Share

2. Peletakan Batu Pertama

"Jadikan aku istrimu, maka kamu berhak atas apa yang aku punya. Bagaimana?!"

Kasak-kusuk dari arah kerumunan, kontan saja terdengar. Tak sedikit yang melontar cibiran, pun banyak yang menyerukan kekaguman atas keberanian si perempuan. Karena nyatanya, bisikan yang Mahika lakukan, masih cukup lantang untuk didengar oleh telinga-telinga yang terpasang begitu siaga di sana.

Mahika tidak ingin kehilangan harta warisan orang tua, yang memang hanya tanah tersebutlah satu-satunya. Namun, ia pun sadar tidak akan mampu memberikan sejumlah uang yang pria itu minta.

Menghubungi sang kakak untuk mengembalikan nominal yang sudah dibayarkan Kainan Arshad pun, tidak mungkin ia lakukan. Shaka pasti sudah menghabiskannya. Dan lagi, Mahika tidak tahu di mana keberadaan pria bernama lengkap Gibran Arshaka tersebut.

Jadi, biarlah ia dianggap rendah dan mendapat caci maki dengan menawarkan diri untuk dijadikan istri oleh sang pemilik perusahaan saat ini.

Gadis itu lemah. Tak punya kemampuan apa pun untuk menopang hidup. Sikap tangguhnya hanya sebuah kedok, agar tak seorang pun berani menindas ia yang tak berdaya.

Lupakan ego besarnya yang sebelum ini merasa terhina saat diminta menyebutkan nominal yang ia inginkan. Katakanlah Mahika materialistis, karena ia pun berharap untuk bisa memiliki apa yang Kainan punya setelah menikah nanti. Silakan saja, Mahika juga manusia biasa yang tentu saja tergiur dengan harta. 

Namun, jika Kainan dapat membaca sorot mata perempuan di depannya, sesungguhnya gadis ini tengah memohon untuk diselamatkan. Dari kehidupan kejam yang selama ini dijalaninya.

Smirk kecil di sudut bibir sang pria, perlahan pudar. Berganti dengan kedipan lambat pada kedua netra, disusul kekehan tak paham akan kalimat Mahika.

"Apa-apaan. Jangan main-main, Nona. Pikirkan baik-baik ucapanmu barusan," desis Kainan dengan suara tertahan, seraya menegakkan badan. Kedua tangan bersilang di dada kala ia memalingkan pandang, menjauhkan wajah yang semula hampir menempel dengan paras ayu si gadis belia.

"Lagi pula, tanpa harus menjadikanmu sebagai istri saya, saya sudah bisa memiliki segalanya," tukas Kainan.

Dua kali kehidupan rumah tangganya tak berakhir bahagia. Cukup sudah. Kainan tidak ingin lagi mengenal kata menikah.

"Aku sudah berpikir matang-matang. Kamu bisa membangun cabang perusahaan di sini, tanpa perlu takut untuk aku ganggu gugat lagi. Sekadar informasi saja, sertifikat tanah ini atas namaku. Jadi, jelas sudah ... saudara laki-lakiku tidak berhak apa pun," ujar Mahika.

"Tidak peduli dengan itu. Surat-surat kepemilikan sudah ada di tangan kami. Kamu tidak lagi memiliki hak. Tuntutan apa pun yang kamu lakukan, tidak akan berpengaruh apa-apa. Justru sebaliknya, saya bisa melakukan tuntutan balasan," tukas Kainan.

"Begini. Anggap saja, kamu membeli tanah beserta pemiliknya," serobot Mahika yang sempat merasa panik atas lontaran kalimat dari Kainan.

"Kamu sedang menjual diri, Nona?!" Kainan berseru dengan gertakan tertahan. Ia tak habis pikir, apa yang ada di dalam otak si perempuan.

Mahika tersentak dengan kalimat yang Kainan lontarkan. Wajahnya memerah karena rasa malu yang tak lagi mampu ia sembunyikan. Bibirnya bergetar seiring redupnya binar mata.

Gadis dua puluh tahun itu berkedip cepat, dan membasahi bibir dengan gusar. Apa yang ia mulai, tak mampu ia selesaikan dengan benar. Justru, kini dirinya merasa bagai dilempar kotoran tepat di wajahnya.

Menjijikkan.

Ingin rasanya Mahika mengubur diri hidup-hidup. Atau sekalian saja memohon untuk ditanam bersama batu pertama yang sedianya akan Kainan letakkan pada tanah berlubang di depan mereka.

"Lupakan! Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Aku akan mendatangimu, jika uangku sudah terkumpul untuk mengambil lagi tanah warisan orang tuaku." Mahika berujar dengan kalimat rapat, dan berbalik cepat.

Namun, sebelum perempuan itu sempat melangkah, Kainan menahan lengannya dengan cengkeraman erat dari arah belakang.

Mahika mengurungkan langkah. Napasnya tertahan di tenggorokan setelah dengan kasarnya saliva menerobos kerongkongan yang seakan tersumbat.

Kainan memaku lekat punggung sempit milik sang gadis yang kentara bergetar. Pria itu melonggarkan cengkeraman, tetapi tak sedikit pun berniat melepaskan.

"Kamu sendiri yang meminta. Jadi, jangan menyesal kalau saya kabulkan," lirih Kainan.

"Maksud kamu?!" Mahika kembali memutar badan, tanpa berusaha melepas cekalan pada tangannya.

Kainan mengunci tatap matanya, sementara sebelah tangan mengangkat ponsel dan menempelkannya pada telinga. Setelah sebelumnya men-dial nomor tujuan hanya dengan sekilas lirikan pada benda segi empat pintar di tangan kanannya.

"Siapkan segala sesuatu! Saya akan datang bersama pengantin wanita," titah Kainan pada seseorang dalam sambungan telepon, membuat gadis dalam cengkeramannya melebarkan bola mata.

Sang asisten di samping Kainan pun tak luput dari reaksi yang sama. Tidak menyangka, jika sang tuan yang selama ini seakan trauma dengan kehidupan berumah tangga, memutuskan hal demikian tanpa berpikir panjang. Namun, Damar tidak dapat berbuat apa-apa jika itu sudah menjadi kemauan Kainan Arshad.

"Ka—kamu ...." Mahika terbata, kesulitan menyusun kata-kata.

"Itu yang kamu mau, bukan?! Saya hanya sedang mengambil bonus dari pembelian tanah yang saya lakukan. Seperti apa yang kamu katakan, Nona. Saya sudah membeli tanah itu beserta pemiliknya." Seringai yang semula menghilang, kini kembali menghias wajah Kainan.

"Damar, cari tahu di mana kakaknya berada saat ini. Bawa dia untuk menjadi wali nikah adiknya dengan saya," titah Kainan, tanpa menoleh ke arah sang asisten. Sepasang netra milik pria itu masih tak membiarkan sosok Mahika terlepas dari pandangannya.

"Se—sekarang?!" Damar tergagap.

Lirikan tajam Kainan berikan kepada pria muda yang kini masih berdiri di sisi kanannya. "Kamu tidak dengar saya sudah minta segala sesuatu untuk disiapkan?!" sarkasnya.

"Eung ... baik, Tuan. Saya akan hubungi Saudara Shaka sekarang." Damar tampak mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Tuan Kainan ...." Mahika mencoba melontarkan kalimat pencegahan. Entahlah, di detik-detik terakhir di mana Kainan mengiyakan permintaannya, keraguan justru muncul ke permukaan. Namun, Mahika tidak dapat mundur lagi sekarang.

Isyarat yang Kainan tunjukkan dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, sudah jelas menegaskan jika CEO tampan itu tidak ingin dibantah.

Tanpa banyak berkata, Kainan menarik Mahika mendekat. Mengusir Damar dengan sebuah delikan tajam, dan membiarkan si perempuan menggantikan sang asisten untuk berdiri di sampingnya.

Kainan menoleh ke arah salah satu pekerja. Memberi kode dengan uluran sebelah tangan, agar batu kembali diberikan kepadanya. Pria yang dimaksud, sangatlah tanggap. Dengan sigap, batu berwarna hitam berukuran sedang tersebut kini kembali berada di atas kedua tangan Kainan Arshad.

"Pegang!" titah Kainan kepada Mahika, menyodorkan benda padat dan keras yang diangkat setinggi perutnya.

"Untuk apa?" tanya Mahika tak paham, dengan kening berkerut dalam.

"Lakukan saja!" tegas sang pria.

Akhirnya, setelah berdeham sejenak untuk mengusir ketegangan, perempuan itu pun melakukan apa yang Kainan titahkan. Menahan batu dari sisi berlawanan dengan yang Kainan pegang.

Pria itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, sebelum memulai aksinya. Setelah dirasa waktu sudah tepat, Kainan pun berseru dengan lantang.

"Dengan diletakkannya batu pertama ini oleh saya, Kainan Arshad dan juga ...." Kainan menoleh ke arah gadis di sebelahnya. "Siapa namamu tadi?" tanyanya pelan.

Mahika tidak ingin menunjukkan sisi lain dirinya yang lemah. Pun tidak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit gentar. Maka, dengan tegas ia menjawab pertanyaan Kainan.

"Gantari Mahika. Gantari Mahika namaku. Ingat itu, dan jangan salah mengucapkannya saat nanti ijab kabul."

Kainan tersenyum samar. Dalam diam, ia mengagumi keberanian seorang Gantari Mahika. Gadis luar biasa, yang baru kali ini ia ketahui sosoknya.

"Baiklah." Kainan membawa pandangannya kembali kepada kerumunan orang di depannya.

"Dengan diletakkannya batu ini oleh saya dan Gantari Mahika, proyek pembangunan cabang Happy Company ... diresmikan." Riuh tepuk tangan menjadi pengiring kalimat tegas yang Kainan lontarkan.

"Sekaligus ...." Gemuruh dari beradunya puluhan pasang telapak tangan di sana, tiba-tiba terjeda ketika Kainan tak segera meletakkan batu di tangannya, dan justru menyerukan kata-kata lanjutan.

Semua mata menatap Kainan dengan raut penasaran sambil sesekali berbisik dengan orang-orang di sebelah mereka. Menerka-nerka apa kiranya yang akan Kainan sampaikan berikutnya.

Tak luput pula dengan Mahika yang kini merasakan tubuhnya semakin bergetar dengan degup ribut jantungnya yang kian tak dapat dikendalikan, bersamaan dengan hawa dingin menyerang seluruh badan. Perempuan itu meneguk ludah susah payah untuk kesekian kalinya dan tak berani sedikit pun menoleh ke arah seorang pimpinan perusahaan yang kini berdiri di sisinya.

Dan saat satu kalimat penuntas akhirnya terlontar dari mulut Kainan, Mahika yakin ... hidupnya tidak akan lagi sama.

"Sebagai pertanda bahwa mulai sekarang ... Gantari Mahika adalah milik saya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status