Share

Ada Polisi di Pabrik

Buru-buru Farah keluar sebelum ada laki-laki lain yang masuk. Namun, ketika melihat cermin ia malah berhenti menelisik penampilannya sendiri, make up naturalnya masih menempel di wajahnya.

Diputarnya keran wastafel, tapi seketika itu ia terkejut. Keran wastafel dimatikan, tangannya gesit mengambil jam tangan yang tergeletak di samping wastafel.

“Oh … ini bukannya jam tangan mahal?” Farah memejamkan matanya rekat lalu membuka matanya dengan lebar. Jam tangan itu masih terlihat mewah, warnanya hampir sama dengan warna keran yakni berwarna perak mengkilat. 

 “Oh Tuhan … terima kasih Tuhan, ternyata rezekiku yang serat selama ini ada di toilet laki-laki. Besok-besok kasih lagi Tuhan.” Farah sujud syukur di depan wastafel. Kali ini hatinya sangat gembira tiada tara, tubuhnya berputar-putar dan menari-nari di depan wastafel.

“Dengan benda mewah ini semua tagihanku akan terbayar lunas. Aku tidak akan lagi dicekik hutang,” gumamnya lalu ia berteriak kegirangan kembali heboh sendiri. Sambil jingkrak-jingkrak, matanya masih berbinar-binar mengamati benda mewah di genggaman tangannya.

Sebagai wanita penggila uang, ia tidak ada sedikit pun niat ingin mengembalikan jam tangan mewah itu ke pemiliknya. Padahal, ia tahu jika pemilik jam tangan itu pasti laki-laki tampan nan gagah yang tadi adu mulut dengannya.

Farah melenggang keluar dari toilet laki-laki dengan wajah yang berseri-seri. Dilihatnya, di depan ruangan kecil yang berada paling pojok dekat pintu masuk sudah dipadati oleh  puluhan orang yang memakai pakaian yang sama dengannya.

Penampilan mereka tentunya terlihat rapi sambil memegang map warna biru. Ada yang duduk menggerombol dan ada juga yang berdiri sendirian. Raut wajah mereka juga bermacam-macam ada yang datar saja, tegang, panik, dan ada juga yang malah mengulas senyum.

Jam digital LED yang menempel di dinding bertuliskan angka 08 : 30 berkedap-kedip berwarna merah. Salah satu staf HRD membagikan nomor urut untuk antrian interview. Staf HRD itu menyodorkan kertas bertulis angka sembilan ke Farah, ia termasuk yang mendapatkan nomor urut awal.

***

Di ruang kerjanya, Yusuf sedang marah-marah. Ia telah kehilangan barang berharga yang harganya sangat tak masuk akal. Tentu saja yang menjadi bahan amukannya adalah sekretarisnya yang bernama Lidiya, wanita berusia 28 tahun, cantik berparas bule.

Yusuf ini laki-laki yang sangat memperhatikan penampilan. Memang penampilan bukan hal yang utama dalam menilai seseorang tapi penampilan adalah hal pertama yang dilihat dan mampu membuat seseorang lebih dihargai. Oleh karenanya, ia tipe laki-laki yang selalu berpenampilan mewah. Semua yang ia pakai harus enak dilihat kalau perlu semua yang ia gunakan harus branded.

”Dimana jam tanganku Lid?” tanya Yusuf. Nada suaranya meninggi di depan sekretarisnya.

“Tadi saya sudah kasih ke Bos. Apa jangan-jangan tertinggal di toilet?” tebak Lidiya. Walau pun ia sudah lama bekerja dengan Yusuf tapi ia masih saja ketakutan ketika menghadapi kemarahan yusuf.

“Cari wanita gila itu!” perintah Yusuf.

“Wanita yang mana Bos?”

Yusuf menjawab cepat, “Wanita yang bersamaku di toilet laki-laki tadi. Jika jam tangan itu hilang di toilet kemungkinan dia yang mengambil. Aku sudah curiga dengan dia dari awal.”

Lidiya semakin tidak mengerti apa yang baru saja bosnya katakan. Ia masih berdiri jauh sekitar satu meter dari Yusuf, menelan ludah memandangi bosnya yang sedang berjalan cepat menuju toilet. Tak lama kemudian, ia melihat Yusuf sudah menghilang masuk ke dalam lift. Lantas ia setengah berlari mengejar. Nampaknya, pakaian yang ia gunakan membuatnya kesulitan untuk mengejar Yusuf.

“Sial! Rok pendek ini membuatku susah berlari,” gumamnya seraya mendesis kesal menurunkan rok pendeknya yang terus terangkat. Lantas ia pun tidak jadi berlari dan memilih menunggu di ruang kerja Yusuf.

 Baru juga membuka pintu toilet, seketika mata Yusuf langsung membola saat melihat seorang laki-laki berseragam polisi sedang kencing di urinoar “Polisi?” Kenapa ada polisi di pabrikku? Sial!” kesal Yusuf dalam hati. Napasnya memburu ketakutan. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja dan hendak berbalik badan keluar dari toilet.

Sayangnya, si polisi sepantarannya ini memanggilnya lebih dulu. “Mas, bisa tutup pintunya. Saya lagi kencing loh,” pinta polisi itu.

“Hah?” ucap Yusuf sembari kedua alisnya terangkat. “Oh iya tentu. Saya juga mau pergi,” ucap Yusuf gelagapan. Kentara sekali jika sikapnya ketakutan dengan adanya polisi di pabriknya.

“Mas, tunggu. Jangan pergi. Sebentar lagi saya selesai kok. Kayaknya kamu tidak nyaman ada polisi di sini.”

Yusuf hanya menggelengkan kepalanya berusaha menyangkal ucapan si polisi. Ia pun memilih tetap berada di depan cermin toilet sambil membasuh wajahnya. Sudut matanya tidak bisa lepas dari polisi yang sedang kencing di sampingnya.

Saat diliriknya si polisi sudah mengaitkan lagi celana dan hendak keluar toilet, Yusuf bersicepat mengambil pisau lipat yang ada di saku celananya dan menggenggamnya erat-erat.  Pisau lipat itu akan ia gunakan sebagai senjata jika tiba-tiba polisi itu menyerangnya.

Sebelum si polisi benar-benar pergi,  Yusuf dan si polisi itu saling pandang melalui cermin. Sorotan tajam yang diberikan si polisi saat memandangnya membuat Yusuf akhirnya memalingkan wajah. “Sial! Apakah si polisi keparat ini mulai mencurigaiku?” gumamnya dalam hati.

Untungnya, si polisi tidak berbuat apa-apa dengan Yusuf. Hal itu membuat Yusuf bisa bernapas lega. Napasnya yang tadinya memburu mulai diatur kembali. Segera ia keluar dari toilet yang membuat dirinya merasa tak nyaman dan berlari kembali ke ruang kerjanya.

“Ada apa Bos? Kenapa wajah Bos nampak ketakutan? Jam tangannya?” tanya Lidiya dengan heran tapi Yusuf tidak menanggapi pertanyaannya. Wajah Yusuf merah padam menahan amarah. Gelagatnya juga nampak sedang ketakutan.

“Lid, sekarang kamu hubungi satpam di depan. Tanyakan kepada mereka kenapa bisa ada polisi di pabrikku,” pinta Yusuf dengan lirih sambil menekan bahu Lidiya.

“Polisi Bos?” Lidiya menanyai bosnya balik.

“Iya. Segera Lid, segera!” bentak Yusuf.

Segera Lidiya menghubungi satpam yang berjaga di depan untuk memastikan.

Loadspeaker!” bentak Yusuf lagi ke Lidiya

Melalui sambungan telepon, suara satpam terdengar jelas. “Iya benar Bu. Tadi ada polisi yang numpang ingin kencing di dalam dan sekarang saya melihat polisi itu keluar dari pintu utama dan hendak keluar dari pabrik.”

“Keparat! Kalau ada polisi yang mau masuk jangan diperbolehkan masuk dan kalau cuma kencing kenapa harus masuk sampai ke toilet pabrik? Di pos satpam juga ada toilet.” Sedetik kemudian sambungan telepon dimatikan oleh Yusuf.

“Aku tidak mau tahu sekarang juga cepat selidiki kenapa polisi itu datang ke pabrik dan juga pastikan TKP eksekusi bersih dari jejak kita,” perintah Yusuf ke Lidiya. Ia nampak sangat gusar, dadanya naik turun, wajahnya merah padam seperti hendak menerkam orang.

“Dan satu lagi, pecat satpam yang memperbolehkan polisi itu masuk.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rasmiah M
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status