Pramuniaga menanyakan ukuran kaki dan model seperti apa yang diinginkan. Bagus menjelaskan semuanya. Merasa mendapat penjelasan yang cukup kuat maka Pramuniaga tersebut mengajak Bagus ke salah satu rak, bermaksud memperlihatkan sebuah sepatu yang terlihat berdebu dan corak warna terlihat pudar karena tidak laku terjual. Dan, dengan harga yang terjangkau melihat dari penampilan Bagus. Bagi Pramuniaga tersebut, orang seperti Bagus layak diberikan sepatu semacam itu.Seketika alis Bagus menjadi naik melihat sepatu yang dibawakan Pramuniaga tersebut. Sepatu yang tidak layak untuk adik yang ia sayangi, memakai sepatu tua seperti itu. Ia terkesan diremehkan. Dianggap tidak mampu untuk membeli.“Maaf, Mbak, ini sepertinya tidak cocok untuk adik saya, saya coba cari sendiri saja,” tolak Bagus secara halus penuh kesabaran.Ekspresi Pramuniaga tersebut terlihat jengkel. Baginya terserah Bagus, setidaknya ia cukup memantau saja dari belakang. Mungkin saja dugaannya benar, Bagus akan mencuri sepat
Berdiri kembali dan kembali menatap Asep. Namun, pandangan teralihkan oleh sesuatu yang mengingatkan kembali sosok Tyas. Sepatu itu. “Apa kau lihat-lihat? Pergi sana! Dasar tidak tau diri,” cibir Asep sambil tersenyum kecut.“Siapa juga yang melihatmu! Kau sudah mendapatkan sepatunya. Seharusnya kau yang pergi dari sini,” ujar Bagus.“Sudah, jangan ribut terus! Sayang, kau jadi, tidak, membelikan sepatu ini untukku?” Memecah keributan, gadis belia itu bertanya kepada Asep.Merasa urusannya cukup dengan Bagus, Asep menjawab pertanyaan sang kekasih. “Ya, tentu jadi, dong,” ucapnya. Mengeluarkan senyuman terpaksa.Tidak mau mendapatkan malu yang luar biasa setelah berhasil mempermalukan Bagus. Karena gengsi, Asep harus membelikan sepatu tersebut untuk teman kencannya.“Ya udah, Mbak bungkus, ya, sepatu ini,” ucap Asep kepada SPG di dekatnya.Semua mata tertuju kembali kepada sosok Bagus yang berjalan dengan santai, menghampiri salah satu SPG di sana. “Mbak, bisa membantu saya untuk memb
Selesai menghidangkan makanan, Bagus teringat dengan token listrik baru saja dibelinya sewaktu di jalan tadi. Teringat akan gelapnya suasana rumah ketika beranjak malam hari, ia pun berdiri meninggalkan Tyas yang masih kebingungan dengan makanan dibelinya. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri, mau makan yang mana dulu, ya?“Kamu tunggu di sini sebentar, makan saja duluan,” ujar Bagus. Bangkit dari kursinya, beranjak meninggalkan Tyas.“Mau ke mana, Kak?” tanya Tyas.“Kan gelap, kakak mau isi token dulu,” jawab Bagus.“Oh, iya, Kak.” Tyas menjawab dan segera memulai makan.Bagus segera mengisi token rumah agar listrik menyala kembali dan Tyas dapat menikmati makan malam tanpa hambatan. Begitu selesai, ia merasa puas karena kebutuhan hari ini sudah terpenuhi. Ketika hendak memasuki rumah, Bagus melihat Asep yang baru saja pulang dengan berjalan kaki. Sangat tergambar jelas raut wajah Asep penuh keluh kesah.Mungkin saja Asep lagi ada masalah. Bagus tak menghiraukannya. Bagi Bagus, Asep
Kenapa Yanto begitu tega terhadap darah dagingnya sendiri? Begitulah pertanyaan yang ada di pikiran Tyas. Lebih baik ia tidak memiliki orang tua saja daripada hidup penuh dengan derita seperti ini. Berbeda dengan Bagus, melawan bukan solusi, melainkan hanya memperkeruh keadaan. Bagaimana pun Yanto adalah orang tuanya. Ia yakin bahwa suatu saat nanti Yanto akan berubah seperti dahulu lagi.“Aku tanya sekali lagi, dari mana kau dapat membeli sepatu dan makanan sebanyak ini?” tanya Yanto sambil membentak. “Seseorang memberikanku uang dan pekerjaan, Ayah,” jawab Bagus sambil menunduk.“Apa? Berani kau bohong kepadaku? Jangan mimpi! Tidak mungkin orang memberikanmu uang dengan cuma-cuma di dunia ini,” jelas Yanto.“Beneran, Yah. Bagus tidak berbohong,” jawab Bagus, ketakutan.Yanto menaikkan alisnya. Mengakui memang Bagus, anaknya tidak pernah berbohong dan bengkok selama ini. Namun, Yanto kembali menepis prasangka baik itu. Ia tidak bisa percaya begitu saja.“Berapa yang orang itu berikan
Bagus melihat keadaan dompetnya, kosong. Sepeser pun tidak ada uang. Di saat-saat sulit begini, ia sampai merogoh saku kemeja dan celana yang dia punya. Harap-harap ada uang yang terselip di sana. Namun, nihil. Dia hanya bisa membuang napas. Pasrah. Pagi sekali Bagus meninggalkan rumah. Semua uang Bagus tidak tersisa, semua sudah diambil Yanto. Bagus pergi ke sebuah perusahaan yang ada dalam kartu nama pemberian seorang lelaki yang dia tolong dari pencuri. Bagus terpaksa memakai kemeja seadanya karena dia tidak memiliki baju yang bagus. Dia mau tak mau harus jalan kaki agar bisa sampai ke sana. Itulah yang bisa Bagus lakukan karena tidak memiliki sepeser pun uang untuk pegangan hari ini. Tidak dapat naik angkutan umum maupun ojek.Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Sangat jauh dan belum pernah dia jamah kawasan tersebut. Kalau tidak segera pergi, dia berasumsi jika telat akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Karena sulit baginya mendapat pekerjaan, apalagi ditawari pekerj
Bagus menggeleng. Dia tidak mau memberikannya karena jika tidak ada kartu nama itu, dia tidak bisa datang kembali ke sini. Julio makin emosi. Dia menyuruh kedua security untuk memegang kedua tangan Bagus. Gerakan Bagus tertahan. Dia tidak bisa melawan ketika Julio mulai meraba-raba seluruh saku di pakaiannya. Begitu Julio dapat, ditatapnya kartu nama itu. “Berikan! Itu milik saya!” tegas Bagus. Julio mengabaikan. Dimasukkannya benda tersebut ke dalam sakunya. “Saya tidak mau tau, bagaimana pun caranya, kalian berdua harus mengusir lelaki sampah ini!” Memberikan perintah kepada kedua security. “Baik, Tuan,” balas mereka lalu Julio pun beranjak memasuki perusahaan. Tubuh Bagus tersungkur ke tanah akibat didorong keras oleh mereka berdua. Berbagai kalimat hinaan terlontar untuknya. Dengan lesu, Bagus yang tidak bisa berbuat apa pun, terpaksa harus angkat kaki dari perusahaan tersebut. ***Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Karena tidak ada uang untuk naik angkutan umu
"Baik, Dok," balas Bagus. Mengangguk lesu. Bagus berpikir keras. Malam ini dia harus bisa mendapatkan uang. Bagaimana pun karakter ayahnya yang buruk, Bagus tetap menyayangi. Terlebih hanya Yanto, satu-satunya orang tua yang dia punya. Berlari melibas malam yang gelap, Bagus meninggalkan rumah sakit. Dia mau pulang ke rumah untuk memberitahu tentang ayahnya ke Tyas. Tidak mungkin meninggalkan sang adik sendirian di rumah begitu saja. Sekaligus untuk meminta Tyas menjaga Yanto. Malam ini, dia mau mencari pinjaman uang. Sepatu Bagus benar-benar koyak. Akhirnya, dia melepas dan menenteng sepatu tersebut. Dengan kaki ayamnya, Bagus bisa berlari lebih kencang. Tenaga sudah benar-benar mau habis. Hanya sisa-sisa dan paksaan diri saja. "Tyas, buka pintunya, Dek," ucap Bagus. Setibanya di rumah, dia mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada sahutan, sudah pasti Tyas sedang tidur. "Dek, buka pintunya," ucap Bagus lagi. Sedikit berteriak. Kelupaan dia membawa kunci saat pergi tadi. Tyas mendeng
"Oh, kamu, Nak. Apakah sudah mengurus biaya administrasi untuk operasi ayahmu?" tanya Dokter yang mengenali Bagus. Sebab kedua pasien diurus oleh satu dokter yang sama. "Ehm, itu, belum. Maaf, Dok, tadi saya tidak sengaja mendengar ucapan Anda tentang pasien membutuhkan donor ginjal, memangnya pasien tersebut sakit apa?" tanya Bagus memulai percakapan."Tentang itu, si kakek menderita gagal ginjal sehingga membutuhkan pendonor untuk kesembuhan sang pasien," jawab sang dokter. "Oh, begitu. Lalu, efek samping setelah mendonorkan ginjal apakah si pendonor akan sehat saja keadaannya?" tanya Bagus yang pengetahuannya masih minim soal itu. “Ya, sehat. Tapi, pendonor akan terhambat aktivitasnya dan tidak boleh terlalu lelah karena berkurangnya satu ginjal. Harus banyak asupan bergizi dan vitamin. Istirahat juga yang cukup,” jawab Dokter. Bagus meletakkan jari telunjuknya di dagu. Dia berpikir begitu keras. Sangat penuh pertimbangan. Jika dia mendonorkan ginjal tersebut, dia bisa mendapatk