Share

PART 2

Salju turun tanpa henti. Jutaan butirannya membuat hampir seluruh benda menjadi berwarna putih. Pepohonan dan tanaman-tanaman kecil terlihat sedih dalam kebekuan. Angin yang bertiup kencang seolah membuat semuanya menjadi lebih berat, namun tak seberat tugas yang dibebankan pada kami.

Aku, Emma, Alden, Kingsleigh, dan Marlon harus menyusuri Windstone yang sangat sepi dan dingin. Bagaimana tidak, ini adalah daerah paling barat setelah York yang berbatasan langsung dengan hutan.

Kesunyian benar-benar menghinggapi di seluruh daerah ini. Pepohonan seolah terus mengamati pergerakan kami. Suara desiran angin seperti ingin mengisyaratkan bahwa Windstone bukanlah tempat yang aman apalagi untuk suasana seperti ini.

Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak selama beberapa saat. Aku selalu siaga dan menggenggam senapanku erat-erat untuk menghadapi serangan yang terkadang datang secara cepat dan membabi buta. Namun hal ini tidak perlu dilakukan. Tak ada apapun di tempat ini, tak ada suara maupun pergerakan misterius apalagi dua orang penyihir yang berkeliaran. 

“Kita sudah menyusuri tempat ini beberapa lama dan tak ada apapun disini!” ujar Alden.

“Aku tak yakin dengan apa yang diucapkan Francis. Sepertinya tempat ini cukup aman dan bebas dari tuduhannya bahwa ada penyihir yang berkeliaran.” tambahku.

“Ayolah, kita kembali saja. Sudah jelas bahwa kita tak menemukan apapun. Saljunya cukup tebal untuk dilewati, dan ini benar-benar sulit.” Marlon mengibaskan mantelnya dari butiran-butiran salju yang membuatnya basah.

Kami berjalan ke timur dan memutuskan untuk kembali. Kemudian kami harus melewati jalan yang menurun dan berkelok-kelok, medan paling sulit dan menakutkan di Windstone.Terutama di musim dingin seperti ini, jalanan dipenuhi dengan tumpukan salju hampir setinggi lutut.

Aku dan Emma turun terlebih dulu sambil berpegangan pada Alden dan Kingsleigh. Berusaha menapakkan kaki dengan kuat di tanah agar tidak tergelincir seraya berpegangan erat. Ketika kaki kananku menginjak tanah bersalju di dasar tanjakan, bagian yang kupijak mengalami longsor kecil hingga membuatku terjatuh.

Alden memegang tanganku erat-erat namun Ia juga terpeleset dan jatuh bersamaku. Kepalaku terasa pusing dan tubuhku menggigil setelah terjerembab di tumpukan salju yang begitu tebal. 

“Kau baik-baik saja Jenna?” Emma terlihat cemas.

“Um, hanya sedikit pusing.” Emma dan Kingsleigh membantuku berdiri.

“Sebaiknya kita kembali saja! Kita tak menemukan apa-apa sejak tadi, dan tempat ini cukup berbahaya dalam suasana seperti ini.” ujar Marlon yang sejak tadi merajuk seperti anak kecil.

“Baiklah. Lagipula tempat ini dingin sekali.” Kingsleigh menyetujui usul Marlon. Mantel hitamnya hampir menjadi putih oleh butiran salju.

Akhirnya kami kembali tanpa mendapatkan hasil. Setelah berhasil melewati turunan tajam, kami sampai di tempat yang lebih landai dan penuh dengan pepohonan. Tempat ini sudah cukup jauh dari hutan dan lebih dekat dengan bekas perkampungan penyihir di sebelah barat.

Suasana di tempat ini tak kalah sunyi, namun salju tak setebal di Windstone. Kami hanya perlu berjalan sekitar satu kilometer untuk sampai ke York. Di tengah-tengah dataran yang luas, terkadang terdengar suara-suara desiran angin maupun binatang, bahkan aku bisa mendengar langkah kakiku sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang cukup jelas diantara pepohonan. Kami berhenti dan suara itu kembali terdengar samar-samar.

“Apa kalian mendengar suara itu?” tanyaku pada yang lain.

“Ya. Suaranya cukup keras dan aku yakin ada di dekat sini.” jawab Alden seraya berjalan kearah pepohonan.

“Semuanya berhenti!” Kingsleigh mengacungkan jarinya untuk memberi komando pada Emma dan Marlon yang masih berjalan.

“Kita pastikan itu bukan suara kita.”

Derap kaki itu kian terdengar sesekali diiringi sayup-sayup pepohonan. Hanya berselang beberapa detik saja suara itu kembali menghilang. Kami sudah memastikan itu bukan suara langkah kaki kami sendiri. Sepertinya ada makhluk lain, manusia atau entah penyihir yang berada di tempat ini selain kami berlima.

“Apa kita berpencar saja? Emma dan Jenna ke barat, Aku ke selatan, Alden ke timur, dan Marlon berjaga di tempat ini.” usul Kingsleigh.

“Baiklah, aku tak keberatan.” Jawab Emma dengan yakin.

Aku dan Emma  menuju ke selatan mendekati bekas perkampungan penyihir. Tempat yang dimaksud Francis, dimana Ia melihat dua orang yang dicurigai sebagai penyihir.

Sepanjang jalan salju makin tebal saja. Pepohonan hijau menjulang tinggi dan semuanya tampak sama. Jika tidak hati-hati dan memperhatikan arah, akan sangat mudah tersesat.

Diantara deru angin dan gesekan dedaunan, aku kembali mendengar suara-suara aneh. Kali ini lebih jelas dan terdengar seperti orang yang sedang berbicara. Aku memegang senjataku kuat-kuat dan bersiap menarik pelatuknya.

Secepat kilat seorang wanita dengan jubah hitam melayang dengan cepat dari atas pepohonan dan berusaha menyabetku dengan belatinya. Emma mendorongku dan belati penyihir itu menancap di tanah. Sementara kutembak penyihir itu dengan senpanku  dan berhasil mengenai lengannya. Tapi rupanya peluruku tak terlalu berpengaruh dan Ia kembali menyerangku. 

Tanpa kusadari, ternyata Emma sedang menghadapi dua penyihir lainnya. Penyihir ini menyerangku dengan sihirnya, namun aku selalu berhasil menghindar. Aku terus menembakkan senapanku dan akhirnya satu peluruku berhasil menembus jantung penyihir itu, seketika Ia terjerembab ke tanah.

Saat penyihir itu lengah aku segera membantu Emma. Dengan tenaga yang masih penuh, kami menghadapi penyihir tua itu. Setelah melukai kakinya dengan satu tembakan, Emma mencabut belati dari sepatu botnya dan memenggal lehernya dengan sekali sabetan.

“Kerja bagus kawan!”

Melihat teman-temannya kalah, penyihir yang paling tua dan berwajah menyeramkan berlutut dan menengadahkan tangan ke atas. Aku bersiap menembakkan senapanku ke angkasa, berpikir akan ada penyihir lain yang dia panggil.

Tak lama kemudian terdengar suara riuh dari langit. Ratusan burung gagak berputar-putar di angkasa dan terbang kearah kami. 

Aku dan Emma  berlari dan sesekali memukul burung-burung itu dan menembakkan peluru ke langit. Namun usaha kami tak berhasil.

“Jenna! Apa yang harus kita lakukan? Tak ada tempat untuk berlindung. Kita bisa mati dikeroyok ratusan burung itu.” Emma begitu cemas dan takut.

“Mereka bukan burung sungguhan."

Perlawanan kita tak akan ada artinya!” jawabku seraya menghalau mereka.

“Kita hanya perlu berlari Em! Beberapa meter di depan kita ada sebuah gua kecil dan kita bisa berlindung di sana.”

Kami berpegangan tangan dan berteriak meminta bantuan. Namun suara kami hanya menggema di antara pepohonan yang cukup rapat. Tak ada satupun yang mendengar kami. Melawan burung-burung itu hanya menghabiskan tenaga. Mereka hanyalah bagian dari mantra jahat penyihir gelap.

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan mencari tepat persembunyian.

Beruntung, aku segera menemukan gua yang kumaksud dan kami segera masuk. 

“Itu guanya! Kita bisa bersembunyi disana.” Kami saling mengangguk dan menambah kecepatan untuk sampai ke mulut gua.

Gua itu kecil dan aman. Sebuah pintu batu diletakkan di depan gua dengan posisi agak merenggang sehingga Aku dan Emma dapat masuk dengan mudah. Dengan sekuat tenaga kami mendorong pintu batu itu hingga menutup dengan rapat. Suara ratusan gagak itu terdengar cukup keras di luar. Aku bergidik ngeri hingga bulu kudukku berdiri. 

“Huhh hampir saja! Aku tak bisa membayangkan tubuhku akan dipatuk oleh burung-burung itu. Aku benci burung gagak!” Emma mendengus kesal.

“Gagak betulan tidak seperti itu Em.” Kami tertawa setelah diterjang rasa panik.

Tak berapa lama, suara mereka lenyap. Kutempelkan telinga ke pintu batu untuk memastikan burung-burung itu telah pergi.

“Sepertinya mereka sudah lenyap.”

“Syukurlah, kurasa mereka tidak akan sabar menunggu kita keluar dari balik pintu.”

“Francis Blake memang benar. Awalnya aku tak percaya pada pengakuannya. Tetapi penyihir-penyihir itu mulai muncul kembali dan berkeliaran di hutan Greenleaves. Padahal mereka benar-benar menghilang bak ditelan bumi setelah desa mereka rata dengan tanah.”

Kusandarkan punggungku di pintu dan kuletakkan senapanku di tanah.

“Mereka bangkit kembali dengan cepat setelah peristiwa itu. Willleth memang telah ditinggalkan, dan mungkin saja mereka mendirikan desa baru di tempat lain yang jauh dari jangkauan kita.”

“Apa kita harus keluar sekarang?” tanyaku.

“Sepertinya keadaan sudah aman. Lagipula kita tak bisa lama-lama di tempat ini. Teman-teman pasti akan mencari.” Jawab Emma dengan yakin.

Aku memberanikan diri untuk menggeser pintu. Dugaanku benar. Burung-burung itu telah pergi dan keadaan diluar sudah benar-benar aman. Kami keluar dari gua dan berlari secepat mungkin untuk kembali ke tampat Marlon berjaga.

Kami menyusuri jalan setapak dan hanya beberapa ratus meter lagi dari titik awal.. Tanpa terduga suara riuh kembali terdengar.

Secepat kilat, ratusan burung gagak menukik kearah kami berdua. Aku tak siap dan memukul-mukul mereka dengan senapan. Ratusan burung itu mencoba mengeroyok kami dan tak ada cara selain berlari. 

Tanpa sempat memikirkan hal lain, aku spontan meninggalkan Emma begitu saja dan terus berlari ke utara. Salju semakin tebal dan jalanan cukup menurun. Medan yang kulalui semakin terjal dan berbahaya.

Aku tak peduli dan terus berlari, hingga akhirnya aku mengulangi hal yang sama. Terpeleset dan menggelinding di jalanan yang curam.

Dengan tenaga yang masih tersisa, kucoba berdiri dengan sekuat tenaga. Rupanya aku telah sangat jauh dari posisi semula, aku juga telah meninggalkan Emma.

Pikiranku benar-benar kacau. Rasa panik mulai mejalariku dan aku tak sanggup mengatasinya. Tanpa memperdulikan diriku sendiri, kupaksakan diriku untuk berlari. 

Karena keseimbanganku belum pulih, alhasil hanya mampu berlari dengan terseok-seok, Parahnya kakiku menyandung pangkal pohon yang telah ditebang.

Aku terjatuh dan lenganku berdarah karena tergores ujung-ujung kayu yang tajam. Lengan bajuku sobek dan kurasakan darah mulai mengucur hingga membuat salju disekitarku berwarna merah. Aku meringis kesakitan seraya memegang lenganku yang terluka.

Kepalaku terasa sakit dan berdenyut-denyut setelah membentur tanah dengan keras. Pandanganku mulai kabur. Pepohonan dan tanah disekitarku terasa berputar-putar.

Butiran salju yang menghujani tubuhku seakan membuatku mati rasa. Perlahan semuanya terasa gelap dan aku tak dapat merasakan apapun

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status