melihat siapa yang memanggil
[Halo, Tuan]
[Halo, Tuan][Kenapa belum memberi kabar, Risma?][Maaf, Tuan, banyak yang terjadi, aku jadi lupa belum mengabari Tuan.][Kamu dimana sekarang?][Di Rumah Sakit Pelita Hati][Aku kesana sekarang.]Tut.Telepon dimatikan tanpa menungguku menjawab. Aku memasukkan ponsel kedalam tas dan menuju ICU untuk melihat Ririn.Setelah mendapat izin dari perawat, aku segera masuk ke ruang ICU.Aku menangis lagi. Meskipun berusaha kuat tapi tetap saja air mata ini jatuh sendiri melihat Ririn. Di badannya terpasang banyak selang, ada juga selang di mulut dan tangannya. Belum lagi kepalanya diperban, mungkin itu cedera yang dimaksud dokter tadi.Kemarin karena panik aku jadi tak menyadari kalau darah di tangannya berasal dari kepala, bukan di tangan karena dia berusaha membuka pintu.Aku
“Arif, maksudnya apa? Ibu tidak mengerti!” Pelan-pelan kutanya anakku agar mau bercerita kembali.“Sepeninggal Ibu, Ayah bilang tidak usah sekolah karena hanya membuang-buang uang. Awalnya aku keberatan karena aku sedih harus berpisah dengan Bu Guru dan teman sekelas tapi ayah malah memukulku dengan sapu, ayah juga menamparku, ayah bilang aku harus menurut apapun perkataan ayah dan tante Mala,” jawab Arif sambil memainkan robot yang dibawa Tuan Rey.“Jadi selama ini kamu tidak sekolah?” tanyaku memastikan?Arif menggeleng.“Bagaimana dengan Adikmu?” tanyaku lagi.Dia juga tidak sekolah, Bu. Kadang aku kasihan liat Ririn soalnya Tante Mala menyuruh Ririn mengerjakan semuanya, dari bersih-bersih sampai memasak. Kalau ada yang tidak sesuai pasti ditampar. Kalau aku membantu pasti aku juga ikut dipukul.”Pandangan mataku tiba-tiba kabur, sekuat tenaga aku menahan agar tak me
Bab 8“Hah?!Ibu mertuaku akhirnya tahu, aku kemarin sempat heran kenapa Bu Nining, Ibu mertuaku tak ada saat aku mendatangi rumah Mas Rido.“Nanti aku ke sana,” jawabku lalu menutup panggilan.“Siapa yang menelepon Ris?” Ibu bertanya padaku saat aku sudah mematikan panggilanku.“Bu Nining, Bu. Kata orang suruhanku dia ngamuk-ngamuk di rumah Mas Rido. Katanya mencariku, Bu.”“Lalu kamu mau ke sana?” tanya Ibu kemudian.“Entahlah, Bu. Menurut Ibu gimana baiknya?”“Biarin aja dia ngamuk-ngamuk, nanti juga berhenti sendiri. Ini sudah hampir malam, besok saja kamu ke sana. Kamu juga butuh istirahat, balas dendam jug
Ting.Bunyi pesan masuk di gawaiku. Aku lalu membukanya[Anak Ibu sudah sadar, dimohon ke ruang ICU sekarang. Terima kasih.]Subhanallah ... Terima kasih Ya Allah. Aku segera bergegas ke ruang ICU setelah berpamitan dengan Arif, dia sudah ceria kembali.“Gimana keadaan anak saya, Suster?” Aku langsung bertanya pada Suster yang sudah menungguku.“ Badannya masih lemas karena baru sadar dari koma, sebaiknya jangan diajak bicara dulu. Menunggu sampai anak Ibu benar-benar kuat.”Aku segera masuk ke ruangan anakku dirawat, dia menoleh, tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya, lalu ikut tersenyum.Setelah dilakukan serangkaian tes kesehatan, akhirnya Ririn dipindahkan ke ruang rawat, jadi satu dengan Arif. Alhamdulillah ... ini perkembangan yang baik.Sampai di ruangan Arif, ternyata Ibu sudah datang. Ada juga Rey disana. Mau apa dia pagi-pagi sudah di sini?“Sarapan dulu Ris, setel
“Risma ...!!!Tiba-tiba ada yang memanggilku dan ....Plak!Ibu mertua langsung menamparku.Tak terima ditampar aku hendak membalas menamparnya, tapi teringat dia sudah tua jadi kudorong saja sampai terjatuh.“Aduh, bok*ngku! Kurang aj*r kau, Risma! Tidak sopan pada orang tua. Mau apa kau datang ke sini, hah?!“Dia mau minta ganti rugi satu milyar, Bu. Atas uang yang selama ini dikirim, kalau gak bisa dia minta sertifikat rumah dan surat mobil.” Mas Rido mengadu kepada Ibunya.“Apa?! Seenak udelmu aja minta uang satu milyar, apalagi sertifikat itu punyaku, atas namaku. Mobil juga punya Rido. Jangan kasih ke wanita gila ini, Rido.”“Aku juga nggak mau ngasih, Bu. Tapi kalau nggak dikasih Risma akan melaporkan kita semua ke penjara,” ungkap Mas Rido.“Mana paham dia soal laporan ke penjara, dia kan Cuma lulusan SMP, paling dia hanya menggertak saja,” u
Bab 11Aku baru saja pindah ke Amerika, membantu ayahku mengurusi bisnis keluarga kami. Aku memutuskan membeli rumah dan tinggal sendiri daripada bersama ayahku. Aku pun mencari Asisten Rumah Tangga yang akan membantu mengurusi rumah, hingga dari yayasan penyalur ART memberikan CV seorang wanita bernama Risma. Dia berasal dari Indonesia, tanah kelahiran Ibuku.Wajah Risma cantik, bersih, tanpa make up menor, mengingatkanku akan almarhumah istriku. Kerjanya rajin dan masakannya enak. Tinggal berdua di rumah menimbulkan benih cinta di hatiku, walaupun aku tahu dia sudah bersuami. Aku hanya diam, tak mau aku mengganggu rumah tangga orang lain. Sampai akhirnya Risma berpamitan, mengundurkan diri dan akan kembali ke Indonesia saat kutanya alasannya ternyata suaminya selingkuh. Akhirnya aku ikut ke Indonesia dengan dalih menengok Ibuku, padahal aku tak bisa jauh dari Risma.Saat mendengar dia di rumah sakit, secepat kilat aku datang. Ternyata anaknya terluka dan koma akibat perbuatan ayahny
Bab 12“Rey ... Rey ....” Risma menangis, tangannya gemetar melihat begitu banyak darah.“Tolong, siapa saja tolong bantu aku membawanya ke rumah sakit.” Risma melihat sekeliling, lalu dari arah belakangnya seseorang mendekat.“Aku akan membantumu, Mbak!” ucap Lita, dan Imran—suaminya—segera memapah Rey untuk membawanya ke rumah sakit.Sesampai di rumah sakit tindakan langsung dilakukan. Risma sempat mengambil gawai Rey di mobil, hendak menghubungi Nyonya Riana, Ibunya Rey.“Halo, Rey,” ucap Riana di seberang“Ini Risma, Nyonya. Tuan Rey masuk rumah sakit, jadi korban penusukan.” Risma mengadu sambil menangis.“Apa?! Rumah sakit mana? Aku kesana sekarang!”Risma memutuskan panggilan setelah memberi tahu rumah sakitnya. Tak berapa lama Nyonya Riana datang dan duduk disampingnya. Sekilas Risma menceritakan semua yang terjadi. Dan seperti yang ia duga, Nyonya Risma tak bisa memaafkannya.“Jadi ini semua gara-gara kamu?! Ku kira wanita mana yang membuatnya sampai terbang ke sini. Jadi kam
“Dia adalah Aida, asisten pribadiku, dulunya. Sekarang aku tugaskan dia untuk menemanimu, Risma.” Nyonya Riana memperkenalkan wanita itu kepadaku.“Tapi kenapa, Nyonya? Saya bukan pengusaha ataupun orang penting yang harus didampingi asisten pribadi. Maaf, saya menolaknya, Nyonya.”“Kau tak usah menganggapnya asisten, jadikan dia temanmu, Risma. Dia akan membantumu membalas keluarga suamimu itu.” Rey menimpali.“Kamu dan Rey bukan muhrim, dan kamu masih bersuami, tak baik selalu kelihatan bersama. Jadi, lebih baik kau bersama Aida saja,” ujar Nyonya Riana.“Sudahlah, kau menurut saja, semua sudah kuatur. Kau turuti saja semua rencana ini,” kata Rey meyakinkan Risma.“Mulai besok Aida akan tinggal di bersamamu, ujarnya kemudian.Risma menghela napas. “Baiklah, Tuan.”“Oke, Risma. Aku manggil nama aja ya? Kayaknya kita seumuran. Kita pergi sekarang.” Aida menarik tangan Risma.“Sebentar, aku pamit dulu. Tuan Rey, Nyonya Riana, saya permisi dulu.” Risma sedikit membungkukkan badannya.Ia