Share

Bab5. Sadar Diri

Salwa jadi ikut pergi ke ruko yang sekarang dikelola oleh Adam. Di Solo, pusat penjualan kain sangatlah banyak, terutama kain batik.

Salwa yang memang menjual baju-baju muslim, selalu mencoba mencari ide bagaimana supaya baju muslim itu menjadi menarik saat di pakai.

Tidak mudah memang. Di zaman sekarang ini, wanita-wanita lebih memilih untuk memakai pakaiam yang terbuka dan ketat. Tidak semua memang, tapi sebagian besar memilihnya.

Disinilah tantangan Salwa, dia harus bisa membuat busana muslim yang menarik pembeli. Bukannya hanya menarik pembeli, tapi Salwa juga berharap, saudari muslim yang lainnya juga mau kembali menutup auratnya.

Salwa membantu Adam membuka ruko. Salwa menata kain-kain yang saat ruko tutup dimasukkan ke dalam.

"Udah Dek! Itu biar Mas saja yang lakukan. Kamu tolong bereskan meja kasir saja!" ucap Adam yang kasihan melihat Salwa mengangkat kain untuk diletakkan di depan ruko.

"Iya Mas!" Salwa menurut apa kata Adam. Dia berjalan menuju meja kasir. Salwa yang akan membereskan meja kasir menjadi bingung. Apa yang mau dibereskan? Mejanya sudah rapi begitu.

Salwa menoleh ke arah Adam. Adam yang sudah menebak jika Salwa pasti akan melihatnya, memberikan senyum manisnya.

Salwa tersadar saat melihat senyum Adam. Kakaknya itu pasti tidak tega saat melihatnya tadi mengangkat kain.

Padahal Salwa merasa baik-baik saja. Salwa menghampiri Adam. "Terima kasih Mas!" Salwa menggandeng lengan Adam yang sudah selesai menata kain di depan ruko.

Adam membalasnya dengan mengusap kepala Salwa.

"Katanya mau lihat-lihat kain yang baru datang," ucap Adam.

Adam lalu mengajak Salwa ke rak bagian kain yang baru datang.

Kain yang baru datang itu, yang polos kebanyakan berwarna cerah. Juga ada beberapa kain batik yang motifnya sangat bagus.

Salwa melihat-lihat kain disana dengan ditemani Adam yang setia berada di belakang Salwa.

Karena ruko baru saja buka, jadi belum ada pembeli. Dengan begitu, Adam bisa menemani Salwa untuk melihat-lihat kain yang baru datang.

Saat Salwa melihat kain katun polos berwarna pink, dan kain batik corak pink dan hitam. Pikiran Salwa langsung berkelana, membayangkan berbagai macam model gamis.

"Mas! Sisain Salwa kain yang ini dan ini ya," ucap Salwa sambil menunjuk kain katun polos berwarna pink dan kain batik motif pink dan hitam.

"Sudah dapat ide?" tanya Adam.

Salwa menoleh menatap Adam, lalu mengangguk tersenyum.

"Kamu sangat cerdas!" puji Adam.

Adam tidak akan segan untuk memuji adik-adiknya, jika mereka melakukan hal baik.

Bukan untuk membuat mereka menjadi sombong. Tapi Adam ingin supaya adik-adiknya itu merasa dihargai saat melakukan sesuatu yang benar.

"Jangan memujiku!" Salwa memukul pelan pundak Adam.

Mereka lalu duduk, menunggu pelanggan datang di meja kasir.

Menjalankan toko kain itu juga tidak perlu berkoar-koar. Mereka cukup dengan mempromosikannya di media sosial dan menawarkan kepada orang yang lewat.

Karena mereka percaya, rezeki tidak akan tertukar. Kita cukup berusaha dan berdoa, sisanya kita serahkan kepada Allah.

"Assalamualaikum Adam! Dek Salwa!" sapa Iwan. Tetangga sekaligus teman sekolah Adam dulu.

"Waalaikumsalam!" Mereka berdua kompak menjawab salam Iwan. Adam langsung menghampiri Iwan yang tengah berdiri di depan ruko.

Berbeda dengan Salwa, dia menjawab salam dengan menunduk. Tidak bergerak sama sekali dari duduknya.

"Mau cari apa Wan?" tanya Adam.

"Itu! Mau cari kain batik. Adakah yang baru datang, Dam?" Iwan tadinya hanya lewat saja di depan ruko Adam. Tidak disangka dia melihat ada Salwa disana, jadi Iwan memutuskan untuk menyapa.

Iwan dari dulu memang sudah menyukai Salwa. Hanya saja dia tidak berani mengungkapkan perasaannya.

Meskipun Iwan juga bukan laki-laki yang buruk, dia hanya merasa insecure setiap kali melihat bagaimana interaksi keluarga Habibah.

Iwan adalah anak korban broken home. Orang tuanya bercerai saat dia duduk di kelas dua SMP.

Setelah orangtua Iwan bercerai, tidak ada diantara mereka yang mau merawatnya. Pada akhirnya, Kakek dan Nenek dari pihak ayahlah yang mengasuhnya.

Dia dulu baru berumur empat belas tahun saat pindah ke Solo. Adam yang rumahnya dekat dengan rumah nenek Iwan, menyapanya pertama kali.

Saat itu karena Iwan sedang terpuruk, dia tidak mengindahkan sapaan dari Adam. Dia selalu menyendiri setiap harinya.

Sampai suatu hari, Adam membawa Salwa yang saat itu berumur sembilan tahun ke rumah neneknya.

Iwan terpesona melihat senyum gadis cilik yang memakai jilbab itu. Salwa kecil kemana-mana selalu mengikuti salah satu dari kedua kakaknya.

Salwa yang saat itu berusia sembilan tahun, mengajak Iwan untuk bermain bersamanya dan kedua kakaknya.

Iwan yang biasanya menyendiri setiap hari, setelah kedatangan Salwa sedikit demi sedikit mulai membaur dengan anak sepantarannya.

Mungkin sejak saat itu Iwan sudah mulai menyukai Salwa, dan perasaan itu semakin kuat setiap harinya.

"Dek! Mas antar Iwan melihat kain batik dulu ya! Kamu tunggu disini!" pesan Adam.

"Baik Mas!"

Adam dan Iwan pun pergi ke bagian rak kain batik yang baru datang. Sesekali Iwan mencuri pandang ke arah Salwa di meja kasir.

Adam menjelaskan tentang kain batik itu kepada Iwan. Adam bukannya tidak tahu jika Iwan menyukai Salwa.

Namun, Adam diam saja karena Iwan sendiri juga tidak mengatakan apa-apa kepadanya atau kepada Abah.

"Bagaimana? Kau suka yang mana?" tanya Adam setelah selesai menjelaskan tentang beberapa kain batik yang baru datang.

"Bagus-bagus semua." Iwan yang tadinya tidak berniat untuk membeli kain, sekarang malah menjadi tertarik untuk membelinya.

"Ini saja deh! Motifnya bagus! Walaupun motifnya pink dan hitam, tapi aku suka!" jawab Iwan.

Adam tersenyum. "Itu juga pilihan Salwa untuk membuat gamis di butiknya nanti," ucap Adam.

Iwan merasa sangat senang dalam hatinya. Bagaimana dia tidak senang, dia dan Salwa ternyata memiliki selera yang sama.

Adam lalu memotong kain sesuai dengan yang Iwan minta. Adam dan Iwan lalu berjalan ke meja kasir untuk melakukan pembayaran.

Salwa yang melihat Adam dan Iwan mendekat, langsung berdiri.

Salwa memberikan ruang untuk Adam melakukan transaksi pembayaran.

"Dek Salwa apa kabar?" tanya Iwan basa-basi.

"Kabar Salwa baik, Mas!" jawab Salwa yang langsung beringsut mundur ke belakang Adam.

Bukannya tersinggung, Iwan malah tersenyum senang. "Dia sama sekali tidak berubah," ucap Iwan dalam hati.

Semenjak Salwa menginjak bangku SMP. Salwa memang sudah menjauh perlahan-lahan dari laki-laki yang bukan mahramnya.

Dia akan selalu berdiri di belakang kakaknya saat ada laki-laki yang mendekatinya.

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Adam bingung melihat Iwan tersenyum tiba-tiba.

Iwan menggeleng. "Bukan apa-apa! Hanya saja, Salwa sama sekali tidak berubah ya. Dia masih saja suka bersembunyi di belakangmu?" jawab Iwan.

Adam memberikan kain yang dibeli Iwan tadi sambil tersenyum

"Ya begitulah Salwa. Dia bahkan masih suka berbaring di pangkuan kita," ucap Adam.

Kita, merujuk kepada Adam dan Husein.

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status