Share

3. Hari Pernikahan

Gadis dengan tubuh tinggi ramping itu mondar-mandir di ruangan yang sudah disediakan khusus untuk ia sebagai sang calon pengantin wanita.

Riasan sederhana sudah terpoles di wajah ayunya. Kebaya berwarna putih tulang yang tampak elegan, kini membalut badan bersama kain batik sebagai bawahan.

Mahika tidak menyangka bahwa dia akan benar-benar menikah hari ini juga. Bersama seorang pria yang selisih delapan belas tahun jarak usia dengan dirinya. Yang bahkan belum pernah ia kenal sebelumnya.

Sepertinya ia lupa bahwa Kainan adalah orang kaya. Apa pun bisa ia lakukan, bahkan untuk sebuah pernikahan mendadak layaknya yang terjadi sekarang.

"Ini gila!" serunya tertahan. "Apa yang akan terjadi dengan hidupku setelah ini?" lanjutnya, bergumam samar. Kakinya tetap terayun ke sana dan kemari bersama tangan yang memilin ujung kebaya.

"Bodoh. Kamu sendiri yang memulai hal ini. Dan sekarang kamu menyesal?! Tidak lucu, Mahika!" cibirnya pada diri sendiri.

Perempuan itu membawa langkahnya mendekat ke arah cermin besar dan lebar yang terpasang pada salah satu sisi dinding ruangan. Di depannya terdapat meja rias, lengkap dengan berbagai macam alat make-up yang ditinggalkan oleh seseorang yang beberapa saat lalu merias wajahnya, juga membantu Mahika mengenakan pakaian.

Pemilik surai hitam panjang dan bergelombang yang kini tergelung rapi itu mendudukkan diri pada kursi single di depan meja. Menghadap ke arah cermin yang menampilkan pantulan dirinya yang nyaris tak ia kenal. Pasalnya, baru kali ini wajah Mahika terpoles dengan riasan lengkap.

Biasanya, hanya sapuan bedak bayi tipis-tipis dan olesan lip balm pada bibirlah yang ia lakukan. Itu pun sangat jarang terjadi. Mengingat pekerjaannya yang hanya seorang buruh pabrik. Dengan masker yang menutup separuh wajah sepanjang hari, ia tak memerlukan bedak ataupun lipstick.

Raut wajah pengantin dadakan ini begitu tegas menatap pantulan di dalam kaca. Satu kalimat panjang ia lontarkan seakan sedang menuturkan petuah kepada sosok lain yang terperangkap di dalam sana. Yang tak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri, Gantari Mahika.

"Kamu hanya perlu menjadi istri Kainan, sampai kamu mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu!" Mahika mengepalkan kedua tangan di pangkuan.

Niat Mahika sejak awal, yang bahkan rela mempermalukan diri dengan meminta Kainan menikahinya, adalah semata-mata karena ia tidak ingin kehilangan tanah warisan orang tua.

"Orang kaya selalu semaunya. Enak saja menyuruhku mengembalikan uang. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan nanti. Uangmu justru akan habis di tanganku. Dan ucapkan selamat tinggal kepada kehidupan serba mewah yang kamu miliki." Mahika memperkuat tekad yang sempat mengendap.

Tidak. 

Mahika tidak memiliki dendam apa pun terhadap Kainan. Perempuan ini hanya tak suka dengan gaya hidup orang kaya yang seakan bisa menaklukan segalanya menggunakan uang. Dan menurut gadis ini, Kainan adalah salah satu di antara mereka. Itulah mengapa ia tidak menyukai pria yang akan segera menjadi suaminya tersebut.

Brakk!!!

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara gaduh yang begitu mengganggu indra pendengar. Mahika pun menoleh cepat.

"Gadis bodoh! Apa yang kamu lakukan?!" Seseorang berseru dari ambang pintu ruangan. Nada bicaranya tak terlalu kencang, tetapi kentara tertahan menekan geram.

Gibran Arshaka.

Kakak kandung Gantari Mahika tersebut, berdiri dengan raut keras. Menghadap tepat ke arah sang adik yang kini berpenampilan luar biasa indah yang belum pernah dilihat oleh pria 25 tahun itu sebelumnya.

Perempuan berkebaya itu berdiri cepat dan berbalik membalas tatapan sang kakak. Kepalan di tangan masih belum terurai. Justru semakin erat hingga urat-urat tipis di sana terlihat.

"Gadis bodoh?!" Mahika mengulang perkataan saudara laki-lakinya dengan senyum kecut yang ia suguhkan.

"Dan kamu bertanya tentang apa yang aku lakukan?! Wah ... hebat sekali kamu, Shaka. Setelah mencuri semua berkas penting kepemilikan tanah punyaku, kamu menjual satu-satunya peninggalan orang tua kita kepada Kainan. Dan sekarang saat aku berupaya mendapatkan kembali apa yang menjadi hakku, kamu mengatakan bahwa aku adalah gadis bodoh?!" Mahika tidak dapat menahan emosinya.

Pertanyaan tentang bagaimana bisa Arshaka sekarang berada di dalam satu ruangan yang sama dengan dirinya, sempat melintas. Sedangkan sejak berbulan-bulan yang sudah terlewat, dia sama sekali tak mendengar kabar dari kakaknya.

Apa mungkin asisten Kainan benar-benar berusaha menghubunginya agar datang dan menjadi wali nikah untuk Mahika dengan pria pemilik Happy Company tersebut?!

Ah, benar. Bukankah belum lama mereka melakukan transaksi jual beli tanah tanpa sepengetahuan Mahika?! Pantas saja pemuda bernama Damar itu memiliki kontak Arshaka. Dan pastinya bukan hal yang sulit bagi Kainan untuk mendatangkan pria ini.

"Aku punya alasan untuk itu." Shaka menyahut tegas atas lontaran kalimat panjang Mahika yang penuh tuduhan. Pria itu membawa langkah kian dalam memasuki ruangan.

"Oh, tentu saja. Aku sangat percaya. Kamu menjual tanah untuk membayar utang-utangmu pada lintah darat?!" sarkas Mahika. Perempuan itu pun melangkah mendekat menyongsong sang kakak, tanpa sedikit pun gentar.

"Atau mungkin kamu gunakan untuk berfoya-foya dengan banyak wanita jalang di luaran sana?! Sepak terjang kamu sebagai seseorang yang gemar bermain perempuan itu sudah melekat kuat, Shaka. Dan jangan pernah mencoba untuk mengelak!" imbuh Mahika.

Tatapan tajamnya menusuk dalam, hingga membuat Arshaka nyaris tenggelam dalam luapan emosi sang adik perempuan.

"Ah, atau jangan-jangan kamu juga menjajal dunia perjudian sekarang?! Wah ... entah kenapa aku tidak heran jika memang itu benar." Mahika melipat tangan di dada.

"Itulah mengapa ayah dan ibu tidak meninggalkan apa pun untukmu. Bahkan satu-satunya tanah yang mereka punya, mereka atas namakan sebagai milikku. Seakan ayah dan ibu sudah memiliki firasat bahwa hidup mereka tak akan lama lagi kala itu, dan kamu tidak akan bisa diandalkan untuk apa pun." Kali ini sang gadis menjeda kalimatnya, dan menarik napas dalam.

"Tapi ternyata semua sia-sia. Kamu yang memang pada dasarnya sudah rusak, sekarang justru mencuri apa yang aku punya dan seenak pantat menjualnya." Perempuan itu nyaris berteriak. Sedangkan Shaka hanya menatapnya dalam diam.

"Aku tidak mau tahu. Aku tidak mau dengar apa pun alasanmu. Entah untuk membayar utang, bermain perempuan atau berjudi sekalipun. Jika kamu tidak bisa memberikan aku uang untuk aku kembalikan kepada Tuan Kainan Arshad, sekarang kamu hanya perlu menikahkan aku dengan pria itu. Setelahnya, aku bisa urus diri sendiri." Mahika berucap penuh tekanan dengan sebelah tangan memukul dada sang kakak.

Shaka terkekeh sinis. "Jadi benar?! Kamu menjual diri kepada Kainan?! Kenapa rendah sekali adikku ini?!"

Mahika menghentikan pergerakan. Tatapannya kembali terangkat, memaku lekat sepasang netra sewarna karamel serupa dengan miliknya, dengan gigi beradu pertanda geram. Hingga satu tindakan yang belum pernah Mahika lakukan kepada sang kakak sebelumnya, ia layangkan penuh amarah.

Plakk!!!

Tamparan keras dari tangan kanan Mahika, mendarat panas di pipi kiri Arshaka.

"Jaga bicaramu, Shaka. Diam saja kalau kamu tidak tahu apa yang sedang aku rencanakan!" Gadis itu berdesis geram. "Aku tebak. Kamu bahkan sudah tak punya sepeser pun uang saat ini. Apalagi untuk dikembalikan kepada Kainan. Apa aku benar?!" tambahnya.

Sejak dahulu, hubungannya dengan sang kakak memang tidak terlalu akrab. Jika bertemu, ada saja hal yang mereka pertengkarkan.

Meski begitu, sesungguhnya Shaka tidak membenci saudara perempuannya. Hanya saja, memang seperti itu cara keduanya berinteraksi dan tanpa sadar saling menyatakan kepedulian walau dengan cara yang kasar.

Mengusap pipinya perlahan bekas tamparan si adik perempuan, Shaka tersenyum merendahkan. Tawa remeh pun menjadi pengiring gelengan kepala yang ia lakukan, sebagai bentuk ketidakpahaman akan tindakan adiknya.

"Kamu boleh beranggapan bahwa aku tak berguna. Dan benar, aku memang sudah tak memiliki uang. Untuk itulah aku datang. Untuk menikahkan kamu dengan Tuan Kainan. Seperti apa yang kalian putuskan," sahut Shaka.

"Hmm ... tapi dari sini, sepertinya aku sudah bisa membaca rencanamu sekarang." Pria yang merupakan satu-satunya saudara Mahika tersebut kini mengelus dagunya sambil menelisik wajah sang adik dengan ekspresi jahilnya.

"Ini adalah misi terselubung untuk menguras harta orang itu?!" terka Shaka. "Bagus. Jika itu yang ada di kepalamu, aku akan mendukung adik cantikku ini seratus persen," imbuh Shaka dengan senyum lebar.

"Jangan ikut campur!" sergah Mahika.

Baru saja Shaka ingin membalas ucapan adiknya, sebuah suara yang berasal dari depan pintu, membuat pria itu mengurungkan niat.

"Kalian sudah selesai berbicara?! Tuan Kainan sudah menunggu." Damar berseru.

Mahika dan Arshaka pun kembali saling tatap, setelah sebelumnya menoleh bersamaan ke arah datangnya seseorang yang merupakan tangan kanan Kainan Arshad tersebut.

Shaka tersenyum samar, dan berucap penuh makna terhadap sang adik. "Selamat hari pernikahan, Adikku. Selamat menempuh hidup baru. Semoga kamu bahagia selalu, dengan apa yang sudah menjadi keputusanmu."

Meski Arshaka mengucapkan itu dengan nada sarkas yang seolah meledek adiknya, tetapi Mahika tahu ... sang kakak tulus memberikan restu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status