Ternyata sudah pernah mereka bahas.
BHAGA tidak pernah datang saat sidang. Dia menyerahkan semua urusan pada pengacara. Aku datang hanya menyetor badan saja. Majelis hakim berkali-kali menanyakan keseriusanku berpisah, menawarkan mediasi. Aku hanya menjawab seperlunya saja. Tidak ada tuntutan dariku. Aku tidak meminta pembagian harta bersama. Aku tentu tidak bisa menuntut tunjangan karena kami tidak memiliki anak. Aku hanya minta segera selesaikan urusan ini. Meski kadang meragu, tapi satu rasa itu selalu saja hadir meneguhkan niatku. *** “Mengadili… satu, mengabulkan gugatan penggugat. Dua, menjatuhkan talak satu kepada penggugat…” Sudah selesai. Tidak sampai enam bulan sejak terakhir kami ribut aku sudah duduk tepekur di kursi di tengah ruang untuk mendengar keputusan hakim. Ruang ini memang sepi, tapi aku tidak sendirian. Tapi sekarang aku sendirian. Bukan lagi berstatus istri Bhaga, dan tanp— Ah, sudahlah. Yang sudah pergi biarkan pergi. Ini saatnya aku pergi dari kehidupan Bhaga. Saatnya aku memulai kehidupan
“MAS, kita harus ke Vlad.” Vienna melempar ponsel ke ranjang. “Dari pagi dia nggak reply.” Bagas tidak menjawab, mengangguk atau menggeleng pun tidak. Dia hanya langsung menghubungi PA untuk mengurus sisanya. Terjadwal untuk besok, dua tiket Jakarta – Singapura. Pagi sebelum mereka berangkat, sebuah pesan masuk dari Vlad. “Mas, Vlad reply nih.” Bagas langsung mendekat dan membaca bersama. Vladimir Darmawangsa : Maaf, Bunda. Aku lupa nyalain data. Vladimir Darmawangsa : Aku baik-baik aja. Nothing to worry. Vladimir Darmawangsa : Cuma masih mau leyeh-leyeh aja. Vladimir Darmawangsa : Belum mau ke kantor. Vienna langsung menelepon Vlad. Tapi Vlad tidak mengangkat. “Kita tetap ke sana, Mas. Si Vlad nggak mau angkat telepon.” Lalu dia membalas pesan Vlad ala kadarnya. *** Pemandangan yang Vienna lihat ketika masuk di flat Vlad membuatnya limbung. Ruangan itu sangat berantakan tanpa Vlad. Dia hanya menemukan bekas-bekas muntahan dan bercak darah yang belum sepenuhnya mengering y
“SEBENCI itu kamu sama aku sampai kamu nggak mau ambil apa pun yang dari aku?” Bhaga menatapku sampai berkerut kening. “Aku ke sini berharap kita bisa bersama lagi, Anna.” Apa? Aku terpaku mendengar kalimat penutup itu. Berdiri kaku di tengah ruang tamu menatap wajah Bhaga yang terlihat kuyu. “Anna, aku minta maaf selama ini aku egois. Aku terlalu cuek. Aku pikir yang kamu butuh kebebasan. Kamu bebas ngapain aja. Cukup telepon aku kalau ada yang kamu butuhkan. Tapi ternyata yang kamu butuh justru telepon-telepon itu. Sesuatu yang aku pikir sepele.” Aku jatuh terduduk di kursi seberang Bhaga. “Kemarin mungkin aku egois. Aku merasa aku nggak butuh kamu. Aku biarin semua mau kamu. Aku bebasin kamu. Tapi kalau sebebas ini berarti kamu bukan milik aku lagi. Seminggu ini aku berpikir ulang. Pernikahan terjadi oleh dua pihak, perceraian pun. Kalau sampai perceraian ini terjadi, berarti itu kesalahan dua pihak. Aku dan kamu. Selama ini aku merasa kamu yang salah. Cuma kamu, aku nggak sala
NGGAK ada manusia sempurna, kamu nanti bisa cari celah itu dari suami Anna. Masuk dari sana. Apa kita merebut pasangan orang? Bunda nggak tau. Waktu itu yang Bunda rasa, papa kamu milik Bunda. Kami sudah merencanakan semuanya. Lalu mama kamu datang. Bunda cuma mengambil milik Bunda. Seperti kamu, kamu sudah melamar Anna, tapi Anna nikah sama yang lain. Kamu masih bisa ambil milik kamu lagi. Ambil dengan cara elegan tapi lakukan dengan hati. Lakukan semua dengan hati. Ucapan Vienna berulang dan berulang seperti recorded file dalam mode rewind. Bersama dengan tiga kejadian besar yang membelitnya, berputar acak di kepalanya. Dia memang masih terlalu sering melamun, tapi rona kehidupan mulai tampak di wajahnya. *** “Bang Vlad!” Suara ceria mengganggu lamunananya. Mendengar suara itu, Vlad langsung menoleh dan menyunggingkan senyum yang meski masih samar dan lemah tapi senyum itu sampai ke matanya. Melihat itu Vienna berbunga. “Lagi libur?” “Nggak. Bolos. Sama Bunda disuruh ke sini tem
MUNGKIN memang beginilah jalan hidupku.Kami berdua terdiam. Tak ada lagi tanya jawab. Kulihat Bhaga cukup syok dengan pengakuanku. Awalnya dia tidak percaya, tapi makin lama, saat ceritaku makin jelas dan detail, dia percaya orang ketiga itu benar ada.Hari makin di ujung. Langit mulai meredup. Jika hari sudah seredup ini, aku akan menutup semua jendela dan tirai lalu menyalakan lampu. Dan itu yang akan aku lakukan sekarang. Aku berdiri dari tempatku, lalu perlahan melakukan semua ritual sore dengan tatapan Bhaga mengikuti gerakanku.“Sudah sore, Ga. Aku pergi ya.”Dia diam.“Kamu mau aku masakin dulu? Masih ada telur di kulkas. Aku ceplokin aja. Mau?’Dia menggeleng.“Ya sudah, aku pamit ya.”“Aku boleh antar kamu, Na?”Aku tersenyum.“Apa kamu masih ada sayang sedikit aja ke aku?”Kening Bhaga berkerut.“Aku ada di sini sekarang karena aku masih sayang banget sama kamu, Na. Aku mau memperbaiki semuanya.”Aku masih tersenyum.“Kalau gitu, kamu jangan antar aku.”“Kenapa?”“Aku nggak
BAGAS menemukan istri dan anaknya berpelukan dengan wajah Vienna basah air mata. Vlad memeluk perut ibunya, Vienna setengah membungkuk mengecup lama puncak kepala Vlad. Entah apa yang terjadi, tapi Bagas dan Val tidak mau mengganggu romansa ibu dan anak itu. Perlahan dia mendekat ketika melihat bibir Vienna bergerak lamat dengan dagu masih bersandar di puncak kepala Vlad. “Bunda nggak akan tinggalin kamu, Vlad. Kamu percaya kan?” Vlad hanya mengangguk. Merasakan anggukan itu, Vienna mengecup lagi puncak kepala anaknya. Bagas membiarkan mereka sampai akhirnya terasa sudah cukup lama mereka berempat berdiri di sisi depan resto. Memang sudah semakin sepi, tapi tetap saja, Bagas harus membawa keluarganya pulang. Perlahan dia menarik bahu Vienna, lalu dia memastikan Vlad baik-baik saja dengan menatap anaknya sampai berkerut kening. Dia tidak bisa menebak apa yang terjadi, wajah Vlad pun tidak bisa menjawab. “Are you okay, Vladimir?” Vlad hanya mengangguk. “Let’s go back.” Perlahan Vlad
PLUP. Ponsel yang kupegang sebagai tempatku mengetik daftar barang jatuh ke pangkuan. Jantungku berdetak sangat keras dan rindu yang sejak kepergiannya kutekan mendadak mencuat, membuncah, dan meluap. Aku terhipnotis. Total terdiam melihatnya yang berdiri terengah mengatur napas di ambang pintu. “Savannah…” Lirih lembut dan masih sama seperti dulu dia menyebut namaku. Tapi kelembutan itu justru menyakitiku saat aku tiba-tiba tertarik ke masa pertemuan terakhir kami. Saat dia menatapku dengan tatapan sadis dan sinis yang sejak remaja sudah membuatku bergidik. Saat dengan tatapannya itu dia menatapku begitu dingin dan menuduhku hanya perempuan kesepian mencari kehangatan lelaki. Saat itu aku tidak sempat malu, tapi saat ini, rasa itu mendadak hadir. Membuat aku spontan menarik kakiku mendekat dan berakhir aku meringkuk mengecilkan diri memeluk tubuhku. “Savannah…” ucapnya lagi yang membuatku makin kacau. Dalam beberapa langkah lebar dia sudah menjulang di atasku lalu meluruh bersimpu
LIBUR seminggu dan pengawasan intensif dari keluarga tidak serta merta membuat semua baik-baik saja bagi Vlad. Dunianya masih terjungkir balik diserang tiga badai sekaligus. Namun kehadiran keluarga menjadi buhul yang mengikat dia tetap ada di porosnya. Ke mana pun dunianya terpental, tali itu akan menariknya lagi mendekat dan membuatnya tetap waras meski masih limbung.Vlad menolak ajakan Val pulang. Dia akan memulai semua dari awal lagi. Studi dan pekerjaannya. Bagas berhasil melacak Ed. Tentu saja. Di zaman semua terkoneksi seperti sekarang, tentu mudah melacak keberadaan orang apalagi jika nilai yang diambil tidak fantastis. Tidak cukup untuk dibagi-bagi ke sesama maling untuk saling menutupi kebejatan akhlak. Korupsi hanya bisa terjadi jika berjamaah.Vlad tidak mau bertemu Ed. Dia menyerahkan semua urusan pada Bagas apalagi saat dia disibukkan oleh urusan kuliah. Sementara dananya tertahan, dia memulai lagi dari nol dengan modal kepercayaan rekan bisnisnya. Tanpa dia ketahui, Bag