Aroma minyak angin menyeruak, aku merasa kepalaku berat sekali, kubuka mata berlahan. Kulihat Dokter Luna, Bik Uni dan Bang Ridho berdiri tak jauh dari saat aku berbaring.
Apa aku pingsan!
"Syukurlah kamu sudah sadar, Nun." Bang Ridho berkata dengan tersenyum.
"Aku kenapa?" tanyaku pada mereka.
"Ibu hanya tertekan dan stres. Ibu ngga papa, sebaiknya kalau ada suatu masalah lebih baik diselesaikan jangan sampai seperti ini. Tak baik untuk kesehatan. Saya kasih resep vitamin. Nanti ditebus ya!"
Aku mengangguk, dokter pamit dan diantar Bik Uni keluar. Aku berusaha duduk.
"Kamu kenapa si? Sebaiknya kalau memang kamu merasa sakit, menangislah! Menangis bukan berarti cengeng, namun itu lebih baik untuk mengurangi sakitmu. Jangan kamu tekan yang berefek pada kesehatan."
Aku hanya tersenyum kecut,"mungkin aku hanya butuh refresing, Bang. Biar otak tak bundel." Bohongku agar Bang Ridho tak terlalu merasa kasian padaku. Aku malu kalo harus dikasihani orang walau itu saudara sendiri.
"Mungkin nanti aku akan pulang kampung dulu, Bang. Kalau urusan perceraian dengan Mas Wisnu selesai. Kalau bisa akan menetap saja di sana. Aku kira lebih baik disana. Tak perlu bergelut dengan masa lalu yang akan terus melintas."
"Kalau kamu pulang kampung, bagaimana bisnismu?"
"Bisa aku pantau saja, Bang, dari jauh." Bang Ridho terdiam, mungkin tak ingin berdebat denganku.
"Oh iya, kita kan mau ketemu sama Wina, jam berapa ini? Aku tak mau Wina menunggu kita terlalu lama." aku bergegas akan turun dari tempat tidur namun Bang Ridho mencegah.
"Lebih baik kamu istirahat saja dulu, aku sudah batalkan pertemuan itu. Fisikmu sedang tak sehat."
Bukan fisikku yang sedang bermasalah, namun hatiku.
"Ngga papa, Bang. Aku sehat kok. Tadi cuma shock aja karena ternyata Mas Wisnu mengambil perhiasanku."
"Apa? Kurang ajar sekali. Bagaimana sampai itu terjadi?"
"entahlah, Bang. Aku terlalu percaya pada suamiku. Selama ini aku tak mencium tingkah lakunya yang aneh, hingga aku percaya 100% bahwa dia setia, jadi aku terbuka untuk semua aset yang kupunya."
Bang Ridho menepuk keningnya, mungkin menyalahkan kebodohanku namun tak mampu untuk berucap menyalahkan.
"Bang, aku mau ketemu Wina hari ini juga, coba hubungi dia, agar kita membuat janji sore nanti."
"Baik, Nun, tapi bener kamu ngga papa?" tanyanya khawatir.
"Ngga papa, Bang. Aku udah sehat kok. Oh ya, kenapa Bang Ridho bisa kesini, siapa yang ngasih tahu?" tanyaku penasaran. Jika memang Bik Uni yang memberitahu pasti pada Mas Wisnu bukan Bang Ridho.
"Oh, tadi aku telfon kamu, kata Bik Uni Hp kamu dibawah dan dia akan memberikan padamu. Ternyata kamu sudah pingsan. Jadi Bik Uni angkat telfonku dan bilang kalau kamu pingsan, aku takut kamu kenapa-kenapa, akhirnya aku sarankan untuk memangil dokter pribadimu." penjelasan Bang Ridho panjang lebar. Aku hanya mengangguk.
"Makasih ya, Bang. Sudah ...."
"Ngga papa, Nun. Kamu itu adikku, walau cuma sepupu. Namun aku menyayangimu seperti adik kandungku sendiri. Jangan sungkan meminta bantuan, dan kalau butuh teman curhat, Abang akan siap mendengarkannya." Bang Ridho mengelus pucuk kepalaku.
~~~
"Ayo, Pak. Berangkat!" perintahku pada sopir pribadiku. Namun saat Pak sopir akan masuk kemobil, Mas Wisnu terlihat masuk kehalaman.
"Mau kemana kamu, Dek?" tanya Mas Wisnu begitu keluar.
"Belanja!" jawabku acuh.
"Mau aku antar?" tawarnya.
Cuih! Ngga sudi lagi aku harus di antarnya. Jika dulu aku paling suka saat dia mengantarku belanja, bergandeng mesra, membuktikan pada dunia bahwa kami pasangan harmonis. Namun tidak untuk kali ini. Rasanya justru malu jikalau harus memamerkan Mas Wisnu didepan khalayak umum.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri. Sana antar saja selingkuhanmu!" desisku. Aku langsung masuk kemobil dan menyuruh Pak Sopir untuk segera beranjak.
Sepuluh menit perjalanan kami sampai pada tempat perjanjian. Kulihat Bang Ridho sudah ada disana. Dia memilih tempat pada pojokan, aku menggeleng tak mengerti, tempat begitu luas kenapa ia justru memilih pada pojokan dari ruangan ini.
"Sudah lama, Bang?" tanyaku sambil menarik satu kursi.
"Lumayan sekitar tiga menit."
"Itu berarti belum lama kali!" cebikku, lelaki itu hanya terkekeh.
"Wina kok belum datang?"
"Mungkin sebentar lagi, kamu mau pesan apa?"
"Lemon tea aja, Bang."
"Oke."
Bang Ridho memanggil seorang pelayan dan memesan dua gelas lemon tea dan potato sebagai camilannya. Tak berselang lama kulihat Wina memasuki cafe itu. Aku melambaikan tangan.
"Maaf, saya terlambat." dia.segera mengambil kursinya untuk duduk.
"Ngga papa, kami juga baru tiba." dia mengangguk.
"Bagaimana, Win. Apa kamu sudah dapat info?" tanyaku langsung tanpa basa basi.
"Sudah, Bu. Saya sudah mendapatkan informasi yang akurat tentang dia." aku mengangguk, kulihat dia mengeluarkan ponselnya. Pelayan datang membawakan minuman.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Bang Ridho.
"Terserah Bapak saja!"
"Lemon tea satu lagi ya, Mbak!"
"Jadi siapa sebenarnya mereka dan dimana mereka tinggal?" aku membrondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Perempuan ini bernama Lastri, Bu, dan bayinya yang berusia kurang dari dua tahun itu bernama Nuri. Dia tinggal diluar kota, tepatnya dipinggir kota Bandung." aku mendengarkan Wina dengan segsama.
Pinggiran Bandung?
"Tepatnya di Parahyangan."
Aku tersentak kaget, bukankah disana aku juga memiliki satu kedai rumah makanku. Memang sejak empat tahun yang lalu aku tak pernah berkunjung kesana dan Mas Wisnu lah yang rutin mengeceknya satu p
bulan sekali minimal. Yang kutahu hanya memang rumah makan disana kurang maju, itu menurut penuturan Mas Wisnu yang memang memegang hasil laporannya. Omsetnya hanya sekitar Sepuluh jutaan perbulan, dan omset itu dikirim kerekening ATM-nya Mas Wisnu yang pegang. Itu saja uangnya kadang ia gunakan untuk menambah keuangan Ibu, jika sakit atau Ibu perlu sedikit tambahan, Mas Wisnu akan mengambilnya dari sana.
"Apa mungkin?" aku masih menerka-nerka.
"Kenapa, Nun?" Bang Ridho bertanya, mungkin mendengar gumamanku.
"Ngga papa, Mas. Kurasa ada sesuatu yang harus aku kulik. Mungkin ada kaitanya dengan kedaiku di sana. Di Parahyangan."
Aku harus segera kesana, meninjau langsung kedai rumah makan di sana. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Lihat, Mas. Secepatnya aku akan tahu kebenarannya!
===!!===
"Bertahan ya ... Sebentar lagi kita sampai!" ucapku menenangkan. Sebenarnya aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana tidak, melihat kondisi Ning Ria yang sudah tak karuan. Tiba di lobi rumah sakit, aku segera turun, berlari memanggil perawat untuk segera membawa tandu. "Tolong! Gawat darurat!" Aku berlari, seketika dengan sigap beberapa perawat datang menuju mobil. "Kamu harus kuat ya, Neng!" ucapku sambil terus berjalan mengimbangi roda. Bude hanya bisa menangis, melihat kondisi Ning Ria yang sudah setengah sadar. Perawat dengan sigap memanggil dokter untuk segera melakukan pemeriksaan. Aku langsung memeluk Bude, saat Ning Ria sudah memasuki IGD. "Tenang, Bude. Pasti semua baik-baik saja." Kuelus punggung Bude dan membawanya untuk duduk. Fahri terlihat tergesa berjalan menuju tempat kami. "A, sudah hubungi Kyai Salim?" tanyaku begitu ia tiba. "Udah, Dek. Mereka sedang menuju kesini." Aku bernafas lega, setidaknya dalam kondisi seperti ini keluarga tahu. Aku terus berdo'a u
"Ada apa, Dok?" aku bertanya sedikit panik melihat raut wajah dokter yang seperti nya memiliki masalah.Beliau menghela nafas panjang, aku yakin dia berat untuk menyampaikan."Begini, Bu, Pak. Menurut hasil Lap yang saya terima, jika maaf Sperm* Pak Fahri kurang sehat."Deg! Aku langsung berpaling kepada Fahri yang berada di sebelahku, pasti ia terpukul dengan penuturan dokter Rafli. Raut wajah Fahri terlihat sendu."I-itu artinya kalau saya mandul, Dok?" Fahri bersuara dengan bergetar.Kami tidak memvonis Pak Fahri mandul, cuma jika Pak Fahri ingin memiliki momongan. Sebaiknya Pak Fahri sering konsultasi dan menjalani pola hidup sehat. Agar keinginan itu dapat terwujud.***Fahri keluar dengan lemas. Bahkan ketika aku pegang tangannya ia tak merespon sama sekali. Pandangannya kosong dan entah apa yang sedang ia pikirkan."A ...."Dia masih diam saja, berjalan dengan lambat."Aa ngga papa kan?" Kugoyangkan sedikit tubuhnya."Astaghfirullah ... Maaf, Dek. Aa hampir putus asa menerima
"Apa, Bude. Alhamdulilah ... Ya Allah, rahasia Allah memang tak terduga ya. Selamat ya, Bude. Semoga debay dan ibunya sehat sampai lahiran." Aku turut bahagia mendengar kabar tentang kehamilan Ning Ria. Pasti kini dia tengah bahagia, setelah merasa terpuruk atas meninggalnya Bang Ridho."Iya, Nun. Bude bersyukur banget, bude dapat penghibur untuk hidup Bude. Cuma kata dokter Ria kandungannya lemah dan harus di jaga sebaik mungkin. Kamu mau kan ikut menjaga?"Aku melonggo, tak maksud dengan apa yang di sampaikan oleh Bude Sri. Aku, ikut menjaga?"Maksud, Bude?""Maksud Bude, ingin agar kamu menemani dia saat cek up dan sebisa mungkin sering main kesini. Hibur dia agar tak terus merasa sedih."Ucapan Bude ada benarnya, memang jika kandungan lemah akan sangat rentan jika stres. Aku harus membantu Bude untuk merawat Ria sampai melahirkan, aku harus pastikan Bang Ridho junior lahir kedua ini dengan selamat. Aku berjanji padamu, Bang! "Baik, Bude. Nanti aku usahakan waktu yang banyak untuk
PoV Wisnu"Kamu kerja baru setengah bulan udah izin empat hari! Kamu pikir ini usaha milik nenek moyangmu?!" gentak Pak Suid pemilik cucian motor dimana tempatku bekerja. Ya ... Sejak setengah bulan yang lalu, aku bekerja sebagai buruh cuci motor. Terpaksa untuk menyambung hidup."Maaf, Pak. Saya sakit, ngga bisa di paksa kalau lagi kambuh," ucapku pelan berharap dia mengerti."Memangnya kamu sakit apa? Sakit maag!""Bu-bukan, Pak. Sa-saya sakit gonore,"jawabku pelan."Apa kamu kena gonore, kencing nanah, raja singa, aids." Dia menyebutkan macam-macam penyakit, padahal semua itu berbeda. Ah! Dia itu lebay sekali.Aku tertunduk, tak mau berdebat pada orang yang minim ilmu, yang mengira antara gonore dengan raja singa bahkan Aids itu sama."Mulai hari ini saya kamu pecat! Saya tak mau punya karyawan memiliki penyakit kelamin. Bisa-bisa nular lagi." Kata tajam pemilik usaha itu membuat nyeri ulu hati."Tapi, Pak! Penyakitmu tak menular jika hanya bersentuhan." Belaku berharap ia lebih ta
PoV RiaMenjadi istri seorang bernama Ridho Herlambang. Ternyata begitu bahagia, walau telat karena keegoisanku. Kini aku sadari jika menjadi istri Mas Ridho, itu sebuah keberuntungan. Selain dia baik, pengertian, juga sangat penyayang. Aku merasa bak jadi seorang putri raja saat bersamanya, dia memanjakanku lebih dari Abah.Andai saja, aku sejak pertama tak menolaknya, berlaku menjadi istri sepenuhnya, mungkin aku tak akan merasa sebersalah ini. Bagaimana tidak, saat aku terpuruk dan di vonis menderita kista ovarium, dia yang belum menyentuh ku sama sekali masih saja menerima ku apa adanya. Bahkan jika aku tak dapat memiliki anak."Kan masih ada solusi, Dek. Hidup berumah tangga bukan melulu soal keturunan. Buktinya yang anaknya banyak saja bisa mereka bercerai. Aku tak memusingkan hal itu, kita bisa adopsi anak kan?" ucapnya kala aku masih ragu untuk kembali padanya."Tapi, Mas. Kamu anak satu-satunya. Pasti ibumu menginginkan penerus untuk usahamu dan pasti harus anak kandung. Buka
"Astaghfirullah, Pak. Kita kesana, ini yang kecelakaan mobilnya Bang Ridho." Aku panik ketika yakin jika mobil itu milik Bang Ridho, semoga saja bukan Bang Ridho yang bawa. Melihat dari kondisi mobilnya yang rusak parah pasti pengemudi nya juga tak kalah parah."Kita putar balik ya, Pak!""Iya, Bu. Sebentar di depan kan over boden jadi kita harus memutar agak jauh.""Iya, Pak. Tapi cepat ya!"Ya Allah, lindungilah orang-orang yang aku sayangi, keluargaku juga teman-temanku. Aku masih panik dan harap-harap cemas. Ya Allah .... Aku terus menyebut nama-nya.Ketika tiba di sana, ambulan sudah datang, masih banyak orang yang berkerumun. Aku langsung turun ketika Pak Sopir sudah memarkirkan mobilnya. Segera berlari menuju TKP. Tak kuhiraukan panggilan Pak Sopir yang mungkin khawatir karena aku lari."Pak! Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada salah satu orang lewat yang sepertinya sudah melihat."Yang mobil pribadi, meninggal ditempat, Mbak. Karena tercepit setir dan kepalanya pecah."Astaghf
"Assalamualaikum, Dek." "Waalaikumsalam," jawabku dengan datar, namun tetap aku meraih tanganya untuk Salim takzim.Fahri menjatuhkan diri di sofa, sebenarnya aku ingin langsung berkata, tapi melihat raut wajahnya yang seolah lelah, aku urung melakukan. Takut membawa setan. Biarkan ia tenang terlebih dahulu.Aku mengambil segelas air putih untuknya."Minum, A."Ia meraih gelas yang kubawa dan meneguknya sampai habis. Tak lama kemudian ia bangkit dan mengatakan jika ia ingin mandi.Setelah isya lewat, baru Fahri kembali dari masjid Pesantren, aku yang siap untuk mengikuti semua dramanya sudah tak sabar menunggu."Uni, biasa ya!" Dari depan pintu kamar ia sedikit mengeraskan suara. "Apa, A? Mau ngopi ya. Biar aku bikinin, Uni sedang beres-beres di dapur Pesantren.""Tak usah, Dek! Nanti nunggu Uni saja!" Dia menghentikan langkahku yang akan menuju dapur."A ... Apa bedanya sih buatanku dengan Uni, apa buatanku kurang manis? Atau kemanisan. Katakan saja biar aku bisa introspeksi diri."
"Dek!" Aku menghela nafas berlahan, agar embun di mataku segera sirna. Kubalikan badan setelah yakin jika aku kuat tanpa harus menangis."Terserah, Aa saja! Intinya aku tak mentolerir jika terbukti suamiku berkhianat!" Kuputuskan untuk melangkah pergi, tak kupedulikan Fahri yang masih memanggilku. Sungguh, aku merasa tak berdaya kali ini. Aku tak punya bukti perselingkuhan mereka, dengan siapa aku harus meminta tolong."Bang Ridho." Seketika aku terlintas ingat akan dia, dulu aku selalu membagi suka dukaku padanya, namun sekarang? Ah! Aku segan jika harus bercerita padanya. Sementara dia juga punya masalah yang kadarnya hampir sama.Ponselku berdering, nama Bang Ridho terpampang. Dia panjang umur, baru saja kuingat langsung menelfon."Assalamualaikum, Hallo, Bang.""Waalaikumsalam, ngapain, Nun? Kamu sibuk nggak?""Sibuk apaan, Bang. Biasa aja cuma jalan-jalan keliling pesantren tiap hari.""Hahaha ... Iya, ya. Sekarang kan anakmu ratusan, harus sering-sering bertemu agar hafal nama
PoV RidhoAku masih sangat berharap jika Ria tetap menjadi istriku. Tak peduli jika Ria tak mudah hamil, bukankah ada solusi lain! Hidup bukan hanya soal keturunan."Kamu itu, Dho! Masih saja mengharapkan perempuan yang kemungkinan susah hamil. Kaya kaga ada perempuan lain saja!" Cetus Mama yang tak pernah lelah mengomel hal yang sama.Aku memaklumi dan tak menjawab apapun. Karena bagiku itu sama saja akan menjadi Boomerang bagiku. Jadi aku memilih diam.Tiap pagi aku selalu chat Ria, sekedar menanyakan keadaannya. Sungguh, sebenarnya aku rindu, rindu senyumnya, rindu manjanya bahkan rindu saat ia selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang lebih banyak di kerjakan perempuan, walau itu tugas seorang suami.Aku rindu! Pekikku sendiri."Mas, sudah makan?" Dari sebrang sana terdengar suara lembut istriku. Aku tergugup, ini kali pertama ia menanyakan hal yang sepele."Be-belum, Dek. Nanti saja!" Gagapku, tak menyangka jika Ria menelfon hanya sekedar untuk menanyakan itu."Makanlah, jangan sa