Share

PART 3

Aku terbangun setelah beberapa saat terbaring tak berdaya di tumpukan salju. Rupanya aku pingsan setelah terjatuh. Embusan angin dari barat yang begitu dingin membuatku menderita. Tubuhku menggigil kedinginan di tengah salju yang kembali turun. Rambut coklat gelapku perlahan memutih akibat tertutup salju.

Di tengah kesunyian tempat yang tak ku kenal ini, seorang lelaki dengan mantel hitam tebal berjalan ke arahku dan berhenti. Tanpa mengetahui siapa lelaki itu, Ia berlutut dan mengulurkan tangannya padaku. 

“Siapa kau?” tanyaku setengah gemetar, bukan karena takut melainkan kedinginan.

“Sepertinya kau terluka dan butuh bantuan. Dengan senang hati aku akan membantumu. Oh iya, namaku Elgar.” Suaranya terdengar lembut dan seyumnya terasa hangat. Pembawaannya begitu tenang dengan mata birunya yang bersinar dan rambut gelapnya yang meliuk liuk tertiup angin.

“Aku…” bibir ini terasa berat untuk bicara. Aku tak tahu harus melakukan apa. Jelas tak boleh sembarangan enerima tawaran dari orang yang tidak dikenal di tengah hutan seperti ini. Bisa saja dia bukan orang baik, dan parahnya lagi bisa saja dia penyihir yang sedang menyamar.

Ah tidak mungkin! ujarku seraya menampar pipiku. Hanya para penyihir terkuat dengan sihir the violets yang mampu melakukannya. Mereka telah musnah dalam pertempuran berdarah tiga tahun lalu.

Lelaki itu mulai penasaran melihatku menampar pipiku sendir.

“Kau baik-baik saja? Pasti kau memikirkan sesuatu ya. Ayolah…aku bukan orang jahat. Ikutlah ke rumahku sehingga aku bisa membantumu mengobati luka.” Ia terus berusaha meyakinkanku.

Aku tak punya pilihan selain menerima tawarannya. Setelah kuamati, sepertinya dia memang orang baik. Semoga saja dia tak macam-macam padaku.

“Baiklah!”

Ia mengulurkan tangannya dan kusambut dengan pelan. Selain lengan dan kepala yang sakit, kaki ini juga tidak memungkinkan untuk berjalan kembali ke York.

“Terima kasih.” ujarku seraya membersihkan salju yang memenuhi permukaan mantelku.

“Siapa namamu?”

“Jenna. Baiklah, apa yang bisa kaubantu?” tanyaku.

“Aku bisa mengobati lukamu, dan kau bisa tinggal sementara di rumahku sampai suasana lebih baik.”

“Tidak, terimakasih. Aku harus segera kembali setelah kau mengobati lukaku. Ada banyak hal yang harus kulakukan.” Jawabku.

“Kumohon Jenna! kau harus beristirahat dulu. Aku memang tak tahu bagaimana kau bisa ada di tempat ini, tapi aku yakin kau perlu bantuan! Kau bisa mempercayaiku.”

Ia menatapku dengan mata birunya yang sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Senyumya terlihat tulus, dan setelah saat-saat yang menegangkan tadi perasaanku terasa jadi lebih tenang.

“Baiklah,” aku mengangguk dan berjalan mengikutinya. Ternyata medan yang kami lewati tidaklah mudah, salju cukup tebal dan jalan menurun. Rerumputan begitu rimbun dan tinggi. Kami saling berpegangan agar tidak terjatuh.

Beruntung, di depanku telah terhampar daratan luas yang landai dan medan yang sulit telah berlalu. Sepertinya tempat ini adalah danau yang membeku di musim dingin. Saat aku mulai menginjaknya, terdengar bunyi “krakk” yang pelan dari dalam danau. Setiap kami melangkahkan kaki, bunyi itu terus terdengar. Aku khawatir lapisan es ini akan pecah.

KRRAKK KRRAKK…. 

“Elgar, sepertinya lapisan esnya mulai pecah, kita bisa tercebur ke danau!”

“Tenang saja Jenna. Lapisan esnya cukup tebal dan kuat untuk menahan orang-orang yang berjalan di atasnya.”

Kami berjalan lebih cepat dan terus memandang ke depan. Kengerian mulai menjalariku. Aku tak mau melihat ke dasar danau yang tampak menakutkan dengan airnya yang berwarna biru tua. Tapi aku tahu Elgar terus memandangi senapanku sejak tadi.

“Apa kau, em… seorang pemburu?” tanya Elgar.

“Ya. Kau bisa mengetahuinya dari senjata yang kubawa.”

“Pemburu penyihir?” aku terkejut bak tersengat kalajengking di leher. Aku memandang matanya dengan tajam, seolah memperingatkannya untuk tak mengatakan hal itu lagi. Kemudian aku hanya  terdiam. Ia juga tak mengatakan apapun. Aku tak bisa memberi tahu identitasku begitu saja dengan seseorang yang baru kukenal.

“Kau tak perlu menyembuyikannya dariku. Aku mengetahui semua tentang kalian para pemburu, dan aku  menghormati kalian sebagai para pelindung.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan “Tentu saja aku berada di pihakmu.” 

Ucapannya membuatku lebih tenang sekalipun Ia berbohong. Tetap saja aku belum bisa mempercayainya seratus persen.

“Baiklah, dugaanmu sangat tepat.”

“Tapi bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”

“Aku terjatuh dari turunan tajam.”

“Setelah menjalankan misi?”

“Tentu saja.” Jawabku singkat.

Setelah melewati hamparan danau yang membeku, terlihat sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan tanaman. Karena musim dingin, tanaman-tanaman itu tertutup oleh salju tebal dan membuat mereka seolah hampir mati. Asap mengepul hampir dari seluruh rumah yang jaraknya cukup berjauhan.

Elgar mengajakku masuk ke salah satu rumah yang begitu indah. Sebenarnya rumah ini hanya terbuat dari batu-bata biasa tanpa ornamen lain yang menghiasinya, namun ratusan mawar yang ditanam di depannya membuat rumah kecil ini begitu nyaman.

“Masuklah Jenna. Ini rumahku.” Elgar membuka pintu dan mempersilakanku masuk.

Saat aku memasuki rumah, seketika tubuhku merasa hangat. Terdapat perapian di ruang tamu dan kursi-kursi kayu diletakkan di depannya membentuk setengah lingkaran dengan meja berlapis perunggu di bagian tengah.

Aku duduk dan meletakkan senjataku di bawah. Lalu seorang perempuan muda muncul dengan membawa sebuah kotak. Ia tinggi, ramping, dan rambut coklatnya diikat dengan kepangan-kepangan yang cukup rumit. Ia berhenti sejenak memandangiku dan kembali masuk lewat pintu yang lain.

Sepertinya Ia hanya berberapa tahun lebih tua dariku. 

“Mungkin teh ini bisa membuatmu lebih hangat.” Elgar meletakkan nampan di meja dan menyodorkan secangkir teh padaku.

“Terimakasih Elgar.” Aku meminum tehnya dan rasanya benar-benar nikmat. Ada sedikit campuran daun mint yang membuat rasanya segar di tenggorokan.

“Sekarang perlihatkan lukamu Jenna.”

“Baiklah.” Aku membuka lengan bajuku yang sobek dan memperlihatkan lukanya pada Elgar. Tanganku terlihat begitu kaku dan hampir membiru.

“Lukamu sudah cukup parah dan harus segera diobati. Kakakku sangat ahli melakukannya.” Elgar beranjak dari kursi dan kembali ke dalam untuk memanggilnya. Tak berselang lama, Elgar muncul dengan gadis yang kulihat tadi.

“Jenna, ini kakakku Kathleen.” Elgar mengenalkannya padaku.

Gadis itu membawa kotak obat dan duduk di depanku. “Aku akan mengobati lukamu.” Suaranya terdengar lembut dan ramah.

Kathleen membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan membubuhkannya di lenganku kemudian membalutnya dengan perban. 

“Selesai! Kau hanya perlu istirahat.”

“Kalau begitu, aku akan pulang. Teman-temanku pasti mencariku.”

“Teman-temanmu?” Kathleen melihat keluar jendela seakan mencari sesuatu.

“Aku belum menceritakannya padamu. Jenna adalah pemburu penyihir, Ia terjatuh dari turunan tajam saat aku menemukannya.”

“Pemburu? Hunters? Wow, itu keren!” Kathleen begitu tertarik dengan profesiku. “Selamat datang di Desa Cornwall.”

“Terima kasih. Kalian sangat baik, tapi aku tak bisa berlama-lama disini. Aku mempunya tugas yang harus segera kulakukan.” aku menolak tawarannya.

“Aku tahu. Tapi lihatlah! Cuaca di luar sangat buruk. Salju turun tanpa henti, apalagi kau harus melewati medan yang sulit. Tinggallah sebentar, setidaknya sampai cuaca sedikit lebih baik.” pinta Elgar.

Aku sempat berpikir selama beberapa saat. Elgar benar juga, udara di luar sangat dingin, tumpukan salju begitu tebal dan sulit dilalui. Apalagi resiko bertemu musuh di tengah perjalanan bukan hal yang tidak mungkin. Ya, lebih baik aku menuruti saja permintaannya.

Walaupun aku belum percaya sepenuhnya pada mereka, setidaknya aku lebih punya energi untuk menjaga diri.

“Baiklah, jika kalian menginginkan ini.” jawabku seraya mengambil cangkir tehku.

Kathleen mengajakku melihat-lihat isi rumah. Ukurannya memang tidak terlalu besar, tapi suasananya begitu hangat dan nyaman. Di dinding ruang tamu terdapat ukiran-ukiran kayu serta lampu gantung berwarna keperakan yang terlihat antik.

Lalu kami menuju ke sayap kanan rumah. Di bagian ini terdapat ruang perapian dan dapur, jadi ada dua tungku perapian di rumah ini. 

Kathleen mengajakku masuk ke perapian dan mataku segera tertuju pada benda-benda yang menghiasi dindingnya. Di atas tungku perapian terdapat tiga buah pedang yang disusun berjajar. Sementara di dinding sebelah kanan dan kiri terdapat busur serta anak panah yang digantung diantara lukisan-lukisan minyak.

“Kau mengoleksi benda-benda ini?” tanyaku sambil menunjuk ke salah satu pedang.

“Ya. Kami memang senang mengoleksi senjata. Lagipula, kita bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Selain sebagai hiasan, aku juga bisa menggunakannya untuk melawan serangan musuh.” Kathleen menjawab dengan antusias.

“Hobimu cukup menantang. Um..Apa desa ini pernah diserang?

“Tidak, tentu saja tidak. Cornwall tempat yang aman, Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku dan Elgar hanya tinggal berdua disini, jadi kami begitu senang menerimamu!”

“Kalian hanya tinggal berdua?” tanyaku penasaran.

“Ya. Seperti yang kau lihat.”

Sebenarnya aku masih ingin menanyakan mengapa mereka hanya tinggal berdua di rumah ini, serta kemana orang tua mereka. tapi aku merasa tidak enak pada Kathleen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status