***Plak ....Plak ....Mami Hanin berkali-kali menampar pipi Brenda yang masih saja mencoba membela diri jika tindakan yang ia lakukan adalah benar. Tidak ada rasa takut pada wanita yang dulu sempat menjadi anak emasnya di rumah bordir. Sebelum ... semua posisinya di geser dengan cepat oleh Nayna.Brenda tertawa di antara bibirnya yang berdarah. Pipinya memerah dan mungkin juga terasa sangat nyeri karena tamparan Mami Hanin lebih mengarah pada sebuah pukulan. Sementara di depan pintu yang tertutup, Nayna bersedekap dada sembari melayangkan senyum yang mengerikan. Sinis. Penuh percaya diri dan ... angkuh!"Berapa kali harus kubilang, jangan pernah mencampuri urusan anak-anak yang lain!" bentak Mami Hanin frustrasi. Jika dengan kekerasan Brenda tidak juga bisa mengerti, lalu apa yang bisa dia lakukan saat ini agar anak-anak yang berada dalam naungannya tidak terlibat pertikaian panas. "Kamu melangkah terlalu jauh! Aku sangat
***"Bang Nando?"Nando menaikkan kedua alisnya sembari tersenyum tipis. Ia meletakkan setangkai mawar merah di depan Sea yang sudah bersimbah air mata."Jangan menyendiri kalau tidak ingin menangis," tegur Nando prihatin. Wajah Sea terlihat berantakan tapi tetap cantik. "Musuh hati yang terluka adalah kesendirian, Se. Sepi akan membuatmu selalu merasa sedih.""Lalu ... aku harus bagaimana, Bang?""Kamu butuh teman. Mau aku temani?"Sea tersenyum getir. Benar apa kata Nando, semakin dia menyendiri, semakin sering bayangan Tirta muncul di depan matanya. Tapi jangan katakan jika dalam keramaian wanita itu bisa sepenuhnya melupakan sosok pria yang sudah berhasil mencuri hatinya. Tidak pernah! Sea tidak pernah bisa membuang bayang-bayang Tirta dalam suasana apapun. "Sudah siang dan kamu masih berkeliaran di sini? Sebegitu menarik kah toko bungaku, Bang?"Nando mengangguk dan tersenyum simpul. "Tepat!" jawabnya singkat. "Toko bunga yang indah," sambungnya seraya menatap pada kedua mata Se
***"Apa Nando dari sini, Se?"Sea mengangguk. Dia berlari kecil dan segera membuka pintu toko ketika melihat mobil Tomi parkir di sebelah toko bunga miliknya."Sejak pagi dia sudah di sini, Yah. Kenapa? Ayah ada urusan dengan Bang Nando?""Panggil Paman, Nak ... bukan Abang," tegur Tomi riskan. "Dia hanya beberapa tahun lebih muda dari Ayah. Paman Nando dan Ayah berteman baik. Kamu tau itu kan?""Kenapa Ayah tiba-tiba mengatakan hal ini?" selidik Sea. "Tidak, Ayah hanya ingin kamu menghormati orang-orang yang usianya berada di atas kamu."Sea mengangguk mengerti meskipun dalam hati ia merasa sedikit heran dengan jawaban yang Tomi berikan. Tidak biasanya pria paruh baya itu mengingatkan tentang dirinya dan Nando. "Apa Ayah sedang menginterogasiku karena melihat Bang Nando baru saja keluar dari toko ini?""Tidak," sahut Tomi cepat. "Tidak, Se. Ayah ... ayah tidak ingin kamu terluka lagi karena memilih pria yang salah.""Jadi Bang Nando adalah pria yang salah menurut Ayah?"Tomi menge
***Tok ... Tok ... Tok ....Bagas dan Anita dibuat terkejut dengan ketukan pintu di pagi hari. Keduanya sudah bersiap di meja makan bersama dengan Haryati yang sejak tadi sudah berkutat di dapur dibantu dengan cucu kesayangannya."Biar Nita yang buka, Nenek duduk saja."Haryati mengangguk dan kembali mendaratkan bokongnya di salah satu kursi yang berada di ruang makan. Sementara Bagas mengiringi kepergian istrinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas sampai tubuh Anita menghilang di balik tembok pembatas antara ruang makan dan ruang keluarga.Merasa hatinya tidak tenang, Bagas menyusul Anita yang saat ini ternyata sedang dibuat terkejut oleh kedatangan dua tamu yang tidak diundang."Siapa, Nit? Kenapa tidak dipersilahkan ma ...." Suara Bagas terhenti saat kedua matanya menangkap dua sosok yang tidak asing sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Pun Anita, wanita cantik itu justru terpaku di tempat seolah lupa jika tamu
***Dua hari berlalu sejak Hamka meneleponnya siang itu. Hari ini adalah sabtu malam, hari dimana Hamka menjanjikan akan menjemput Sea di rumahnya. Sudah dua jam yang lalu Sea mengirim alamat rumahnya pada Hamka, tapi pria itu tidak kunjung memberikan balasan dan ... tidak kunjung datang.Sea yang sudah bersiap di ruang tamu kembali masuk ke dalam kamar. Gina dan Tomi menatap putrinya dengan pandangan sendu. Bagaimana tidak, sejam yang lalu Sea mengatakan akan ada temannya yang datang dan mengajaknya makan malam, tapi hingga dua jam berlalu, Sea masih duduk manis di rumah dengan ponsel yang tidak lepas dari genggaman."Harusnya aku tidak berharap lebih. Bukankah takdir memang suka sekali membuatku patah dan terluka?" gumam Sea sedih. "Lagipula apa yang aku harapkan dari pria yang baru kukenal? Astaga, Sea ... sebegitu ingin kah kamu melupakan Tirta dengan adanya pengganti?"Sea merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan ditemani bulir-bulir ai
***"Apa maksudnya, Mas?"Setelah menimpuk Nando dengan sebungkus rokok, kini Tomi beralih melayangkan bantal sofa tepat ke muka Nando."Kira-kira kalau mau buat kejutan!"Nando terkekeh. Dia menyingkirkan bantal sofa dan mulai menyeruput kopinya yang masih mengepulkan asap dari dalam cangkir kecil."Sejak kapan menaruh hati pada Sea?"Gina melotot. Ternyata arah pembicaraan dua pria di depannya adalah putrinya sendiri. Apa yang Nando katakan ternyata ...."Ini se-- serius? Kamu ... eh, Mas Nando suka ... anak kita?" tanya Gina terbata. Bagaimana tidak, usia mereka terpaut cukup jauh. "Tidak! Kalian bercandanya keterlaluan!"Tomi lagi-lagi mengedikkan bahu. "Emaknya enggak setuju, Bro!" sahutnya enteng. "Cari mangsa yang lain. Lagipula Sea terlalu cantik buatmu."Nando tertawa. Penolakan Tomi yang dibalut gurauan cukup membuatnya paham. Lagipula mana ada orang tua yang rela menikahkan putri mereka dengan bujang tua sepertinya?"Kalian ini!" bentak Gina kesal. "Sebenarnya ini bercanda
***Sea mengusap pucuk kepala Freya dengan lembut. Gadis kecil yang sedang berdiri di sampingnya itu dia rengkuh dan didudukkan di atas pahanya. "Besok main ke toko Tante ya, biar nggak kesepian," kata Sea. Berusaha keras wanita itu mengalihkan pembicaraan yang baru saja Freya singgung tentang menjadikannya seorang Ibu, Sea tidak mau Freya memiliki harapan yang lebih padanya, karena bahkan sampai saat ini hanya nama Tirta yang memenuhi relung hatinya. "Kalau Papa nggak mau nganter, Tante yang jemput kamu ke sini. Oke?""Oke, Tante!" sahut Freya senang. Dia turun dari pangkuan Sea dan berlari kecil menghampiri Hamka, lalu mengecup pipi Papanya itu dengan wajah berseri-seri. "Terima kasih, Papa. Freya senang ada Tante. Tante ... siapa nama Tante?""Sea, Sayang," jawab Sea sambil tersenyum. Freya mengangguk senang. Dia beralih menatap Hamka dan kembali berucap. "Freya senang ada Tante Sea. Tante Sea baik, Pa. Iya kan?"Hamka mengangguk. Dia mengecup puncak kepala Freya dan meminta gadis
***"Maaf karena baru mengembalikan Sea padahal sudah hampir larut malam, Pak."Tomi mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia menepuk bahu pria di depannya seraya berkata. "Lain kali mampir ke rumah, gantian kami yang akan menjamu keluargamu untuk makan malam.""Tentu, dengan senang hati!"Hamka mencium punggung tangan Tomi dan menganggukkan kepala di depan Gina. "Saya permisi. Assalamualaikum!""Waalaikumsalam," sahut ketiganya berbarengan. Gina dan Tomi masih berada di luar, mereka mengiringi kepergian Hamka dengan mata telanjang. Saat Sea hendak masuk ke dalam rumah, betapa terkejut ketika dia mendapati sosok tidak asing sedang bermain dengan asap rokoknya. "Bang Nando?"Nando menoleh. Kedua alisnya terangkat seakan kedatangan Sea bukanlah hal yang patut membuatnya terkejut. "Apa?""Ke-- kenapa belum pulang?""Ngusir?"Sea menggeleng lemah. Dia berbalik dan mendapati Ibu serta Ayahnya sudah berdiri di belakangnya. "Ada yang ingin dia bicarakan, Se.""A-- apa?"Nando bangkit. Rokok