Siapkan air es disamping kamu untuk baca part ini, takutnya dari telinga keluar asap dan terjadi hal yang tak diinginkan ... Kabur, ah othornya.
Selamat membaca
PoV Wisnu.
Sial! Gara-gara aku salah kirim WA untuk Wina terkirim ke Ainun. Sekarang berbuntut panjang. Ainun yang dulu percaya aku seratus persen kini mulai menaruh kecurigaan. Terlebih dia memergoki aku tengah makan dengan Wina.
Gadis perawan yang bekerja sebagai sekretaris di Perusahaanku bekerja. Aku yang hanya staf marketing, berhasil membuatnya berbunga-bunga. Kemewahan tentunya yang membuatnya tahluk, namun sayang baru akan berjanji untuk menikahinya tahun depan. Hubungan kita sudah lebih dulu terkuak, bahkan sekarang dia di pecat. Kasian tentunya, tapi aku bersyukur karena posisiku aman. Aku masih punya Wina-Wina yang lain. Ada juga Lastri yang telah aku nikahi secara agama hampir empat tahun yang lalu.
Beruntung
Dia pikir aku mudah tertipu, aku memang dulu sangat mempercayainya. Namun sekali ia berkhianat, aku tak akan percaya lagi. Terlebih ini sudah sangat mencurigakan. Ibu berkata sendiri kalau jatah bulanannya hanya tiga juta.Gila dia! Tega-teganya mengurangi jatah ibunya sendiri, sedangkan dia tahu bagaimana kondisi ibunya.Kulirik dia saat mengemudi mobil, ada raut kepanikan, setelah tadi aku paksa dia tanpa alasan. Yah ... Lucu saja! Pura-pura sakit perut saat akan di ajak kerumah ibu, sebelumnya baik-baik saja.Keringat sebesar jagung banyak berada di keningnya. Aneh!"Kenapa, Mas? Kok keringetan gitu?" tanyaku penasaran melihat ia yang begitu kegerahan. Bahkan sekali-kali menarik kerah bajunya."Ngga tau, Dek! Entah kenapa cuaca hari ini begitu panas. Bahkan Ace mobil saja kalah."Aku membelalakan mata, Ace yang begitu dingin dia bilang kalah.
"Sudah ya, Nduk. Semua sudah kelar, Wisnu sudah mengakui ke khilafannya jadi sekarang tak ada masalah yang serius," ibu tersenyum sambil mengusuk punggungku,"Ibu laper, yuk kita makan?"Aku beranjak berdiri, aku tak mampu berargumen dengan Ibu, terlebih aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan siapa Nuri sebenarnya."Baik, Bu. Aku siapkan dulu." aku melangkah menuju keruang makan, menyajikan apa yang telah kubeli sebelum kesini. Ayam rica-rica selalu kubawakan untuknya. Itu kesukaan Ibu. Saat menuang ayam rica-rica itu pada mangkuk, hatiku terongok sakit, tiba-tiba ingat Ibu Mertua yang tadi berbohong tentang Nuri. Sungguh aku tak menyangka, selama ini dia baik dan terbuka kenapa sekarang menutupi kelakuan anaknya yang salah?"Jangan macam-macam, kalau kamu tak ingin kenyamanan selama ini hilang." kata-kata Ibu Mertua yang dikhususkan untuk anaknya itu tak sengaja kudengar saat aku akan memanggil mereka untu
"Pagi, Ma," sapa Aira yang tengah sarapan ditemani Bik Uni."Pagi juga, Aira." kucium kening Aira lembut. Kemudian duduk dan mengambil sarapan. Tak kulihat cucunguk itu duduk ikut sarapan. Kemana dia? Pergi kah? Bagus deh kalau ia sadar diri dan memilih keluar tanpa aku usir."Mas Wisnu ngga pulang, Bik?" tanyaku meyakinkan jika Buaya buntung itu benar-benar tak pulang."Pulang, Non. Tadi pagi jam empat subuh." bisik Bik Uni padaku, "mungkin sekarang sedang tidur.""Ohh .... " hanya itu yang keluar dari mulutku, kukira ngga pulang. Terus dari mana dia? Apa melanjutkan berkencan dengan wanita kemarin? Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan itu. Fokusku sekarang menyelamatkan asetku dan kemudian mengurus perceraian. Sudah! Aku akan hidup tenang tanpa benalu yang tak tahu diri."Ma, hari ini aku dianter mama kan?""Iya, Sayang. Ya sudah tunggu di mobil
Aku memilih duduk pojok depan, sengaja agar dapat mengawasi situasi. Lalu lalang para pegawai yang sibuk melayani pembeli. Kuhitung sekitar ada empat orang termasuk yang satu duduk dibagian keuangan. Dia terlihat santai dalam bekerja, tak seperti yang lain yang tetap fokus. Bahkan satu kakinya ia angkat."Mbak, saya ikut duduk di sini agak lama ya?" kataku pada seorang yang tengah membereskan meja di sebelahku. Aku juga menyodorkan piring bekas makanku."Baik, Mbak. Sikahkan.""Saya pesen coffelatte satu ya, Mbak." pelayan mengangguk kemudian berlalu untuk mengambilkan pesananku.Tak berapa lama pesanan itu datang, "Silahkan, Mbak.""Terima kasih, saya minta bil-nya. Takut nanti saya pergi tergesa-gesa." ia mengangguk, kemudian kembali kemeja kasir.Kukeluarkan uang pecahan seratus ribu dua lembar. "Kembalinya ambil saja!"Pelayan memgang
Kulihat Lastri makin panik, setelah beberapa kali menekan telfonnya namun sepertinya yang dihubungi tak jua mengangkatnya. Terlihat bagaimana sewotnya dia, bahkan beberapa kali meremas rambutnya yang lurus itu."Maaf, rumah makan ini tutup sementara!" ucap seorang bodyguart pada beberapa pembeli yang baru datang. Wanita bernama Ayu pun tak kalah ikut panik, apalagi melihat para pelanggan yang berdatangan ditolak."Jangan begitu, Bang! Biarkan mereka makan, lihat makanan masih banyak seperti ini, bagaimana ....""Diam!" kembali satu orang penjaga Bang Ridho membentak Ayu. Seketika wajah Ayu memucat, sedangkan pelayan lain memilih diam. Hanya saling berbisik saja. Entah apa yang mereka ghibahkan."Bagaimana? Bisa pergi dari sini sekarang juga?!" Bang Ridho menengaskan sekali lagi pada Lastri. Dia yang masih kesal dengan terus memocel HPnya. Lucu."Tunggu dong, ini pasti kesalahan.
PoV WisnuSial! Gara-gara Ainun, aku gagal kencan dengan Lusi, bagaimana dia bisa melabrag Lusi dijalanan begitu, yang lebih parah ia bukan mempermasalahkan aku yang selingkuh namun justru menggugat karena mobil yang aku bawa adalah miliknya. Hancur sudah repotasiku didepan Lusi. Sialnya mobil ini juga tak mau kompromi, seolah membela si pemilik bahwa mobil ini tak boleh digunakan untuk maksiat.Kubuka dompetku, hanya tersisa tiga lembar uang merah, mana ini masih pertengahan bulan lagi! Lebih baik aku ke Bandung saja, siapa tahu Lastri mau memberiku uang. Lusi gagal masih ada Ninik. Aku tersenyum senang, Ah ... Wanita kenapa engkau begitu mudah diberdaya jika ada uang?Persetan dengan Ainun, ia kan cuma baru tahu kalau aku sempat punya hubungan dengan Wina, bahkan Lastri saja berhasil ibu yakinkan jika itu adalah saudara jauhku."Memang seorang ibu akan membela anaknya walau ia salah." ungkapa
Sore ini aku sedang menunggu kedatangan tamu istimewa, kebetulan juga kulihat Mas Wisnu sudah pulang. Ah ... Makin seru nih, aku akan membuat Mas Wisnu tak lagi berkutik dengan gundiknya.Bel berbunyi, aku tahu itu Lastri sudah pasti, karena akulah yang menyuruh orang menjemputnya. Mengatakan jika ia di suruh oleh Mas Wisnu. Untuk melancarkan dan Lastri percaya bahwa Mas Wisnu yang menyuruh, aku sengaja menggunakan mobil yang biasa Mas Wisnu bawa."Mas, hari ini kamu pake mobil yang merah!""Kenapa?" tanya Mas Wisnu heran."Mau aku servis, bukankah kemarin mogok?" akhirnya tanpa curiga Mas Wisnu menyetujuinya. Sekarang Lastri sudah tiba di rumah. Itu artinya pak sopir tak butuh waktu lama meyakinkan Lastri."Bik!" kupanggil Bik Uni, ia segera datang membawa permintaanku. Kursi roda."Ayo, Bik. Dorong aku sampai kedepan!" bibik mengangguk, dia sedikit tersenyu
"Ini tak adil, Dek!" Mas Wisnu masih berusaha protes. Tak adil apa maksudnya?"Kamu mau minta keadilan yang seperti apa, Mas?" tanyaku dengan sekuat tenaga menahan genangan air mata yang hampir jatuh. Ya ... Aku menangis bukan karena kehilangan Mas Wisnu, melainkan karena aku terlalu lama di tipu olehnya."Aku ngga mau kita cerai, Dek! Pokoknya aku tak mau!""Kenapa, Mas? Kamu takut miskin!""Bukan gitu, Dek. Pikirkan Aira. Dia pasti kecewa pada kita.""Dia akan lebih kecewa jika tahu papanya memberi adik dari ibu lain!" cebikku, Mas Wisnu terdiam."Mbak benar-benar menyerahkan Mas Wisnu untukku?" Lastri seolah belum percaya."Iya, Las! Kamu pikir aku cuma bercanda? Hal semacam ini tak bisa dibuat bercanda Lastri.""Pi ...." Lastri memanggil Mas Wisnu, diiringi dengan senyum, namun tidak dengan Mas Wisnu