"Ini beberapa foto dia, Bu." Wina menunjukan beberapa foto Lastri yang tampak sendiri.
Tunggu!
"Coba kamu zoom, perbesar gambarnya!" aku melihat dengan segsama, sebuah foto Lastri yang tengah duduk pada sebuah kursi dengan meja didepannya.
Benar, ini tak salah lagi, dia berada di Rumah makanku. Rumah Makan Sari Rasa, cabang parahyangan. Walau aku lama tak kesana, namun tak pangkling dengan dekorasi tempatnya. Rumah makan bernuansa pedesaan dengan bambu sebagai ciri khas Rumah makanku itu.
Rumah makan yang kurintis sejak tujuh tahun yang lalu, saat kami belum lama menikah, Mas Wisnu yang masih bekerja sebagai supir pribadi membuat aku yang notaben-nya sarjana. Memilih merintis usaha kuliner karena hobiku yang suka memasak dan berkuliner, di samping itu juga turunan dari orang tuaku yang senang berbisnis dari pada harus bekerja pada orang lain.
"Setinggi apapun jabatanmu di mana bekerja kamu tetap pegawai, namun sekecil apapun usahamu, kamu tetap bosnya."
Itulah yang selalu dikatakan oleh Ayahku, dia selalu menasehatiku untuk tak kenal putus asa, jatuh bangun dalam berbisnis itu biasa.
Bersyukur dengan modal awal bantuan orang tuaku, kurintis Rumah makan bertajuk pedesaan ditengah kota metropolitan ini. Waktu tujuh tahun membuahkan hasil, kubuka cabang diberbagai daerah, mulai dari Bogor, Bekasi, Tanggerang dan yang terakhir Bandung.
"Kalau Lastri pernah ke rumah makanku di Bandung berarti?" tebakku.
"Bagaimana, Nun. Kamu mencurigai sesuatu?"
"Iya, Bang. Sepertinya aku mulai sedikit tahu, Oh ya, Win. Kamu sudah dapat alamatnya?"
"Sejauh ini belum, Bu. Keterangan di medsos dia tinggal di Bandung."
Tepat kecurigaanku, tak salah lagi kalau foto tadi memang di ambil di Rumah makanku. Apa mungkin Mas Wisnu bertemu dengannya di sana. Atau Lastri itu salah satu pegawaiku. Sejauh yang aku tahu, Mas Wisnu pernah berkata jika beberapa pegawai di sana mengalami pergantian. Ah! Lelah aku menerka-nerka. Lebih baik aku cari info dari sumbernya.
Kucari nomor telfon orang yang dulu bekerja di sana. Tak aktif lagi! Duh ... Sial!
"Kenapa?"
"Tak aktif, Bang. Ini nomor pegawai di sana dulu. Lama kami tak komunikasi, kupikir semua baik-baik saja. Ah, aku terlalu percaya pada cucunguk itu!"
"Sudah, Nun. Sabar, kamu jangan terlalu terbawa pikiran, aku tak ingin kamu seperti tadi." kuhela nafas berlahan. Benar apa yang dikatakan Bang Ridho, aku tak boleh terlalu baper. Tetap fokus pada masalah, namun tak perlu lagi membawa perasaan pada Mas Wisnu yang nyatanya dia tak lebih dari buaya buntung!
"Ia, Bang."
"Bagaimana, Pak. Apa aku akan diberikan pekerjaan lagi. Sungguh aku sangat membutuhkannya. Demi Allah, aku mau sama pak Wisnu karena dia royal padaku, tak bermaksud untuk menjadi orang ketiga atau pelakor, semua karena tuntutan ekonomi. Keluargaku hidup pas-pasan dan mereka hanya mengandalkan aku untuk mendapat uang lebih, jadi saat Pak Wisnu hadir memberi ... " Wita mengantung ucapannya.
Aku dan Bang Ridho saling tatap. Kemudian aku mengangguk, bagaimana pun kalau sudah menyangkut keluarga, terlebih Wita belum terlalu terjerumus dengan hubungannya. Membuat aku berniat untuk memaafkannya. Memaafkan Wita bukan Mas Wisnu. Pada dasarnya, Mas Wisnu lah yang punya andil besar dalam hal ini. Wita tetap salah, namun tak harus selalu menghakimi dari satu sudut.
"Baik, kamu akan aku beri pekerjaan, namun tak lagi di kantor pusat, kamu aku beri pekerjaan di kantor cabang. Biar nanti aku suruh orang untuk memberi alamat serta jabatan apa yang akan aku berikan. Kamu siap?"
.
Wita tersenyum senang, memang sulit jika harus mencari pekerjaan ditempat lain, terlebih dengan pemecatannya yang tak terhormat.
"Terima kasih, Pak, Bu." dia begitu girang.
"Ingat, kamu masih punya satu pekerjaan!"
"Iya, Win. Cari alamat Lastri. Kalau kamu dapat, akan aku kasih bonus." sengaja aku memberinya penawaran agar ia makin semangat.
"Baik, Bu. Secepatnya aku akan mencari tahu dimana Lastri tinggal."
"Kalau gitu, kiranya cukup sekian dulu. Aku mau pulang."
Kami beranjak, meninggalkan tempat ini, pulang kemana tujuan masing-masing.
"Mas, mana ATM-ku, aku mau cek keuangan dari rumah makan cabang Bandung." kilahku berbohong agar Mas Wisnu tak keberatan untuk memberikan.
"Keuangan aman kok, Dek. Mas, selalu memantaunya." dia masih santai dan sibuk dengan ponselnya.
"Oh, begitukah? Baguslah, coba sini aku cek berapa saldonya."
Mas Wisnu menatapku sejenak, aku membuang muka.
"Cepat, Mas, sini!"
"Udahlah, Dek. Besok saja, lagian ATM-nya ketinggalan dikantor, Mas taruh dalam laci dan lupa membawanya pulang." dia berkilah, aku yakin ada yang tak beres dengannya.
Baik kalau dia tak mau memberikan ATM-nya, aku bisa mengeceknya lewat buku tabungan. Tak susah untuk mengecekna karena tabungan atas namaku. Kamu siap-siap saja. Aku menghentakan kaki dan masuk kedalam.
~~~~
"Hallo, pagi, Bu." kuangakat telfon dari ibu mertuaku.
"Nduk, ibu sakit, tadi nelfon Wisnu tak diangkat. Apakah Ibu ganggu kamu?"
"Ngga kok, Bu. Ada apa, ada yang bisa Ainun bantu?"
"Anu, Nduk. Aduh ... Sebenarnya ibu ngga enak, tapi Ibu bingung, Nduk."
"Ada apa, Bu. Kenapa ngga enak? Ibu butuh sesuatu?"
"Bukan gitu, Nduk. Aku ngga enak karena keuangan kalian sedang tak baik jadi Ibu mau minta tolong tapi takut merepotkan."
Keuangan tak baik? Apa maksud Ibu?
"Minta tolong apa, Bu? Katakan, pasti Ainun bantu."
"Gini loh, Nduk. Ibu sakit tadi periksa kedokter dan harus tebus obat. Uang yang Wisnu kasih tiga juta perbulan sudah habis. Jadi ibu bingung ini mau nebus obat yang sampai tujuh ratusan ribu."
Apa tiga juta satu bulan, apa maksud ibu. Gaji Mas Wisnu saja sekitar tujuh juta. Apa ibu sedang berbohong, atau justru Mas Wisnu?
"Oh, begitu, Bu. Ya sudah nanti kami kesana ya. Sudah lama juga ngga jenguk Ibu. Sekalian nanti Ainun bawain makan siang, ibu ngga perlu repot-repot masak."
"Terima kasih, Nduk. Maaf, merepotkan menantu Ibu. Apalagi sedang masa pailit. Sekali lagi Ibu minta maaf ya."
Tiga juta, pailit. Aku makin yakin jika Mas Wisnu berbohong, dia mengurangi jatah ibu dan berdalih keuangan sedang pailit. Tega sekali ia pada Ibunya. Tak akan aku biarkan itu terjadi, kemana lebihan uang gaji Mas Wisnu. Lihat saja!
Siapkan air es disamping kamu untuk baca part ini, takutnya dari telinga keluar asap dan terjadi hal yang tak diinginkan ... Kabur, ah othornya.Selamat membacaPoV Wisnu.Sial! Gara-gara aku salah kirim WA untuk Wina terkirim ke Ainun. Sekarang berbuntut panjang. Ainun yang dulu percaya aku seratus persen kini mulai menaruh kecurigaan. Terlebih dia memergoki aku tengah makan dengan Wina.Gadis perawan yang bekerja sebagai sekretaris di Perusahaanku bekerja. Aku yang hanya staf marketing, berhasil membuatnya berbunga-bunga. Kemewahan tentunya yang membuatnya tahluk, namun sayang baru akan berjanji untuk menikahinya tahun depan. Hubungan kita sudah lebih dulu terkuak, bahkan sekarang dia di pecat. Kasian tentunya, tapi aku bersyukur karena posisiku aman. Aku masih punya Wina-Wina yang lain. Ada juga Lastri yang telah aku nikahi secara agama hampir empat tahun yang lalu.Beruntung
Dia pikir aku mudah tertipu, aku memang dulu sangat mempercayainya. Namun sekali ia berkhianat, aku tak akan percaya lagi. Terlebih ini sudah sangat mencurigakan. Ibu berkata sendiri kalau jatah bulanannya hanya tiga juta.Gila dia! Tega-teganya mengurangi jatah ibunya sendiri, sedangkan dia tahu bagaimana kondisi ibunya.Kulirik dia saat mengemudi mobil, ada raut kepanikan, setelah tadi aku paksa dia tanpa alasan. Yah ... Lucu saja! Pura-pura sakit perut saat akan di ajak kerumah ibu, sebelumnya baik-baik saja.Keringat sebesar jagung banyak berada di keningnya. Aneh!"Kenapa, Mas? Kok keringetan gitu?" tanyaku penasaran melihat ia yang begitu kegerahan. Bahkan sekali-kali menarik kerah bajunya."Ngga tau, Dek! Entah kenapa cuaca hari ini begitu panas. Bahkan Ace mobil saja kalah."Aku membelalakan mata, Ace yang begitu dingin dia bilang kalah.
"Sudah ya, Nduk. Semua sudah kelar, Wisnu sudah mengakui ke khilafannya jadi sekarang tak ada masalah yang serius," ibu tersenyum sambil mengusuk punggungku,"Ibu laper, yuk kita makan?"Aku beranjak berdiri, aku tak mampu berargumen dengan Ibu, terlebih aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan siapa Nuri sebenarnya."Baik, Bu. Aku siapkan dulu." aku melangkah menuju keruang makan, menyajikan apa yang telah kubeli sebelum kesini. Ayam rica-rica selalu kubawakan untuknya. Itu kesukaan Ibu. Saat menuang ayam rica-rica itu pada mangkuk, hatiku terongok sakit, tiba-tiba ingat Ibu Mertua yang tadi berbohong tentang Nuri. Sungguh aku tak menyangka, selama ini dia baik dan terbuka kenapa sekarang menutupi kelakuan anaknya yang salah?"Jangan macam-macam, kalau kamu tak ingin kenyamanan selama ini hilang." kata-kata Ibu Mertua yang dikhususkan untuk anaknya itu tak sengaja kudengar saat aku akan memanggil mereka untu
"Pagi, Ma," sapa Aira yang tengah sarapan ditemani Bik Uni."Pagi juga, Aira." kucium kening Aira lembut. Kemudian duduk dan mengambil sarapan. Tak kulihat cucunguk itu duduk ikut sarapan. Kemana dia? Pergi kah? Bagus deh kalau ia sadar diri dan memilih keluar tanpa aku usir."Mas Wisnu ngga pulang, Bik?" tanyaku meyakinkan jika Buaya buntung itu benar-benar tak pulang."Pulang, Non. Tadi pagi jam empat subuh." bisik Bik Uni padaku, "mungkin sekarang sedang tidur.""Ohh .... " hanya itu yang keluar dari mulutku, kukira ngga pulang. Terus dari mana dia? Apa melanjutkan berkencan dengan wanita kemarin? Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan itu. Fokusku sekarang menyelamatkan asetku dan kemudian mengurus perceraian. Sudah! Aku akan hidup tenang tanpa benalu yang tak tahu diri."Ma, hari ini aku dianter mama kan?""Iya, Sayang. Ya sudah tunggu di mobil
Aku memilih duduk pojok depan, sengaja agar dapat mengawasi situasi. Lalu lalang para pegawai yang sibuk melayani pembeli. Kuhitung sekitar ada empat orang termasuk yang satu duduk dibagian keuangan. Dia terlihat santai dalam bekerja, tak seperti yang lain yang tetap fokus. Bahkan satu kakinya ia angkat."Mbak, saya ikut duduk di sini agak lama ya?" kataku pada seorang yang tengah membereskan meja di sebelahku. Aku juga menyodorkan piring bekas makanku."Baik, Mbak. Sikahkan.""Saya pesen coffelatte satu ya, Mbak." pelayan mengangguk kemudian berlalu untuk mengambilkan pesananku.Tak berapa lama pesanan itu datang, "Silahkan, Mbak.""Terima kasih, saya minta bil-nya. Takut nanti saya pergi tergesa-gesa." ia mengangguk, kemudian kembali kemeja kasir.Kukeluarkan uang pecahan seratus ribu dua lembar. "Kembalinya ambil saja!"Pelayan memgang
Kulihat Lastri makin panik, setelah beberapa kali menekan telfonnya namun sepertinya yang dihubungi tak jua mengangkatnya. Terlihat bagaimana sewotnya dia, bahkan beberapa kali meremas rambutnya yang lurus itu."Maaf, rumah makan ini tutup sementara!" ucap seorang bodyguart pada beberapa pembeli yang baru datang. Wanita bernama Ayu pun tak kalah ikut panik, apalagi melihat para pelanggan yang berdatangan ditolak."Jangan begitu, Bang! Biarkan mereka makan, lihat makanan masih banyak seperti ini, bagaimana ....""Diam!" kembali satu orang penjaga Bang Ridho membentak Ayu. Seketika wajah Ayu memucat, sedangkan pelayan lain memilih diam. Hanya saling berbisik saja. Entah apa yang mereka ghibahkan."Bagaimana? Bisa pergi dari sini sekarang juga?!" Bang Ridho menengaskan sekali lagi pada Lastri. Dia yang masih kesal dengan terus memocel HPnya. Lucu."Tunggu dong, ini pasti kesalahan.
PoV WisnuSial! Gara-gara Ainun, aku gagal kencan dengan Lusi, bagaimana dia bisa melabrag Lusi dijalanan begitu, yang lebih parah ia bukan mempermasalahkan aku yang selingkuh namun justru menggugat karena mobil yang aku bawa adalah miliknya. Hancur sudah repotasiku didepan Lusi. Sialnya mobil ini juga tak mau kompromi, seolah membela si pemilik bahwa mobil ini tak boleh digunakan untuk maksiat.Kubuka dompetku, hanya tersisa tiga lembar uang merah, mana ini masih pertengahan bulan lagi! Lebih baik aku ke Bandung saja, siapa tahu Lastri mau memberiku uang. Lusi gagal masih ada Ninik. Aku tersenyum senang, Ah ... Wanita kenapa engkau begitu mudah diberdaya jika ada uang?Persetan dengan Ainun, ia kan cuma baru tahu kalau aku sempat punya hubungan dengan Wina, bahkan Lastri saja berhasil ibu yakinkan jika itu adalah saudara jauhku."Memang seorang ibu akan membela anaknya walau ia salah." ungkapa
Sore ini aku sedang menunggu kedatangan tamu istimewa, kebetulan juga kulihat Mas Wisnu sudah pulang. Ah ... Makin seru nih, aku akan membuat Mas Wisnu tak lagi berkutik dengan gundiknya.Bel berbunyi, aku tahu itu Lastri sudah pasti, karena akulah yang menyuruh orang menjemputnya. Mengatakan jika ia di suruh oleh Mas Wisnu. Untuk melancarkan dan Lastri percaya bahwa Mas Wisnu yang menyuruh, aku sengaja menggunakan mobil yang biasa Mas Wisnu bawa."Mas, hari ini kamu pake mobil yang merah!""Kenapa?" tanya Mas Wisnu heran."Mau aku servis, bukankah kemarin mogok?" akhirnya tanpa curiga Mas Wisnu menyetujuinya. Sekarang Lastri sudah tiba di rumah. Itu artinya pak sopir tak butuh waktu lama meyakinkan Lastri."Bik!" kupanggil Bik Uni, ia segera datang membawa permintaanku. Kursi roda."Ayo, Bik. Dorong aku sampai kedepan!" bibik mengangguk, dia sedikit tersenyu