Salwa jadi ikut pergi ke ruko yang sekarang dikelola oleh Adam. Di Solo, pusat penjualan kain sangatlah banyak, terutama kain batik.
Salwa yang memang menjual baju-baju muslim, selalu mencoba mencari ide bagaimana supaya baju muslim itu menjadi menarik saat di pakai.Tidak mudah memang. Di zaman sekarang ini, wanita-wanita lebih memilih untuk memakai pakaiam yang terbuka dan ketat. Tidak semua memang, tapi sebagian besar memilihnya.Disinilah tantangan Salwa, dia harus bisa membuat busana muslim yang menarik pembeli. Bukannya hanya menarik pembeli, tapi Salwa juga berharap, saudari muslim yang lainnya juga mau kembali menutup auratnya.Salwa membantu Adam membuka ruko. Salwa menata kain-kain yang saat ruko tutup dimasukkan ke dalam."Udah Dek! Itu biar Mas saja yang lakukan. Kamu tolong bereskan meja kasir saja!" ucap Adam yang kasihan melihat Salwa mengangkat kain untuk diletakkan di depan ruko."Iya Mas!" Salwa menurut apa kata Adam. Dia berjalan menuju meja kasir. Salwa yang akan membereskan meja kasir menjadi bingung. Apa yang mau dibereskan? Mejanya sudah rapi begitu.Salwa menoleh ke arah Adam. Adam yang sudah menebak jika Salwa pasti akan melihatnya, memberikan senyum manisnya.Salwa tersadar saat melihat senyum Adam. Kakaknya itu pasti tidak tega saat melihatnya tadi mengangkat kain.Padahal Salwa merasa baik-baik saja. Salwa menghampiri Adam. "Terima kasih Mas!" Salwa menggandeng lengan Adam yang sudah selesai menata kain di depan ruko.Adam membalasnya dengan mengusap kepala Salwa."Katanya mau lihat-lihat kain yang baru datang," ucap Adam.Adam lalu mengajak Salwa ke rak bagian kain yang baru datang.Kain yang baru datang itu, yang polos kebanyakan berwarna cerah. Juga ada beberapa kain batik yang motifnya sangat bagus.Salwa melihat-lihat kain disana dengan ditemani Adam yang setia berada di belakang Salwa.Karena ruko baru saja buka, jadi belum ada pembeli. Dengan begitu, Adam bisa menemani Salwa untuk melihat-lihat kain yang baru datang.Saat Salwa melihat kain katun polos berwarna pink, dan kain batik corak pink dan hitam. Pikiran Salwa langsung berkelana, membayangkan berbagai macam model gamis."Mas! Sisain Salwa kain yang ini dan ini ya," ucap Salwa sambil menunjuk kain katun polos berwarna pink dan kain batik motif pink dan hitam."Sudah dapat ide?" tanya Adam.Salwa menoleh menatap Adam, lalu mengangguk tersenyum."Kamu sangat cerdas!" puji Adam.Adam tidak akan segan untuk memuji adik-adiknya, jika mereka melakukan hal baik.Bukan untuk membuat mereka menjadi sombong. Tapi Adam ingin supaya adik-adiknya itu merasa dihargai saat melakukan sesuatu yang benar."Jangan memujiku!" Salwa memukul pelan pundak Adam.Mereka lalu duduk, menunggu pelanggan datang di meja kasir.Menjalankan toko kain itu juga tidak perlu berkoar-koar. Mereka cukup dengan mempromosikannya di media sosial dan menawarkan kepada orang yang lewat.Karena mereka percaya, rezeki tidak akan tertukar. Kita cukup berusaha dan berdoa, sisanya kita serahkan kepada Allah."Assalamualaikum Adam! Dek Salwa!" sapa Iwan. Tetangga sekaligus teman sekolah Adam dulu."Waalaikumsalam!" Mereka berdua kompak menjawab salam Iwan. Adam langsung menghampiri Iwan yang tengah berdiri di depan ruko.Berbeda dengan Salwa, dia menjawab salam dengan menunduk. Tidak bergerak sama sekali dari duduknya."Mau cari apa Wan?" tanya Adam."Itu! Mau cari kain batik. Adakah yang baru datang, Dam?" Iwan tadinya hanya lewat saja di depan ruko Adam. Tidak disangka dia melihat ada Salwa disana, jadi Iwan memutuskan untuk menyapa.Iwan dari dulu memang sudah menyukai Salwa. Hanya saja dia tidak berani mengungkapkan perasaannya.Meskipun Iwan juga bukan laki-laki yang buruk, dia hanya merasa insecure setiap kali melihat bagaimana interaksi keluarga Habibah.Iwan adalah anak korban broken home. Orang tuanya bercerai saat dia duduk di kelas dua SMP.Setelah orangtua Iwan bercerai, tidak ada diantara mereka yang mau merawatnya. Pada akhirnya, Kakek dan Nenek dari pihak ayahlah yang mengasuhnya.Dia dulu baru berumur empat belas tahun saat pindah ke Solo. Adam yang rumahnya dekat dengan rumah nenek Iwan, menyapanya pertama kali.Saat itu karena Iwan sedang terpuruk, dia tidak mengindahkan sapaan dari Adam. Dia selalu menyendiri setiap harinya.Sampai suatu hari, Adam membawa Salwa yang saat itu berumur sembilan tahun ke rumah neneknya.Iwan terpesona melihat senyum gadis cilik yang memakai jilbab itu. Salwa kecil kemana-mana selalu mengikuti salah satu dari kedua kakaknya.Salwa yang saat itu berusia sembilan tahun, mengajak Iwan untuk bermain bersamanya dan kedua kakaknya.Iwan yang biasanya menyendiri setiap hari, setelah kedatangan Salwa sedikit demi sedikit mulai membaur dengan anak sepantarannya.Mungkin sejak saat itu Iwan sudah mulai menyukai Salwa, dan perasaan itu semakin kuat setiap harinya."Dek! Mas antar Iwan melihat kain batik dulu ya! Kamu tunggu disini!" pesan Adam."Baik Mas!"Adam dan Iwan pun pergi ke bagian rak kain batik yang baru datang. Sesekali Iwan mencuri pandang ke arah Salwa di meja kasir.Adam menjelaskan tentang kain batik itu kepada Iwan. Adam bukannya tidak tahu jika Iwan menyukai Salwa.Namun, Adam diam saja karena Iwan sendiri juga tidak mengatakan apa-apa kepadanya atau kepada Abah."Bagaimana? Kau suka yang mana?" tanya Adam setelah selesai menjelaskan tentang beberapa kain batik yang baru datang."Bagus-bagus semua." Iwan yang tadinya tidak berniat untuk membeli kain, sekarang malah menjadi tertarik untuk membelinya."Ini saja deh! Motifnya bagus! Walaupun motifnya pink dan hitam, tapi aku suka!" jawab Iwan.Adam tersenyum. "Itu juga pilihan Salwa untuk membuat gamis di butiknya nanti," ucap Adam.Iwan merasa sangat senang dalam hatinya. Bagaimana dia tidak senang, dia dan Salwa ternyata memiliki selera yang sama.Adam lalu memotong kain sesuai dengan yang Iwan minta. Adam dan Iwan lalu berjalan ke meja kasir untuk melakukan pembayaran.Salwa yang melihat Adam dan Iwan mendekat, langsung berdiri.Salwa memberikan ruang untuk Adam melakukan transaksi pembayaran."Dek Salwa apa kabar?" tanya Iwan basa-basi."Kabar Salwa baik, Mas!" jawab Salwa yang langsung beringsut mundur ke belakang Adam.Bukannya tersinggung, Iwan malah tersenyum senang. "Dia sama sekali tidak berubah," ucap Iwan dalam hati.Semenjak Salwa menginjak bangku SMP. Salwa memang sudah menjauh perlahan-lahan dari laki-laki yang bukan mahramnya.Dia akan selalu berdiri di belakang kakaknya saat ada laki-laki yang mendekatinya."Kenapa kamu tertawa?" tanya Adam bingung melihat Iwan tersenyum tiba-tiba.Iwan menggeleng. "Bukan apa-apa! Hanya saja, Salwa sama sekali tidak berubah ya. Dia masih saja suka bersembunyi di belakangmu?" jawab Iwan.Adam memberikan kain yang dibeli Iwan tadi sambil tersenyum"Ya begitulah Salwa. Dia bahkan masih suka berbaring di pangkuan kita," ucap Adam.Kita, merujuk kepada Adam dan Husein.*Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.Dengan ke
Minggu siang ini setelah sholat dhuhur, Salwa berbaring di pangkuan uminya.Waktu weekend seperti ini, biasa mereka gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu berkumpul seperti ini juga bisa mempererat hubungan mereka."Dek! Gantian napa." Adam, walaupun sudah berumur dua puluh tujuh tahun, tapi dia juga masih suka bermanja-manja dengan uminya.Didikan orangtua mereka yang selalu mengajarkan tentang kasih sayang kepada keluarga dan juga pentingnya menghabiskan waktu seperti sekarang ini, membuat Adam dan kedua adiknya menjadi dekat satu sama lain.Hanya kurang Husein saja saat ini. Dikarenakan dia sekarang sedang bekerja di Bandung, sehingga dia tidak bisa ikut berkumpul dengan mereka.Setiap kali Husein pulang ke Solo, maka Husein pasti akan memonopoli uminya. Dengan alasan dia sudah lama tidak bertemu, maka mau tidak mau kedua saudaranya pasti akan mengalah.Kasihan juga, pikir mereka. Husein hanya akan
"Akhirnya! Sampai juga di Solo." Husein merenggangkan tangannya, sembari menghirup udara Solo yang sudah satu bulan ini tidak dijumpainya.Husein sampai di bandara Adi Sumarmo pada pukul sebelas siang.Husein melihat jam di tangan kirinya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang," ucap Husein.Husein tadinya ingin langsung pulang saja ke rumah. Tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Dia memilih untuk sholat dzuhur, dan makan siang terlebih dahulu, baru pulang.Husein berjalan keluar dari bandara. Alih-alih memilih untuk naik taksi, Husein malah lebih memilih untuk naik becak.Selain bisa membantu pemasukan tukang becak, Husein juga bisa menikmati keindahan kota Solo."Mereka pasti terkejut dengan kepulanganku. Apalagi aku akan menetap mulai sekarang." Husein sangat antusias untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah satu bulan ini tidak berjumpa.~
Seperti pesan Abah kepada Adam tadi yang menyuruhnya untuk tidak menunggu mereka makan malam. Adam mengajak kedua adiknya itu untuk makan malam."Mas Adam yakin, Abah sama Umi telat pulangnya?" tanya Salwa."Iya Dek! Tadi sebelum Abah pergi, Abah berpesan agar kita makan malam terlebih dulu, karena Abah sama Umi mungkin bakal sampai malam."Mereka bertiga kini tengah berada di meja makan. "Nyesek banget sih nasibku. Rencana pulang mau memberikan surprise, malah Abah sama Umi belum pulang juga," ucap Husein sedih."Udah Mas, nggak usah sedih. Abah sama Umi memang belum pulang, tapi Salwa tadi terkejut loh, tiba-tiba melihat Mas Husein ada di rumah," ucap Salwa."Sudah! Bicaranya dilanjutkan nanti. Sekarang kita makan dulu," ucap Adam."Iya Mas," jawab Salwa dan Husein serempak.Makan malam ini, Salwa yang memasak. Menunya juga hanya seadanya. Salwa memasak bahan yang ada di dapur."Masih enak seperti biasanya Dek,"Husein memuji masakan Salwa."Salwa gitu loh!" jawab Salwa senang karena
Mereka bertiga kini sedang berada di kamar jenazah. Mereka melihat jasad kedua orang tuanya yang terbujur kaku di bankar rumah sakit.Salwa sudah menangis sesegukan, Husein menangis tanpa bersuara. Sedangkan Adam, dia berusaha sekuatnya agar tidak menangis.Kedua adiknya kini tengah terpuruk, dia harus bisa menjadi sandaran dan kekuatan untuk mereka. Dia mencoba untuk kuat di tengah rasa sakitnya.Adam memeluk Salwa dengan erat. Adam melihat ke arah Husein yang menatap jasad kedua orang tuanya, menangis tanpa bersuara.Adam tidak tahu seberapa sakit hatinya Husein sekarang. Disaat dia sudah pulang, bermaksud untuk memberikan kejutan untuk mereka, tapi malah dia yang mendapatkan kejutannya.Di tengah kesedihannya, Adam tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Adam kemudian meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengantarkan jasad kedua orang tuanya kembali ke rumah.Salwa tidak berh
Sudah satu minggu Habibah bersaudara hanya berdiam diri tinggal di rumah. Mereka masih mencoba untuk menata hidup mereka, setelah kepergian Abah dan Umi.Kepergian Abah dan Umi yang begitu mendadak, benar-benar menjadi pukulan yang berat untuk mereka bertiga.Adam yang menutup tokonya sementara, Salwa yang menyerahkan urusan butik kepada Amira, dan Husein yang meminta mengundurkan jadwalnya masuk bekerja.Para tetangga yang senggang, juga silih berganti mengunjungi kediaman Habibah. Para Ibu-Ibu memberikan sebagian masakan mereka untuk Habibah bersaudara, serta menemani Salwa agar tidak selalu bersedih. Memang, mereka tidak bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya Salwa, tapi mereka berharap, dengan kunjungan mereka setiap hari, bisa mengalihkan pikiran Salwa.Sedangkan untuk Bapak-Bapak dan laki-laki yang senggang, mereka menemani Adam dan Husein, harapan mereka juga sama, agar kesedihan mereka bisa sedikit terobati de
Pagi harinya, Habibah bersaudara hanya saling menyapa sekali. Setelah sarapan, mereka kembali ke kamar masing-masing.Bukannya mereka tidak sadar dengan keadaan saudaranya. Mata bengkak mereka jelas terlihat. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung paham jika mereka semalam habis menangis.Hati mereka sama-sama sakit melihat mata saudaranya bengkak seperti itu. Ingin rasanya hati menyemangati, tapi mereka juga sadar, mereka mengalami hal yang sama. Tidak perlu mengatakan apa-apa, mereka sudah mengerti satu sama lain.Salwa kembali menangis setelah masuk ke dalam kamar. Dia sangat sedih melihat keadaan kedua kakaknya pagi ini.Jika semalam dia menangis karena hatinya masih sakit, setelah kepergian Abah dan Umi. Pagi ini dia kembali menangis karena melihat keadaan kedua kakaknya.Salwa yang melihat mata bengkak Adam dan Husein sangat yakin jika mereka menangis semalam. Tapi Salwa masih benar-bena
Tiga hari berlalu, Habibah bersaudara sudah terlihat lebih ceria dari hari-hari sebelumnya.Adam dan Salwa juga sudah akan mulai bekerja hari ini. Begitupun dengan Husein, rencananya, dua hari lagi Husein juga akan masuk bekerja kembali.Mereka tengah sarapan bersama, sebelum Adam dan Salwa berangkat bekerja. Semalam mereka sudah memutuskan. Karena Husein baru akan mulai bekerja dua hari lagi, jadi selama dua hari ini, Husein akan ikut Salwa ke butiknya."Aku ikut Salwa saja Mas. Biar sekalian bisa jagain dia," ucap Husein semalam.Selain agar Husein tidak merasa kesepian, Husein juga ingin melihat bagaimana Salwa mengelola butik yang sudah dari dulu dia mimpikan.Jika ditanya apakah mereka masih merasa sedih, jawabannya jelas, mereka masih sangatlah sedih.Namun hidup juga harus tetap berjalan, mereka tidak bisa terjebak dalam kesedihan mereka.Mereka harus bangkit