maaf author baru bisa update 🙏🙏🙏
"Kenapa?" tanya Revin saat melihat wajah Lisa yang berubah muram.Lisa segera tersadar dari amarahnya. "Tidak apa-apa. Sungguh rasanya tidak percaya jika pria yang di foto itu adalah Om Ben," ucap Lisa berupaya setenang mungkinRevin mengangguk ringan. "Berbaringlah kembali."Sementara itu, Ben memasuki kamarnya dengan wajah terlihat dingin dan kaku."Apa ada yang salah?" gumamnya pelan. Ben cukup peka akan sikap Lisa yang entah kenapa sengaja mengabaikan dirinya di ruang makan tadi. Ben lalu teringat ucapan Damian yang ingin melindungi Lisa agar tidak dipukuli habis-habisan seperti dulu oleh Hendra, ayah mereka."Memukuli Lisa habis-habisan seperti dulu.... Jadi, Lisa pernah mengalami penganiayaan oleh ayahnya sendiri?" Ben tampak menimbang-nimbang. Dia menyipitkan matanya dengan wajah yang semakin ketat saja."Aku harus menyelidiki ini," ucapnya memutuskan, kemudian ia menghubungi seseorang.***Damian masuk ke dalam kamar orang tuanya dan mendapati Nafa sedang berdandan."Damian? K
Nafa mendadak gugup. Foto Tuan Witama! Kapan Damian melihat itu? Jelas-jelas waktu itu Nafa sudah sangat berhati-hati menyembunyikan semuanya. Siapa sangka Damian sempat melihatnya? Mungkin karena Damian waktu itu masih SMP. Sifatnya yang cuek pada apa pun yang terjadi di sekitarnya, membuat Nafa menjadi tidak begitu waspada padanya. Tapi ternyata diam-diam Damian mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Bagaimana ini?" gumam Nafa dalam hati."I-itu, Mama cuma mencoba menyelidiki siapa pria kurang ajar yang sudah memainkan Lisa, itu saja," jawab Nafa kembali berkelit.Damian tersenyum mengejek. "Bicaralah sesuka hati Mama. Tapi aku tidak akan percaya sedikitpun."Nafa menghela napas. "Itu terserahmu, Damian. Mama lelah.""Mama perlu ingat, atas apa yang sudah terjadi pada Mama waktu itu, yang pasti bersalah adalah Hendra. Bisa saja Sheila juga korban sama seperti Mama yang tidak tahu apa-apa. Sementara Lisa, Lisa sama sekali tidak berdosa. Salah besar jika Mama melampiaskan d
"Apa kau mendengarku?" tanya Erika dengan suara lembut, melihat Lisa yang duduk di sampingnya tak juga menanggapi."A-apa? Maaf," ucap Lisa tersadar dari renungannya."Ayo bertukar nomor telepon," ucap Erika mengulangi katanya. Evans yang sedang duduk di sisi Erika yang lain, hanya melirik Lisa.Lisa menunduk. "Buat apa?" tanyanya dengan suara rendah.Ya, buat apa? Andaipun umurnya panjang, apa mereka bisa menyambung satu sama lain? Erika layaknya kertas putih bersih, sementara dia adalah kertas lusuh penuh coretan, kotor.Erika menaikkan kedua alisnya. "Tentu saja untuk saling berkomunikasi. Apalagi kita sama-sama hamil. Bisa saling memberi masukan yang baik," jawabnya tersenyum ramah.Lisa menatap Erika dengan mulut terkatup."Padahal waktu itu aku pernah membuat Erika dan Kak Evans saling salah paham hingga berakibat fatal pada Kak Evans, dan walaupun aku sudah meminta maaf dan Erika sudah memaafkanku, tapi..., tetap saja kan, harusnya dia menjaga jarak dariku, apalagi aku adalah m
"Sebenarnya Dokter Inggrid adalah dokterku," jawab Lisa."Doktermu? Bukankah doktermu namanya Sinta?" tanggap Revin.Lisa mengangguk. "Iya, keduanya adalah dokterku. Awalnya dokter Sinta, lalu kemudian Dokter Inggrid, karena aku mencari dokter kandungan terbaik. Tetapi aku tetap menjalin hubungan baik dengan Dokter Sinta," jelas Lisa berbohong.Revin menghela napas. "Aku tidak mengerti maksudmu apa berbelat-belit padahal hanya masalah dokter. Ayo kita masuk sekarang."Di ruang praktik, Dokter Inggrid menyambut kedatangan Lisa. Jantung Lisa berdebar. Dia merasa takut menghadapi apa yang akan terjadi nanti."Apa Bapak adalah suami Bu Lisa?" tanya Dokter Inggrid beramah tamah. Tentu saja dokter itu akan merasa lega jika pria yang sedang duduk di samping Lisa adalah suami Bu Lisa. Akan jauh lebih baik jika sang suami tahu bagaimana keadaan istrinya saat ini. Lisa hanya menatap ke bawah pasrah."Saya bukan suaminya. Saya temannya, Dok," jawab Revin dengan wajah merasa tak bersalah sama seka
"Kenapa? Kau tidak senang dengan kata-kataku?" ucap Revin melihat Lisa hanya diam menatapnya."Aku hanya ingin tahu. Jadi kalau bayi ini adalah perempuan, bagaimana nantinya? Aku harap Kakak tetap menyayanginya," ucap Lisa cemas."Tentu saja kalau dia darah dagingku aku akan menyayanginya. Tapi aku akan mendidiknya dengan keras dan tegas agar dia tidak terjerumus sepertimu," jawab Revin."Apa maksudnya dengan kata keras? Apa Kakak akan memukulnya jika dia berbuat salah?" tanya Lisa dengan raut serius."Tergantung kesalahannya apa. Bisa saja perlu dipukul kalau kesalahannya parah.""Tidak bisa!" tegas Lisa dengan mata tajam."Kenapa tidak bisa?""Dia anakku! Kau tidak boleh memukulnya!" bentak Lisa dengan tangan mengepal. Dia marah. Dia bahkan merelakan nyawanya demi si jabang bayi, seenaknya saja suaminya mengatakan akan memukul anaknya jika berbuat salah."Tapi nantinya dia berada di bawah asuhanku. Terserahku mau bagaimana," jawab Revin ringan."Kau tidak boleh memukulnya!" teriak Li
Preman itu langsung terjatuh dengan kepala bocor akibat hempasan yang dilakukan Damian lebih cepat dari dirinya."Arrggggh!" teriak preman itu kesakitan. Andi dan Rio merinding melihatnya. Rasa takut mereka seketika teralih dari preman ke Damian. Mereka pun menyadari bahwa mereka tidak bisa bermain-main dengan Damian untuk masalah bisnis bengkel motor mereka!Damian seperti orang kesetanan melawan mereka. Dia mengamuk! Dia sedang marah pada ibunya, pada Hendra, pada Ben, pada Revin, pada keadaan, dan marah pada dirinya sendiri. Tiba-tiba ada hal seperti ini, kapan lagi dia melampiaskan kemarahannya kalau bukan sekarang?"Lari!" teriak salah satu preman sambil membawa temannya yang kepalanya sudah bocor. Mereka ada empat orang tapi kalah dengan Damian yang masih muda dan cuma seorang diri."Kau! Habis kau nanti begitu kami memanggil bos kami!" teriak preman lain geram pada Damian."Panggil aja bosmu itu biar kuinjak-injak!" seru Damian dengan wajah merah padam. Sudut bibirnya sendiri be
Ben mengangkat telepon yang sedari tadi ia tunggu-tunggu dari anak buahnya. "Apa yang kau dapatkan?" ucapnya setelah mengatakan halo."Tuan, tidak ada hal khusus tentang Bapak Hendra. Soal masalah penganiayaan Nyonya Lisa oleh keluarganya, kami juga tidak mendengar apa pun. Kami hanya mendengar gosip bahwa Nyonya Lisa menggugurkan kandungannya tiga tahun lalu. Apakah gosip itu benar atau tidak, kami tidak bisa memastikannya. Tidak ada keterangan apapun yang membantu kami. Sepertinya gosip itu muncul setelah Nyonya Lisa hampir dua bulan tidak masuk sekolah karena alasan sakit.""Oh begitu," jawab Ben kecewa karena tidak mendapat kepastian apa-apa."Tapi, Tuan, kami malah mendapat fakta yang mungkin cukup mengejutkan Tuan, tentang istri dari Bapak Hendra.""Istrinya kenapa?" tanya Ben malas."Istrinya adalah Ibu Nafa, Tuan. Bukankah Ibu Nafa itu yang dulu menjual Nyonya Lisa pada Tuan?""Benarkah dia istrinya?" Ben cukup terkejut mendengarnya. Dia memang berencana untuk mencari tahu hub
Ben tersenyum melihat Damian tidak menyangkali ucapannya. Ternyata kabar bahwa Damian adalah anak dari hasil perselingkuhan adalah benar. "Tenang saja, untuk sementara ini rahasia ibumu aman kok asalkan kau mau menjawab semua pertanyaanku tentang ucapanmu tadi pagi pada Lisa." "Yang mana?" Damian mengerutkan kening. Sial sekali Ben mengancamnya. Dia tidak mungkin lagi bersikap ketus seperti tadi pada Ben. "Kau mengatakan bahwa kau ingin melindungi Lisa agar Lisa tidak dipukuli habis-habisan oleh Hendra seperti dulu." "Ya, memang seperti itu," lugas Damian. "Maksudnya, Hendra pernah memukuli Lisa habis-habisan?" tanya Ben memastikan. "Ya, Hendra menganiaya Lisa. Dia memukul dan menendangnya," jawab Damian apa adanya. "Kenapa dia melakukan itu? Apa Lisa berbuat kesalahan fatal?" Tanpa sadar kening Ben mengerut. "Lisa hamil tiga tahun lalu, jadi Hendra marah besar. Dia terus-terusan emosi melihat Lisa. Jadi kadang kala dia memukulnya atau sesekali menendangnya. Lisa menjadi stres