Share

BAB 7 Hilang

Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah?

»|«

Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya.

Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin.

Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!”

Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing.

Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang yang mengetuk pintu itu mendengar.

“Maaf, saya kesini ingin membersihkan kamar ini. Saya kira sudah di kosongkan, kalau begitu nanti saya kembali lagi.”

Hening, tak ada lagi suara dari luar Mata Jihan menangkap sebuah paper bag yang di yakini isinya sebuah pakaian, dengan langkah yang tertatih dia berjalan ke arah kamar mandi untuk bersiap pulang.

Setelah check out dari hotel tersebut, Jihan langsung masuk ke sebuah taksi online yang sudah di pesan dari sebelumnya. Menatap lekat gedung penginapan itu dengan pandangan kosong. Air matanya lolos begitu saja, semakin lama semakin bergetar dan terdengar isak tangis.

“Ya, Tuhan. Maafkan aku,” lirih Jihan membatin.

Taksi online itu berhenti di depan alamat rumah, lalu pergi setelah Jihan membayar. Dia menatap ragu saat ingin membuka pintu utama, merasa takut bila salah satu dari Irma atau Rehan ada di rumah dan melihat kondisinya yang seperti ini.

Namun, melihat kendaraan Rehan yang tak ada dan pintu utama yang terkunci, membuat Jihan sedikit bernapas lega. Beruntung Jihan selalu menyimpan kunci cadangan di tempat yang tak pernah Irma jangkau, alhasil dia bisa masuk ke dalam rumah.

Setelah mengunci pintu kembali, Jihan langsung berlari ke kamar tak lupa mengunci juga. Membawa cermin ke dalam kamar mandi, ketika melihat membuat dia menangis histeris. Benar-benar terkejut melihat tubuhnya yang penuh ruam.

Jihan menyalakan shower, lalu tubuhnya beringsut jatuh ke lantai dengan isak tangis yang menjadi. Hancur, itulah yang dirasakannya. Ulang tahun yang diharapkannya sedikit mendapatkan kebahagiaan sudah buyar tak beraturan karena tak sesuai dengan keinginannya. Terkadang realita dan ekspektasi memang selalu mengkhianati.

Tak ada yang bisa Jihan lakukan selain mengurung dirinya di dalam kamar mandi dengan pancuran air yang terus mengalir membasahi tubuhnya. Dia hanya bisa memeluk kedua lututnya seraya menjambak rambut kuat-kuat.

“Gue kotor!”

“Apa yang gue lakuin semalam benar-benar menjijikkan!”

“Gue hina!”

“Gue enggak pantas ada di dunia ini lagi.”

“Gue hancur sampai ke akar tanpa ada yang tersisa.”

Kalimat tersebut terus Jihan ucapkan secara berulang kali. Jihan menatap jijik pada kulitnya yang sudah mengerut akibat terlalu lama terkena air. Kejadian semalam bersama Bara terus berputar dalam otaknya, dimana dirinya merasakan hal aneh dengan suhu meningkat dalam tubuhnya, lalu sentuhan yang Bara berikan semakin membuat Jihan mual dan jijik.

Seakan teringat, Jihan bangkit dari duduknya lalu keluar dari kamar mandi, memakai hoodie oversized dengan legging hitam untuk menutupi tubuhnya yang lain. Sedikit berlari, lalu mengeluarkan motor dari garasi untuk ke apotek.

“Apapun itu, gue harap yang gue takutkan enggak terjadi.”

»|«

“Kita batalkan saja, perjodohan ini, Om.” Bara mengangguk pelan. “Ternyata saya dan Jihan tak bisa sejalan, terima kasih sudah sempat mempercayakan Jihan pada saya.” Lelaki dua puluh enam tahun itu, bangkit dari duduknya setelah meninggalkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah di meja. “Saya pamit, Om, Tante.”

Rehan terdiam dengan mata yang memancarkan amarah, begitu pula dengan Irma yang ikut merasakan emosi suaminya.

“Anak itu selalu saja,” geram Rehan semakin marah, sebab karena pembatalan hal ini membuat dia rugi besar. “Kita pulang sekarang.”

Irma mengikuti sang suami yang berjalan dengan langkah lebar sedikit terburu. Keduanya baru sampai di rumah, dengan suara yang lantang Rehan memanggil Jihan.

“JIHAN, TURUN KAMU!”

Mendengar Rehan memanggilnya dengan kencang, Jihan segera menyembunyikan obat yang di belinya tadi di apotek, lalu bergegas turun menghampiri kedua orang tuanya. “Ad–”

PLAK!

Wajah Jihan terlempar ke samping akibat tamparan yang di berikan Rehan padanya secara tiba-tiba. Jihan memandang sang Papa terkejut tanpa bisa berbicara apa-apa.

“Dasar anak yang tak tahu di untung!” Rehan menunjuk wajah Jihan dengan raut wajah yang marah. “Lagi dan lagi, perjodohan ini batal. Kesalahan macam apa yang kamu buat, hah?!”

Tubuh Jihan bergetar hebat, tak mampu menjawab ucapan Rehan. Hatinya juga ikut hancur saat mendengarnya, bila ternyata Bara lebih memilih meninggalkan setelah semua ini.

Irma mendorong kepala Jihan berkali-kali. “Kamu, ya! Bisanya mempermalukan keluarga kita. Kamu harus tahu, kita mengalami kerugian saat perjodohan ini batal dan kita kehilangan aset tanah yang kita miliki. Itu semua gara-gara kamu!”

Jihan menggeleng. “Bukan, Pa. Ini bukan salah Jihan, Jihan di jebak sama Mas Bara.”

“Berhenti, panggil saya Papa.” Rehan menyeret lengan Jihan ke dalam kamar anaknya. “Bereskan pakaian kamu dan pergi dari sini.”

Jihan melongo, menatap Rehan dengan tatapan tak percaya. “Pa, Ma. Jihan di jebak.”

“Bereskan pakaian kamu sekarang!”

“Tap-“

“Enggak ada tapi-tapi, cepat!”

Jihan tersungkur karena dorongan Rehan. Mencoba bangkit perlahan, Jihan berdiri seraya berjalan menuju lemarinya untuk membereskan pakaian dengan tangan yang bergetar akibat menahan tangis. “Jangan nangis, Han. Jangan, Lo harus kuat,” batin Jihan berseru menyemangati dirinya sendiri.

Kini, Jihan sudah siap dengan tas besarnya, juga tas selempang yang berisi barang penting seperti ponsel, charger, dompet dan lainnya. Jihan menyempatkan mencium punggung tangan kedua orang tuanya walau di tepis keras oleh Rehan. “Demi apapun, Jihan di jebak.”

“Saya enggak peduli,” jawab Rehan seraya memalingkan wajah, masuk ke dalam kamarnya disusul dengan Irma, meninggalkan Jihan sendiri di kamarnya.

Jihan berjalan keluar rumah dengan kepala yang tertunduk. “Kalau gitu Jihan pamit,” lirihnya yang tak akan

»|«

Langit berubah menjadi senja, Jihan sendiri tak tahu harus kemana. Uang yang dibawanya pun tidak tersisa banyak. Mungkin hanya bisa untuk makan sampai satu bulan ke depan, bila terpotong untuk menyewa tempat tinggal seperti kos-kosan kecil pasti uangnya sudah habis. Jihan mengurungkan niatnya yang hendak menelepon Taufik, dia tak bisa bergantung pada orang lain lagi. Lagipula mana ada orang yang mau menolong perempuan kotor sepertinya. “Gue harus kemana?”

Jihan menengadah, menatap langit yang berubah menjadi gelap. Menutup matanya hingga memori-memori yang sudah dialaminya beberapa waktu ini terputar kembali. Tangisnya kembali pecah, dadanya sesak. Semua yang dia harapkan menjadi kacau, sulit untuk di perbaiki termasuk hatinya.

Harta berharga yang dimilikinya, sudah lepas dari tubuhnya. Jihan sendiri bingung, bila di sebut seorang gadis dirinya sudah tak lagi gadis. Bila sebutan wanita bahkan menikah saja belum.

Hina, itulah yang cocok untuk dirinya saat ini.

Taman kota selalu saja ramai di malam hari. Namun, tetap saja terasa sepi bagi Jihan. Bahunya di tepuk pelan oleh seorang gadis, tepatnya Resa.

“Lo ngapain disini bawa tas gede?” tanya Resa dengan wajah yang bingung sekaligus terkejut.

Meski Jihan tak menjawab, tak membuat Resa gentar. Gadis berambut sebahu itu duduk di samping Jihan, menggenggam tangan teman satu kelasnya itu. “Lo boleh minta bantuan ke gue, dengan senang hati gue bakal bantu lo.”

Jihan hanya memandang ragu ke arah Resa, sedangkan yang di tatap hanya mengangguk yakin. “Gue tau lo baik kok, Han. Lo mau pergi, ya?” Arah pandang Resa tertuju pada tas yang di bawa Jihan.

“Lo yakin mau bantu gue?”

“Iya.” Resa tersenyum tulus pada Jihan.

Tiba-tiba, kedua mata Jihan berkaca dengan air mata yang mengalir. Jihan berdehem pelan. “Kalau lo mau ambil ijazah bareng, ya. Lo bisa chat atau telepon gue supaya kita bisa bertemu lagi.”

“Lo beneran mau pergi malem-malem begini? Lo boleh tinggal sama gue dulu sampai lo dapat kerjaan. Kebetulan ada kamar kosong.”

“Thanks, Re. Kalau memang keluarga lo enggak keberatan, gue menumpang tidur malam ini aja, besok gue mau berangkat ke Subang.”

“Ngapain?”

“Ke rumah Nenek gue, kebetulan di rumah ada something pas ortu enggak ada. Makanya gue takut di rumah sendirian,” jawab Jihan dengan senyum tipisnya.

“O– oke.” Resa mengangguk ragu. “Yuk!”

Keduanya berjalan dalam keheningan yang tercipta, Jihan yang kalut dengan pikirannya dan Resa tak berani mengusik Jihan yang sedang banyak masalah seperti itu.

»|«

Hujan mengguyur kota Bogor malam ini. Sejak Jihan mengobrol sekaligus meminta ijin untuk bermalam di rumah kedua orang tua Resa, lalu berganti baju, dia sama sekali tak bisa memejamkan mata padahal waktu sudah memasuki dini hari. Jihan memandang Resa yang sudah tertidur nyaman. Tadi, dia meminta untuk satu kamar saja dengan Resa saja agar tak semakin merepotkan keluarga temannya itu. Jihan mencabut selembar kertas, lalu menulis beberapa kalimat untuk di tinggalkan pada Resa.

Re,

Gue pamit sekarang, ya. Sorry, enggak bisa bilang secara langsung. Soalnya gue enggak enak buat bangunin lo yang bahkan udah keganggu dengan kehadiran gue yang tidur di rumah ini.

Thanks buat semua yang udah lo lakuin ke gue. Semoga di lain waktu, gue dan lo bisa ketemu lagi buat berbagi cerita.

Sejauh ini, lo yang gue anggap sebagai orang yang masih mau berteman sama gue.

See you soon,

Jihan

Tak terasa, waktu sudah menjelang subuh. Jihan menyelipkan surat itu di antara vas bunga yang sekiranya dapat terlihat oleh Resa. Kemudian, dia berpamitan dengan kedua orang tua Resa yang untungnya sudah terbangun.

“Om, Tante. Jihan pamit hari ini, ya. Terima kasih udah mau kasih ijin Jihan bisa bermalam di sini.”

“Ya gusti, kamu yakin toh mau ke Subang sendirian?”

“Iya, Tan. Di sana ada Nenek Jihan, kalau gitu pamit ya. Wilujeng enjing[3] , Om, Tan. Hatur nuhun[4].”

“Sing enggal[5] bahagia, nak.”

Jihan tersenyum lalu pergi meninggalkan rumah serta kota yang pernah menjadi bagian dalam memori kenangannya.

»|«

[3] Wilujeng enjing : Selamat pagi (Bahasa Sunda)

[4] Hatur nuhun : Terima kasih (Bahasa Sunda)

[5] Sing enggal : Semoga cepat (Bahasa Sunda)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status