Share

BAB 5 Yang Terburuk

Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku?

»|«

Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat.

“Lagi?”

Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.”

“Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?”

Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.”

“Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.”

“Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar enggak ada masalah sama siapa pun.”

“Buat malu aja, sana!” Irma menghempaskan tubuh Jihan hingga terbentur pada pintu di belakangnya.

Sepeninggal sang Mama, Jihan berlari ke dalam kamarnya tak lupa mengunci pintu tersebut. Dia meloncat ke atas kasurnya dengan wajah yang terbenam pada bantal untuk meredam suara tangisnya.

“Aku salah apa? Bahkan aku sendiri enggak tau hal kayak gini akan terjadi. Tuhan, ku mohon.” Jihan menangis terisak mengingat perlakuan kedua orang tuanya saat ini.

Hatinya remuk seketika, hingga saat ini Jihan masih belum menemukan alasan mengapa orang tuanya begitu keras membuatnya hancur secara batin tanpa tersisa.

Dia masih menerima perjodohan yang di lakukan kedua orang tuanya, mencoba memaklumi hal yang di lakukan itu termasuk ke dalam berbakti pada Rehan dan Irma.

Beruntung Rehan sudah kembali bekerja, jika ada di rumah pasti Jihan mendapatkan pukulan fisik dari sang Papa.

Jihan menggeleng brutal menahan isakan tangisnya agar tak terdengar sang Mama. “Aku harus bagaimana?”

»|«

Malam menjelang, sepasang suami istri itu sedang melakukan makan malam tak peduli apabila sang anak di kamarnya yang tidak keluar dari kamar.

“Nanti juga turun sendiri.” Begitulah ucapan Irma seraya mengangkat kedua bahunya acuh.

“Aku selalu malu kalau dia buat masalah.”

Irma mengangguk setuju dengan ucapan sang suami. “Banyak yang iri sama kecantikan Jihan, tapi anak itu selalu aja enggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”

“Semoga anak itu bisa membuat perjodohan kali ini berhasil. Aku ingin mengembangkan usahaku menjadi lebih besar lagi.”

“Ya,” jawab Irma seraya menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya.

Tanpa pasangan itu sadari, Jihan mendengarkannya di balik anak tangga yang tak terlihat. Air matanya sudah lolos membasahi pipi.

“Sebegitu tak berharganya aku di mata kalian?”

Kakinya melangkah memutar untuk kembali menaiki anak tangga agar kembali mengurung diri.

Sampai bekas makan malam tersebut di bereskan pun, Jihan tetap tidak keluar dari kamarnya. Nafsu makan gadis itu menghilang dalam sekejap, lagipula tidak mungkin Jihan menemui kedua orang tuanya dengan keadaan yang berantakan seperti ini.

Resiko menangis berjam-jam membuat kedua matanya membengkak dan memerah, suhu tubuhnya pun meningkat.

Percakapan kedua orang tuanya di meja makan pun masih terngiang-ngiang di kepalanya. Jihan masih tak percaya, hanya dalam satu hari semuanya berubah begitu saja.

 Hari ini, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan juga mengharukan dalam hidupnya karena terlepas dari status pelajar dan kenangan terakhir bersama teman-teman sekolahnya. Namun, nyatanya tidak. Dia tak dapat mengabadikannya dan hanya memori buruk yang tercipta.

Bantal yang basah serta lampu kamar yang temaram menemani Jihan yang bersedih hingga tertidur kelelahan malam ini.

»|«

“Bangun!” Irma menyiram wajah Jihan dengan segelas air yang ada di meja belajar Jihan. “Matahari udah muncul dan kamu masih enak tidur. Enak banget kamu!”

Jihan mengerjap seraya menggosok kedua matanya agar cepat terjaga. “Jihan baru tidur sebentar, Ma. Maaf, bangunnya terlambat.”

Irma berdecak dengan kedua tangan yang bertengger di pinggang. “Dasar pemalas. Cepat bangun!” Wanita paruh baya itu keluar dari kamar seraya menutup pintunya dengan kasar.

Jihan menunduk, matanya kembali memanas. Menoleh pada gorden kamar yang tak menunjukkan tanda-tanda matahari masuk melalui celah jendela tersebut.

Jihan tersenyum tipis, dia berpikir setidaknya sang Mama tak membiarkan dirinya melewatkan sarapan. Gadis itu bersiap, lalu berjalan ke arah dapur.

Benar, seperti biasanya Jihan di bangunkan lebih dulu dengan keadaan meja makan yang sudah kosong. Keadaan rumah pun sudah sepi, entah kemana kedua orang tua itu.

“Huh,” hela napas keluar secara perlahan dari mulutnya. Tangan Jihan mengambil beberapa helai roti, lalu menumpuknya dengan telur ceplok dan potong sosis. Setelah itu, dia kembali ke kamarnya. Tak lupa membawa segelas susu.

Hari ini, Jihan tak ingin pergi ke manapun. Suasana hatinya begitu buruk, begitupula raut wajahnya yang datar.

»|«

Hari berlalu, selama di rumah Rehan maupun Irma tak bertegur sapa dengan Jihan. Lagipula, dia sendiri tak memiliki keberanian untuk membuka suaranya dan tak mau semakin sakit hati, bila dia mencoba berbicara tapi ternyata diabaikan begitu saja.

Ponselnya berdering menampilkan kontak kakak tingkatnya, Taufik.

“Jihan?” sapa Taufik di seberang sana.

Jihan berdehem pelan untuk menetralkan suara seraknya. “Kenapa kak?”

“What’s problem? Kenapa enggak cerita?”

Jihan terkekeh sumbang menutupi kesedihannya. “Lo udah denger gosip angkatan, ya? Sial, gue malu banget.”

Taufik tak menjawab, keduanya terdiam seraya memegang ponsel di telinga masing-masing. Lelaki itu mencoba membuka pembicaraan lagi. “Kalau emang Jihan butuh teman cerita, bilang aja.”

Jihan berdehem. “Thanks, kak. Lagipula sekarang libur, gue ada waktu untuk sendiri sampai pesta perpisahan nanti.”

“Kalau angkatan gue di perbolehin datang, kita bisa ketemu.”

Jihan berdecak pelan. “Kayak enggak pernah ketemu aja, pestanya bebas bawa siapapun kok, tapi gue udah bawa cowok gue, Kak.”

“Ya, biarin. Lo pikir gue enggak bisa?”

Jihan terkekeh kecil. “Terserah lo, Kak.”

Taufik tersenyum, walau tak bisa di lihat oleh Jihan yang sedang di dalam kamarnya itu. “Gue harap lo enggak larut sama kesedihan lo, Han.”

“Uhm-” Jihan mengangguk. “Gue harap juga begitu. Thanks one more, Kak.”

“Ok, gue tutup. Bye!”

Jihan tak menjawab. Setelah panggilan tersebut berakhir, tangannya menggenggam ponselnya erat. Perasaannya semakin bercampur aduk. “Siapa teman yang dapat gue percaya lagi?”

»|«

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status