Ziya sudah berhasil ditangani oleh Dokter dan itu membuat Bian bernapas lega. Dia sendiri binggung kenapa dirinya sampai sekhawatir itu padahal secara tidak langsung gadis itu sudah menolaknya, saat Bian menawarkan menjadi Ayah sambung bagi Tegar.
Namun ingatan Bian kembali pada seseorang yang dicintainya di masa lalu. Kenapa dia harus bertemu di sini. Seakan Bian melupakan sesuatu, dia baru tersadar bahwa di rumah sakit ini tempat kerjanya. Tadi tanpa pikir panjang langsung saja membawa Ziya ke rumah sakit terdekat dan ternyata sama dengan tempat kerjanya.
“Hai, apa kabar Bi?”
Suara merdu yang tidak akan pernah Bian lupakan sejak kepergiannya 3 tahun yang lalu. Mendekat ke arah Bian yang sedang duduk di depan ruang ICU. Gadis itu dengan teganya meninggalkannya demi obsesi orangtuanya. Mungkin dulu dia pernah tidak terima diperlakukan tidak baik tapi sekarang dia sudah berdamai dengan hatinya untuk menerimanya.
“Baik.” Bian mengeluarkan jawaban yang terkesan dipaksakan tanpa menoleh pada sumber suara.
“Kondisinya baik-baik saja dan sekarang masih ditangani oleh Dokter.”
“Iya, terimakasih sudah membantu,” ucap Bian datar kemudian hendak meninggalkan gadis itu. Namun belum juga melangkah lengannya di tarik oleh gadis itu. Seakan menyadari kesalahannya, perlahan dia melepaskan lengan Bian.
“Maaf,” lirihnya.
Tanpa menjawab, Bian meninggalkannya.
Gadis itu merasakan sesak di dadanya. Tak mampu menahan laju buliran bening dari sudut matanya yang sudah jatuh, membasahi pipinya. Bian adalah pria yang dia cintai dari dulu sampai sekarang, meski dia tidak akan pernah bisa dia miliki lagi. Maya Ariana, gadis masa lalu Bian yang tega meninggalkan cintanya untuk menuruti perjodohan dari orang tuanya.
Bian sudah move on dari Maya, dan sekarang dia mencintai Ziya. Namun Ziya menolaknya. Sungguh kisah percintaan yang rumit.
Setelah menunggu 30 menit, sang Dokter keluar dari ruang ICU tersebut. Segera saja Bian menghampirinya.
“Dokter, bagaimana keadaan pasien?” tanya Bian dengan dengan guratan kecemasan.
“Maaf, anda ini siapanya pasien?” tanya balik sang Dokter karena tidak ingin memberikan informasi pasien pada sembarang orang. Secara kebetulan juga tadi sang Dokter tidak melihat saat Bian mengendong masuk ke dalam rumah sakit.
“Sa-saya ....!”
Bian binggung harus menjawab apa karena yang ada dipikirannya sekarang hanya kesehatan Ziya saja.
“Bapak ini yang membawa pasien ke sini, Dok.”
Tiba-tiba Maya sudah berada di samping sang Dokter dan melirik sekilas ke arah Bian yang berwajah tegang.
“Oh, maaf.” Sang Dokter seperti merasa bersalah.
“Sepertinya pasien kurang istirahat, kelelahan dan kemungkinan pola makan yang tidak teratur karena perutnya kosong dan itu yang menyebabkan daya tahan tubuhnya drop,” jelas sang Dokter.
“Apa perlu rawat inap, Dok?”
“Kita lihat nanti ya? Kalau seandainya kondisinya sudah membaik bisa pulang, biar infusnya dihabiskan dulu saja ya?”
Bian menganggukan kepala pertanda dia menyetujui ucapan sang Dokter. Urusan Ziya nanti tidak setuju, dia akan pikirkan nanti saja.
“Oke, kalau begitu saya pamit ya?” beritahu sang Dokter dan lagi-lagi Bian hanya menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju.
Setelah kepergian sang Dokter, sekarang hanya ada Bian dan Maya.
“Kamu, bisa masuk dan melihatnya.”
“Makasih,” ucap Bian dengan menghindari pertemuan muka dengan Maya. Sebenarnya dia sudah bisa memaafkan gadis itu tapi dia tidak ingin memandang Maya yang sedang berkaca-kaca. Bian tahu kalau Maya sedang menahan airmatanya karena dia bisa mendengar dari suaranya yang bergetar.
Maya mengangguk meskipun Bian tidak melihatnya. Dengan langkah pasti Bian memasuki ruangan itu.
“Sebenci itukah kamu, sampai tidak mau memandangku, Bian,” gumam Maya disertai isakan.
Di dalam ruang ICU, Bian berjalan pelan ke arah Ziya yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Matanya masih terpejam, makanya Bian bisa melihat wajah cantik Ziya. Tak lama sudut bibir Bian tertarik ke atas membentuk senyuman.
“Kenapa saya bisa menyukai gadis keras kepala seperti kamu, Ziya,” lirihnya.
Kemudian Bian mengambil duduk di samping Ziya. Mencoba meraih tangannya namun dia urungkan karena ada pergerakan kecil dari matanya.
Hingga beberapa detik berikutnya Ziya berhasil membuka matanya dengan sempurna. Mata keduanya saling bertemu.
“Pak Bian,” panggil Ziya kaget dengan lemas.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Bian mendekat.
Ziya mengitari sekeliling sudut ruangan, “Saya di mana?”
“Kamu di rumah sakit.”
“Apa!” pekiknya langsung melihat punggung tangan kirinya yang terpasang selang infus. Berniat ingin mencabut tapi dihalangi oleh Bian. “Kamu mau apa, Ziya?”
“Saya mau pulang. Tegar tadi sama Bu Dewi, saya takut terjadi sesuatu dengan Tegar, pasti sekarang Bu Dewi juga cemas karena saya belum pu-”
“Ziya,” sentak Bian seraya menahan tubuh Ziya yang memaksa bangun.
“Pak, lepaskan saya!” Ziya mengatakan dengan sorot mata kemarahan karena Bian sudah menyentuhnya bahkan pria itu memeluknya.
“Kamu bisa tenang, gak? Saya akan lepaskan kalau kamu bisa!” suara Bian penuh dengan penekanan.
Merasa tidak ada pergerakan lagi dari Ziya membuat Bian melepaskan tubuh Ziya. Kemudian pria itu mengambil langkah untuk duduk di kursi yang berada di samping ranjang dan mendudukannya dirinya.
“Kamu khawatir sama Tegar?” tanya Bian setelah beberapa saat terdiam. Ziya hanya mengangguk tanpa mau mengeluarkan suara terlihat juga wajahnya yang sinis melirik Bian.
“Ternyata kamu bisa juga ketakutan seperti itu?” batin Bian tersenyum dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Bian menyodorkan ponselnya pada Ziya. Binggung dengan tindakan Bian membuat Ziya mengeluarkan pertanyaan. Sebenarnya Bian sengaja membuat Ziya bersuara agar tidak cemberut seperti itu.
“Untuk?” tanya Ziya memandang ponsel di hadapannya.
“Menghubungi Bu Dewi, tanya keadaan Tegar bagaimana?”
Pernyataan Bian langsung membuat Ziya menatap tajam. Harusnya Bian segera membawanya pulang ke rumah supaya tahu keadaan Tegar bukan malah menelpon dulu.
“Kamu tunggu sampai Dokter mengijinkan pulang!” sela Bian cepat karena tahu kalau Ziya akan mengeluarkan suaranya.
“Ta-pi ....”
“Tidak ada tapi-tapian, Ziya. Kesehatan kamu juga penting, kalau kamu sakit siapa yang akan menjaga Tegar,” sentak Bian karena Ziya masih tidak bisa terima keputusan Bian.
Dengan perasaan kesal Ziya langsung saja meraih ponsel itu dan menekan no ponsel Bu Dewi, untungnya Ziya sudah hapal.
“Halo, Ibu ini saya, Ziya. Bagaimana keadaan Tegar? Apa dia rewel? Apa dia menangis? Apa dia baik-baik sa-”
Belum juga selesai Ziya bertanya pada Bu Dewi, langsung saja Bian menarik ponselnya. Mengambil alih benda pipih tersebut lalu mendekatkan pada telingannya kemudian bicara dengan Bu Dewi karena Ziya terlalu panik.
“Bu, ini saya, Bian. Maaf, saya baru kabarin sekarang. Ziya sekarang ada di rumah sakit, tadi saya menemukannya yang pingsan tapi sekarang sudah baik-baik saja hanya masih tunggu Dokter untuk memastikan apa perlu rawat inap atau tidak,” beritahu Bian panjang lebar agar Bu Dewi bisa memahami ucapannya.
“Iya, nanti saya sampaikan sama Ziya kalau keadaan Tegar baik-baik saja dan tidak rewel,” balas Bian sengaja mengeraskan suaranya agar Ziya juga ikut mendengar. Setelahnya Bian menutup panggilannya.
Bibir Ziya sudah gatal ingin bertanya namun melihat tatapan Bian yang seperti itu mengurungkan niatnya. Namun setelah sekian menit Bian tidak juga bersuara membuat Ziya memberanikan diri berucap.
“Saya baru tahu kalau Bapak bisa galak.”
Bersambung.....
“Kondisi Mbk Ziya, Alhamdulillah sudah membaik dan tolong dijaga kesehatannya ya. Jangan lupa makan yang teratur dan istirahat yang cukup,” ucap sang Dokter tersenyum tipis pada Ziya yang sekarang sudah terlihat segar daripada sebelumnya. Mungkin karena pengaruh infus yang membuatnya terlihat lebih baik dari sebelumnya.“Terimakasih, Dok?” ucap Ziya seraya menganggukan kepalanya.“Lalu apakah bisa pulang sekarang, Dok?” Bian yang tadinya ikut menganggukan kepala sekarang bertanya. Pertanyaan yang sama dibenak Ziya.“Boleh,” jawab Dokter tegas kemudian memandang bergantian ke arah Ziya dan Bian.“Tapi tolong selesaikan administrasinya dulu,” kali ini sang Dokter sedikit memberikan tawa tipis.“Baik, Dok. Terimakasih,” balas Bian menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dan disambut oleh sang Dokter.Setelahnya sang Dokter pergi meninggalkan ruangan tersebut. Bian berpesan
“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”“Kenapa?”“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”“Ah, bukan
Penolakan Ziya, membuat Kienan meradang. Sekarang ia semakin penasaran tentang kehidupan mantan istri dan adik iparnya itu. Masih di tempat yang sama, secara tegas Kienan memerintah pada asistennya yang bernama, Bram untuk menyelidiki semua yang berkaitan dengan mantan istrinya itu.“Secepatnya cari informasinya. Dan besok pagi informasi itu harus sudah saya terima,” ucap Kienan pada sang asisten. Setelah itu dia bergerak meninggalkan rumah yang menurutnya berukuran seperti kamar pribadinya.Tentunya bukan sesuatu yang sulit bagi Kienan untuk menyelidiki seseorang, karena kuasa dan uang ada ditanggannya.Sosok Kienan Moreno adalah, pria tampan, mapan dan berwatak dingin. Setelah menikah dengan Zoya sifatnya tidak berubah bahkan terkadang menyebalkan juga. Tak jarang Zoya selalu mengeluhkan sikap suami yang sering mengacuhkannya seolah dia menikah dengan Zoya adalah keterpaksaan, padahal Ziya tahu kalau Kienan sendiri yang meminta langsung pada sang P
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan membaur dengan mobil-mobil lain yang kondisinya sedikit macet. Di belakang mobil Ziya ada 2 mobil lagi yang sedang mengawalnya. Tidak mau terjadi sesuatu dengan Ziya, sang Tuan memberikan pengaman ekstra. Sedangkan Ziya patuh saja dengan mobil yang membawanya meski tidak paham dengan arah jalanan yang dilaluinya dan tidak menaruh curiga sedikitpun pada mobil di belakangnya yang selalu mengikuti. Semua dia serahkan pada seseorang di balik kemudinya.Ziya sempat bertanya dalam hati, sang pengemudi mengenakan seragam seperti seorang driver. Namun dia tidak ambil pusing. Bisa jadi ini adalah suami dari teman pengajian Bu Dewi.“Terimakasih ya, Pak. Atas bantuannya meski saya tidak mengenal Bapak ataupun istri Bapak, tapi saya yakin istri Bapak pasti sebaik Bu Dewi,” ucap Ziya tersenyum seraya membenarnya posisi tidur Tegar.Sang driver hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan karena dia sudah dibe
Entah bagaimana Kienan menyiapkan semuanya ini. Ketika Ziya masuk ke dalam kamar sesuai arahan asisten rumah tangga yang tadi membawa barang-barang Ziya, matanya takjub melihat isi dalam kamar tersebut. Dia bukan tidak pernah melihat semua barang-barang mewah ini bahkan dulu dia pernah memilikinya. Namun sekarang kemewahan itu sudah tidak penting lagi, mengingat toh dia juga tidak akan memilikinya lagi. Kamar yang luas, ada box bayi, ada lemari bayi dan beberapa peralatan mandi bayi.“Non Ziya bisa saya bantu saja buatkan susunya?” tawar asisten rumah tangga tersebut, yang diperkirakan umurnya di bawahnya. Sementara Ziya sedang menenangkan Tegar dalam gendongan.Sang asisten itu dengan cekatan langsung membuatkan susu sesuai dengan arahan Ziya. Tak lama susu sudah siap dan langsung diberikan pada Tegar. Bayi itu dengan sangat cepat menghabiskan satu botol susu itu, mungkin karena rasa hausnya yang sudah tidak bisa ditahan. Setelah itu, perlahan matany
Ziya kembali ke kamar yang sempat ia tinggali beberapa jam yang lalu. Harapannya untuk bisa keluar dari rumah itu musnah sudah setelah Kienan mengerakkan beberapa orang untuk melakukan penjagaan ketat. Sedangkan Ziya untuk sekarang tidak mempunyai pilihan selain bertahan di rumah itu.“Oke, karena sekarang aku sudah ada di sini maka akan aku manfaatkan untuk mencari kelemahanmu. Dengan begitu akan lebih mudah aku membalas dendam atas nama Kak Zoya,” lirih Ziya tersenyum sinis.“Aku sungguh tidak sabar menunggu kehancuranmu, Kienan Moreno,” batin Ziya.“Jangan kamu pikir bisa melarikan diri dari rumah ini, Ziya!”Ziya tahu suara siapa orang yang berada di belakangnya saat ini, bahkan Ziya tidak ingin hanya untuk menoleh saja.“Jangan urusi saya, lebih baik urusi saja masalah, Anda!” balas Ziya sedang malas berdebat dengan Kienan.Dari ucapa
Setelah berkeliling di jalanan tadi, Bian kembali ke Restoran karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Langkahnya yang gontai mengundang beberapa pasang mata untuk melihatnya termasuk beberapa karyawan yang sengaja berpapasan. “Bian ...!” panggil seseorang yang sudah menunggunya sejak 2 jam yang lalu. Ya, seseorang itu adalah Maya Ariana gadis yang pernah mengisi hari-hari Bian dengan kebahagiaan tapi karena dia memilih perjodohan makanya Maya memutuskan hubungan dengan Bian. Bian menoleh ke sumber suara dengan malas karena semua otak dan pikirannya sekarang hanya dipenuhi oleh Ziya. “Ngapain kamu di sini?” “Mau bicara sebentar sama kamu,” ucap Maya seraya mengulas senyum. “Bicara apa? Saya gak mau lho, ada gosip yang tidak-tidak karena kehadiran kamu di sini!” Maya mendekat seraya menunjuk salah satu bangku di tempat itu. “Duduk situ, yuk!” “Ay ...!” Maya yang awalnya sudah berjalan di depan
Sungguh, tidak pernah terlintas dibenak Ziya kepergiannya ke kamar Kienan akan membawanya pada kesialannya. Tidak pernah terpikir juga kalau itu hanya akal-akalan Kienan saja untuk menjebaknya.“Jadi, apa yang akan kalian jelaskan sekarang?” tanya seorang wanita paruh baya dengan alis yang terangkat. Dia adalah Kiara Moreno, Mommy dari Kienan.Kiara yang akan pergi ke salah satu pusat perbelanjaan, berniat untuk mengajak Ziya. Sebenarnya wanita yang sudah berumur di kepala 5 itu lebih menyukai Ziya daripada Zoya. Terlepas dari kejadian masa lalu, tapi Ziya orangnya apa adanya tidak dibuat-buat meski terlihat ketus. Berbeda dengan Zoya yang lebih lembut tapi dia punya hati yang jahat walaupun sama adiknya sendiri.Kienan belum juga menjawab pertanyaan Kiara, tapi dia balas bertanya pada Mommy yang sudah geram itu. “Memang Mommy ada perlu apa ke sini?”“Eh, Kien ... apa Mommy kalau mau ke sini harus punya tujuan dulu hah?