“Kenapa melamun?” sentak Bian yang memandang Ziya sejak beberapa menit yang lalu.
Ziya terlihat binggung harus mengatakan apa, yang bisa dilakukan adalah diam tanpa menjawab dengan pandangan ke jalanan di depannya.
“Ah, belanjaanku bagaimana? Apa aku tanyakan saja ya?” batin Ziya.
“Pak Bian, Di mana menolong saya pingsan tadi?”
“Kenapa?”
“Ah, saya cuman penasaran saja kenapa bisa ketemu Bapak?” ucap Ziya berbohong sebenarnya dia ingin tahu keberadaan barang belanjaannya saja. Kalau dia belanja lagi pasti butuh uang lagi, sedangkan dia harus menghemat pengeluaran.
“Saya tidak sengaja melihatmu di toko sembako pinggir jalan. Lalu saya ikuti kamu dari jauh dan tiba-tiba kamu pingsan,” jelas Bian.
“Lalu barang belanjaan saya, bagaimana?” seru Ziya keceplosan.
“Oh, jadi kamu mau bertanya barang belanjaan tadi itu?”
“Ah, bukan begitu tapi ....”
“Apa?”
“Sa-saya perlu belanjaan saya itu,” ucap Ziya jujur meski terbata.
“Memang itu belanja apa? Biar saya antar kamu, ke tempat tadi?”
“Gak usah, nanti saya belanja sendiri saja,” tolak Ziya pelan dengan sopan.
Tanpa banyak bicara Bian langsung berhenti pada toko swalayan.
“Ayo?”
Kalau sudah seperti ini Ziya sudah tidak bisa berbohong lagi. Bian sudah bersiap mau keluar tapi Ziya masih belum mau menggerakkan tubuhnya untuk keluar.
“Itu tadi bahan untuk jualan kue donat,” seru Ziya menghentikan langkah Bian yang akan keluar dari mobilnya.
Bian memutar badannya untuk menghadap Ziya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Apa kamu bilang? Jualan? Terus Tegar bagaimana? Ternyata kamu masih keraskepala juga ya?”
“Pak Bian, bukan siapa-siapa saya. Jadi jangan pengaruhi pikiran saya, biarkan saya menentukan hidup saya sendiri tanpa campur tangan orang lain,” bantah Ziya kali ini dengan emosi.
Bian kembali memasukkan kakinya yang sempat keluar tadi, tidak jadi masuk toko swalayan sebelum melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah Ziya. Setelahnya tidak ada obrolan lagi hingga sampai di rumah kontrakan tersebut
“Tegar!” panggil Ziya kemudian berhambur mencium pipinya. Keponakannya itu sekarang dalam gendongan Bu Dewi, sedang tertidur.
“Bagaimana keadaan kamu, Ziya?” tanya Bu Dewi yang terlihat khawatir.
Ziya mengelengkan kepalanya, “Aku baik-baik saja, Bu.”
Bian berjalan mendekat ke arah Ziya dan Bu Dewi sekalian akan berpamitan.
“Pak Bian, terimakasih ya, sudah menolong Ziya dan membawanya ke rumah sakit,” tutur Bu Dewi ketika melihat Bian berjalan menuju ke arahnya.
“Tidak masalah, Bu. Bagaimanapun Ziya pernah jadi karyawan saya,” ungkap Bian jujur dengan senyuman tipis. Padahal dalam hati Bian menginginkan lebih, tidak hanya sebagai karyawan saja.
“Iya, tapi tetap saja kalau tidak ada Pak Bian saya tidak tahu bagaimana keadaan Ziya sekarang,” sahut Bu Dewi lagi.
Bu Dewi layaknya Ibu kandung Ziya yang sangat menyayanginya dan takut kehilangan Ziya.
“Iya, Bu sama-sama. Kalau begitu saya pamit dulu ya,” ucap Bian meraih tangan Bu Dewi untuk bersalaman.
“Tidak masuk dulu, Pak.”
“Pak Bian ada urusan di kantornya, Bu.” Ziya mengucapkan dengan suara pelan pada Bu Dewi sambil melirik ke arah Bian yang ternyata juga menatapnya. Ziya cuman tidak mau terlalu lama kebersamaan dengan mantan Bos nya itu.
“Wah, kalau begitu maaf Ziya sudah merepotkan.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang memang ingin mengantar Ziya sampai rumah dan memastikan dia baik-baik saja,” ucap Bian seraya tersenyum.
Bian berjalan menuju mobilnya tapi Ziya mengikutinya dari belakang. Ziya sadar pria ini sudah baik padanya, setidaknya ia harus membalasnya.
“Pak Bian, terimakasih!” ucap Ziya menjajari Bian yang akan membuka pintu mobil.
Bian memutar badannya untuk bisa menghadap Ziya, matanya menatap tajam. “Kalau mau berterimakasih datang ke restoran, dan kita bicara baik-baik di sana.”
Tanpa menunggu jawaban Bian langsung masuk ke dalam mobilnya. Entah kenapa dia bisa marah pada Ziya yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Mungkin hatinya sakit menerima penolakan dari Ziya.
Ziya hanya terdiam memandang mantan Bos nya sampai menghilang dari pandangannya meski mempunyai pertanyaan atas ucapannya tadi.
“Ada apa dengannya?” desisnya.
“Maaf ya, Bu. Sudah merepotkan dan harus menjaga Tegar?” ucap Ziya saat sudah berada di samping Bu Dewi. Ziya berniat mengambil Tegar dalam gendongan untuk dia bawa ke kamar. Beberapa jam tidak bertemu membuat rasa kangennya sudah mengunung.
“Tidak apa, Ibu juga sayang sama Tegar dan sudah menganggap cucu sendiri,” balas Bu Dewi. Lalu keduanya menuju pintu masuk untuk masuk ke rumah.
“Ziya?”
Merasa namanya dipanggil dia menoleh ke sumber suara.
“Anda!”
Ibu masuk, Bu!” sentak Ziya mendorong Bu Dewi untuk masuk ke dalam dan hendak menutup pintu.
“Tunggu, Ziya!” pekiknya menahan pintu dengan kakinya sementara tangannya menyentuh lengan Ziya.
“Lepaskan tangan Anda,” teriak Ziya dengan sorot mata yang tajam.
Perlahan dia melepaskan tangan Ziya tapi kakinya masih belum berpindah sehingga Ziya belum bisa menutup pintunya.
“Apa perlu saya teriak maling biar orang satu kampung menghajar Anda?” tanya Ziya ketus.
“Terserah kamu mau lakukan apa saja, yang penting saya bisa bicara denganmu!”
“Kienan Moreno,” sentak Ziya kesal karena pria di depannya ini begitu keras kepala.
Ya, Kienan sengaja mengikuti Ziya. Secara tidak sengaja Kienan melihat Ziya di rumah sakit tadi, tentunya pria itu masih mengingat siapa Ziya, mantan Adik iparnya. Tujuan Kienan adalah ingin meminta maaf pada mantan istrinya. Sekarang dia sadar bahwa hanya Zoya yang bisa sangat mengerti akan dirinya.
Kesalahannya yang dulu, sempat tidak percaya dan mengikuti kemauan orang tuanya untuk bercerai tidak membuatnya bahagia. Dia berpikir seiring berjalannya waktu dia bisa melupakan Zoya, tapi ternyata pikirannya salah. Sampai sekarangpun dia masih mencintai Zoya. Namun dia sadar Zoya pasti tidak akan mau memaafkannya.
“Bagaimana, bisa kita bicara sebentar?” tanya Kienan berharap Ziya menyetujui keinginannya.
Ziya masih menatap tajam seolah semua kebencian ada pada Kienan yang berdiri di depannya saat ini.
“Tidak!”
Setelahnya Ziya langsung menendang lutut Kienan hingga terlepas dari pintu, bahkan dia hampir tersungkur di lantai. Langsung saja Ziya tutup pintunya. Meski teriakan pria itu masih bisa Ziya dengar, namun Ziya tidak peduli. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan rasa kasihan pada pria itu. Bahkan kalau bisa dia akan musnahkan dia dari rumah ini, kalau perlu dari muka bumi ini sekalian.
Gedoran pintu dan panggilan namanya masih terdengar di luar rumah, Ziya mengambil langkah menjauh dan menuju kamar untuk melihat Tegar.
“Siapa dia, Ziya?” tanya Bu Dewi yang sempat ketakutan tapi karena Ziya yang pemberani sedikit melegakan hatinya.
“Pria brengsek!”
Bu Dewi sedikit paham maksud Ziya, untuk sekarang hanya satu pria yang bisa membuat Ziya benci dia adalah mantan Kakak iparnya.
“Kamu yang sabar ya?” ujar Bu Dewi mengusap punggung Ziya untuk menenangkannya.
Ziya mengalihkan pandangan pada Tegar yang sudah berada di ranjang. Setelah sampai di dalam kamar, Bu Dewi langsung merebahkan bayi itu takut tubuhnya terlalu capek dalam gendongan.
“Tante akan selalu menjagamu, apapun yang terjadi. Bahkan sekalipun Kienan ayah kandungmu dia tidak berhak memilikimu!”
Bersambung.........
“Ini surat wasiat yang saya bilang sama kamu, Ziya,” Pak Dirman memberikan map berwarna coklat di hadapan Ziya.“Isinya apa, Pak?”“Bukalah dulu, nanti kalau ada yang tidak jelas saya jelaskan!” perintah Pak Dirman.Ziya menoleh ke arah Kienan dan mendapatkan anggukan pelan dari suaminya tersebut. Gadis itu mulai membuka dan membaca dengan detail lalu tiba-tiba menutup mulutnya karena kaget. Kienan yang mulai binggung mengambil alih map tersebut. Setelahnya tersenyum tipis.“Kamu, koq gak kaget, Mas?”“Saya dan Pak Kienan sudah tahu penyebab Pak Zain melakukan itu,” sindir Pak Dirman dengan tersenyum.Ziya menatap aneh pada suaminya itu seakan meminta penjelasan.“Ziya, biar saya jelaskan saja!” ucap Pak Dirman yang langsung mengalihkan atensi Ziya.Lalu Pak Dirman mulai menjelaskan yang seperti dijelaskan suami tadi malam. Ziya mengangguk-anggukan kepalany
Sesuai pembicaraan dengan Kienan, Ziya akan mendatangi tempat mantan pengacara sang Papa. Sekedar ingin mengetahui apa yang belum dia tahu. Kienan sebenarnya akan ikut mengantarkan istrinya itu, namun karena ada meeting yang tidak bisa ditunda akhirnya Ziya batal pergi.“Mas, aku berangkat sendiri bisa koq!” rengek Ziya pada sambungan telepon pada Kienan. Rasa penasaran sudah membuncah begitu tahu suaminya membatalkannya dia sangat kecewa.“Mas, bilang jangan ya jangan. Kamu bandel amat sih!” jawab Kienan dengan sedikit teriak karena Ziya membantah ucapannya.“Mas, ih ... jahat banget sampai bentak-bentak aku. Ya sudah nanti kamu tidur di kamar tamu saja, aku lagi males ketemu kamu!” putus Ziya hendak menutup ponselnya.“Iya, iya deh!” sela Kienan cepat yang membuat Ziya menyungingkan senyum.“Kenapa? Takut ya, tidur sendiri,” cibir Ziya sembari tertawa terbahak.Kienan tidak menjaw
Ternyata tanpa disadari, waktu sudah menjelang Subuh mereka baru menyelesaikan acara mandinya. Yang pada akhirnya tidak tidur karena menunggu sholat Subuh sekalian. Kedua pasangan suami istri itu memanfaatkan waktu yang ada itu untuk mengobrol, duduk di atas ranjang sembari menyandarkan punggungnya.“Mas ...”“Hm.”“Memang sejak kapan kamu tahu kalau Kak Zoya selingkuh?” tanya Ziya tiba-tiba karena dia penasaran akan hal itu.Kienan menghela napas panjang, sebenarnya dia telah menutup masalah itu tapi kalau melihat Ziya seperti itu pasti dia tidak akan berhenti bertanya. Masih bertahan dengan diam membuat Ziya menoleh untuk melihat wajahnya.“Mas, koq gak dijawab sih?” tutur Ziya ketus sambil memalingkan wajahnya menjauh dari Kienan.Kienan memiringkan posisi duduknya agar bisa melihat wajah Ziya yang kesal itu. Sambil tersenyum pria itu berkata. “ Sebenarnya, sudah Mas tutup masalah itu,
Ziya beranjak turun dari atas meja tapi Kienan menahannya. “Hey, mau ke mana?” tanyanya dengan alis mengerut.“Mau bersihin beling itu, Mas.”“Udah, gak usah. Mas saja kamu makan saja,” ucap Kienan seraya menekan bahu Ziya untuk duduk kembali di bangku yang sudah dia siapkan.“Ta-”“Duduk atau kita lanjutan yang tadi di sini sekarang?” ancam Kienan tidak memberi kesempatan Ziya untuk menyelesaikan ucapannya.Ziya menghela napas lalu menuruti ucapan suaminya itu. Mulai menyendokkan nasi dan lauk sedangkan Kienan mulai mencari keberadaan alat kebersihan untuk membersihkan pecahan gelas itu.Kienan pasti tidak akan membiarkan Ziya melakukan pekerjaan itu karena sebentar lagi istrinya itu akan memberi kepuasan padanya. Lelaki itu sampai tersenyum sendiri mengingat kejadian yang sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Terlalu bersemangat ketika mendapatkan lampu hijau dari Ziya.Z
“Masuk, yuk!” ajak Kienan setelah mengurai pelukannya. Ziya memluk lengan suaminya itu mengikuti langkah Kienan untuk masuk dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Namun di sela-sela perjalananya Ziya masih belum puas karena belum mendapatkan jawaban dari suaminya.“Mas ....”“Hmm.”“Maaf,” ucap Ziya dan menghentikan langkahnya ketika di depan pintu kamar.Kienan terlihat acuh dan tidak membahas permintaan maaf istrinya. “Mas, mandi dulu ya. Nanti bicara lagi,” sahut Kienan sambil menutup mulutnya setelah menguap. Rupanya rasa ngantuknya kembali datang.Sampai di dalam kamar, Kienan langsung masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Ziya menuju lemari untuk mengambilkan baju tidur Kienan. Dia sengaja mengambil piyama yang sama dengan dirinya. Senyum mengembang dari bibirnya tidak sabar melihat Kienan mengenakan piyama couple dengannya.Setelah hampir sepuluh menit, pintu kamar mandi
Saat ini Ziya hanya menemani Tegar saja hingga kebosanan menderanya. Namun karena ada Mbak Lastri juga menemaninya, jadi tidak terasa sekali.Sambil menunggui Tegar yang sedang rebahan di lantai beralaskan karpet, Ziya dan Mbak Lastri saling bercerita. Tentang banyak hal. Dari masa kecil Mbak Lastri, kehidupannya di kampung dan sejak bekerja di rumah ini.Sedangkan Kiara sedang ada di luar rumah karena ada pertemuan dengan teman-temannya. Teman yang bagaimana juga Ziya tidak paham.Mbak Lastri mulai bercerita saat Ziya meninggalkan akad nikah waktu itu. Bagaimana perasaan dan semua kesedihan Kiara karena Lastri juga ikut menunggui di rumah sakit, apalagi saat Dokter berkata kalau detak jantung Kienan sempat menghilang. Kiara seperti orang gila yang tidak ingin kehilangan putranya.Seminggu setelah Kienan dinyatakan sehat dan keluar rumah sakit, masalah datang lagi di perusahaannya yang mengakibatkan Kienan harus masuk di ruang ICU lagi. Setahu Lastri masa