Happy Reading! ^^
Damian menatap Revin dengan wajah tak senang. "Itu bukan urusanmu!" ketusnya menjawab Revin. "Aku ke sini untuk membawa Lisa." Damian menggenggam tangan Lisa erat-erat."Apa maksudmu membawa Lisa?" tanya Revin dengan nada tenang tetapi tegas berwibawa."Aku akan membawanya pergi dari sini sambil menunggu surat perceraian darimu!" bentak Damian. "Lisa tidak butuh suami sepertimu yang tidak memiliki otak! Kalau dia mau menjebak seorang pria, daripada memilihmu, mending dia memilih pria bernama Nick itu. Nick itu sepertinya jauh lebih kaya daripada kau!""Apa kau bilang?" ucap Revin sambil mengepalkan tangannya. Mendengar nama Nick membuat sikap tenangnya tadi menghilang. Rasanya dia ingin meninju wajah Damian."Aku bilang...!""Damian!" sela Lisa. Damian langsung tutup mulut, seperti seekor anjing yang menuruti majikan."Apa yang barusan kau katakan itu? Aku dan Kak Revin tidak ada niat untuk bercerai. Aku hanya sedang emosi mengatakan hal itu padamu kemarin malam karena kami sempat ada
"Ya maksudnya, aku menduga dia adalah pria yang memerkosamu, Lisa, dan aku akan segera mencari tahu kebenarannya supaya lebih pasti. Alasanku langsung meneleponmu agar kau waspada dan menjauh darinya. Aku takut dia hendak macam-macam lagi denganmu," ucap Damian cemas.Dengan mengandalkan ingatan masa lalunya yang hanya beberapa menit, Lisa mencoba membandingkan Ben dengan pria yang dulu memerkosanya, tapi dia tidak bisa menemukan kemiripan antara mereka. "Aku tidak merasa mereka adalah orang yang sama, Damian," ucap Lisa setengah berbisik, tetapi entah kenapa dia jadi merasa takut saat ini."Apa kau yakin?" tanya Damian ragu-ragu. Lisa sudah melihat langsung wajah pria si bandot tua itu, sementara dirinya sendiri hanya melihatnya melalui foto. Tetapi ternyata Lisa juga meragu akan pendapatnya sendiri."Entahlah, Damian. Kau membuatku takut," lirihnya dengan mata berkaca-kaca."Wajar saja kau takut tapi jangan kelihatan. Kau harus tetap tenang. Tapi jika Ben itu memang dia, apa mereka t
"Kenapa?" tanya Revin saat melihat wajah Lisa yang berubah muram.Lisa segera tersadar dari amarahnya. "Tidak apa-apa. Sungguh rasanya tidak percaya jika pria yang di foto itu adalah Om Ben," ucap Lisa berupaya setenang mungkinRevin mengangguk ringan. "Berbaringlah kembali."Sementara itu, Ben memasuki kamarnya dengan wajah terlihat dingin dan kaku."Apa ada yang salah?" gumamnya pelan. Ben cukup peka akan sikap Lisa yang entah kenapa sengaja mengabaikan dirinya di ruang makan tadi. Ben lalu teringat ucapan Damian yang ingin melindungi Lisa agar tidak dipukuli habis-habisan seperti dulu oleh Hendra, ayah mereka."Memukuli Lisa habis-habisan seperti dulu.... Jadi, Lisa pernah mengalami penganiayaan oleh ayahnya sendiri?" Ben tampak menimbang-nimbang. Dia menyipitkan matanya dengan wajah yang semakin ketat saja."Aku harus menyelidiki ini," ucapnya memutuskan, kemudian ia menghubungi seseorang.***Damian masuk ke dalam kamar orang tuanya dan mendapati Nafa sedang berdandan."Damian? K
Nafa mendadak gugup. Foto Tuan Witama! Kapan Damian melihat itu? Jelas-jelas waktu itu Nafa sudah sangat berhati-hati menyembunyikan semuanya. Siapa sangka Damian sempat melihatnya? Mungkin karena Damian waktu itu masih SMP. Sifatnya yang cuek pada apa pun yang terjadi di sekitarnya, membuat Nafa menjadi tidak begitu waspada padanya. Tapi ternyata diam-diam Damian mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Bagaimana ini?" gumam Nafa dalam hati."I-itu, Mama cuma mencoba menyelidiki siapa pria kurang ajar yang sudah memainkan Lisa, itu saja," jawab Nafa kembali berkelit.Damian tersenyum mengejek. "Bicaralah sesuka hati Mama. Tapi aku tidak akan percaya sedikitpun."Nafa menghela napas. "Itu terserahmu, Damian. Mama lelah.""Mama perlu ingat, atas apa yang sudah terjadi pada Mama waktu itu, yang pasti bersalah adalah Hendra. Bisa saja Sheila juga korban sama seperti Mama yang tidak tahu apa-apa. Sementara Lisa, Lisa sama sekali tidak berdosa. Salah besar jika Mama melampiaskan d
"Apa kau mendengarku?" tanya Erika dengan suara lembut, melihat Lisa yang duduk di sampingnya tak juga menanggapi."A-apa? Maaf," ucap Lisa tersadar dari renungannya."Ayo bertukar nomor telepon," ucap Erika mengulangi katanya. Evans yang sedang duduk di sisi Erika yang lain, hanya melirik Lisa.Lisa menunduk. "Buat apa?" tanyanya dengan suara rendah.Ya, buat apa? Andaipun umurnya panjang, apa mereka bisa menyambung satu sama lain? Erika layaknya kertas putih bersih, sementara dia adalah kertas lusuh penuh coretan, kotor.Erika menaikkan kedua alisnya. "Tentu saja untuk saling berkomunikasi. Apalagi kita sama-sama hamil. Bisa saling memberi masukan yang baik," jawabnya tersenyum ramah.Lisa menatap Erika dengan mulut terkatup."Padahal waktu itu aku pernah membuat Erika dan Kak Evans saling salah paham hingga berakibat fatal pada Kak Evans, dan walaupun aku sudah meminta maaf dan Erika sudah memaafkanku, tapi..., tetap saja kan, harusnya dia menjaga jarak dariku, apalagi aku adalah m
"Sebenarnya Dokter Inggrid adalah dokterku," jawab Lisa."Doktermu? Bukankah doktermu namanya Sinta?" tanggap Revin.Lisa mengangguk. "Iya, keduanya adalah dokterku. Awalnya dokter Sinta, lalu kemudian Dokter Inggrid, karena aku mencari dokter kandungan terbaik. Tetapi aku tetap menjalin hubungan baik dengan Dokter Sinta," jelas Lisa berbohong.Revin menghela napas. "Aku tidak mengerti maksudmu apa berbelat-belit padahal hanya masalah dokter. Ayo kita masuk sekarang."Di ruang praktik, Dokter Inggrid menyambut kedatangan Lisa. Jantung Lisa berdebar. Dia merasa takut menghadapi apa yang akan terjadi nanti."Apa Bapak adalah suami Bu Lisa?" tanya Dokter Inggrid beramah tamah. Tentu saja dokter itu akan merasa lega jika pria yang sedang duduk di samping Lisa adalah suami Bu Lisa. Akan jauh lebih baik jika sang suami tahu bagaimana keadaan istrinya saat ini. Lisa hanya menatap ke bawah pasrah."Saya bukan suaminya. Saya temannya, Dok," jawab Revin dengan wajah merasa tak bersalah sama seka
"Kenapa? Kau tidak senang dengan kata-kataku?" ucap Revin melihat Lisa hanya diam menatapnya."Aku hanya ingin tahu. Jadi kalau bayi ini adalah perempuan, bagaimana nantinya? Aku harap Kakak tetap menyayanginya," ucap Lisa cemas."Tentu saja kalau dia darah dagingku aku akan menyayanginya. Tapi aku akan mendidiknya dengan keras dan tegas agar dia tidak terjerumus sepertimu," jawab Revin."Apa maksudnya dengan kata keras? Apa Kakak akan memukulnya jika dia berbuat salah?" tanya Lisa dengan raut serius."Tergantung kesalahannya apa. Bisa saja perlu dipukul kalau kesalahannya parah.""Tidak bisa!" tegas Lisa dengan mata tajam."Kenapa tidak bisa?""Dia anakku! Kau tidak boleh memukulnya!" bentak Lisa dengan tangan mengepal. Dia marah. Dia bahkan merelakan nyawanya demi si jabang bayi, seenaknya saja suaminya mengatakan akan memukul anaknya jika berbuat salah."Tapi nantinya dia berada di bawah asuhanku. Terserahku mau bagaimana," jawab Revin ringan."Kau tidak boleh memukulnya!" teriak Li
Preman itu langsung terjatuh dengan kepala bocor akibat hempasan yang dilakukan Damian lebih cepat dari dirinya."Arrggggh!" teriak preman itu kesakitan. Andi dan Rio merinding melihatnya. Rasa takut mereka seketika teralih dari preman ke Damian. Mereka pun menyadari bahwa mereka tidak bisa bermain-main dengan Damian untuk masalah bisnis bengkel motor mereka!Damian seperti orang kesetanan melawan mereka. Dia mengamuk! Dia sedang marah pada ibunya, pada Hendra, pada Ben, pada Revin, pada keadaan, dan marah pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ada hal seperti ini, kapan lagi dia melampiaskan kemarahannya kalau bukan sekarang?"Lari!" teriak salah satu preman sambil membawa temannya yang kepalanya sudah bocor. Mereka ada empat orang tapi kalah dengan Damian yang masih muda dan cuma seorang diri."Kau! Habis kau nanti begitu kami memanggil bos kami!" teriak preman lain geram pada Damian."Panggil aja bosmu itu biar kuinjak-injak!" seru Damian dengan wajah merah padam. Sudut bibirnya sendiri be