Share

6. Tak Sesuai Harapan

Mahika mengikuti Kainan yang berjalan di depannya. Seperti apa yang pria itu katakan, ia membawa sang istri ke rumahnya di pusat kota.

Bukan rumah besar bak istana dengan banyak pelayan yang menyambutnya, seperti dalam bayangan Mahika, justru hunian sederhana dan jauh dari kata mewah yang merupakan kediaman seorang Kainan Arshad.

"Kenapa diam? Tidak sesuai dengan harapan?!" Kainan menoleh, dan bertanya sarkas dengan sebelah alis terangkat, saat mendapati sang istri menghentikan langkah di ambang pintu dan membiarkan sepasang netra menjelajah ruang dengan pandangan.

Mahika memperbaiki ekspresi dan mengangkat dagu bersama kedua tangan yang terlipat di dada. "Apa maksudmu?!" tandasnya berani. "Aku tidak mengharapkan apa pun," lanjut si perempuan sok lugu. Ah, Mahika memang selugu itu.

"Saya tahu kamu berpikir tentang rumah besar bak istana, dengan banyak pelayan di dalamnya. Bukannya rumah kecil seperti ini. Dan kamu tahu ... yang seperti bayanganmu itu hanya ada dalam drama-drama yang kamu tonton. Tidak berlaku untuk saya," tutur Kainan datar.

Mahika menelan ludah, dan menggulirkan bola mata menghindari tatapan suaminya. 'Sialan, sebenarnya dia ini cenayang atau apa?! Kenapa selalu bisa membaca pikiranku?!' batinnya.

"Aku tidak heran. Memang ada tipe-tipe orang kaya yang pelit. Bahkan untuk dirinya sendiri. Aku rasa, kamu termasuk salah satu dari mereka. Padahal untuk membangun istana saja bisa, tapi lebih memilih tinggal di rumah kecil seperti ini. Sendirian, pula. Kasihan sekali," sinis Mahika yang kali ini memosisikan kedua tangan bertolak pinggang.

Kainan tersenyum samar, kemudian mendudukkan diri di sofa. "Bukan pelit, tetapi irit. Kamu bisa membedakan itu?! Sudahlah! Buatkan saya minuman. Masuk saja! Cari sendiri di mana dapurnya!" titah pria itu, sembari melepas dasi.

"Kenapa aku yang harus membuatkan minum? Seharusnya kamu yang menjamu aku sebagai tamu," sahut Mahika keras.

"Apa?!" Kainan menghentikan pergerakan dan memicing tak suka ke arah Mahika.

"Hei, Nona!" Kainan membiarkan dasinya tergeletak begitu saja di atas sofa setelah berhasil melepasnya. Pria itu berdiri kembali dan berjalan ke arah Mahika sambil mengurai satu per satu kancing kemeja yang dikenakan hingga memperlihatkan dada bidangnya.

Karena sang suami yang terus saja mengikis jarak, si gadis terpaksa memundurkan badan. Hingga tanpa sadar, tak ada lagi ruang untuknya bergerak. Punggung Mahika membentur dinding pada sisi pintu di belakangnya.

Tangan kanan Kainan menapak pada tembok ruangan, tepat di samping kepala sang perempuan. Seringai khas yang mulai Mahika kenal sebagai kebiasaan Kainan saat menatap dirinya, kembali menghias wajah. Perempuan itu meneguk ludah susah payah, menghadapi suaminya.

Tangan kiri sang pria perlahan mengusap pipi Mahika dengan ujung-ujung jari. Bersamaan dengan wajah yang kian tak berjarak, Mahika memejamkan mata begitu erat. Kedua tangan yang kini menggantung di sisi badan, terkepal kuat. Bibirnya ia lipat ke dalam, khawatir suaminya akan asal saja melumat tanpa persetujuan.

Namun, Mahika salah menduga.

Yang Kainan lakukan adalah berbisik kecil di telinga sang istri. "Kamu lupa, Gantari Mahika?! Kamu adalah milik saya sekarang. Saya berhak menjadikan kamu apa saja. Termasuk menjadi pelayan saya di rumah ini. Paham?!"

"Apa?!" hardik Mahika seketika, bersamaan dengan terbukanya mata dan memaku lekat tatap Kainan yang begitu dekat dengannya. "Aku istri kamu. Bukan pelayan!" tegasnya kemudian.

"Saya bukan sekadar menikahimu, Mahika. Saya membeli kamu. Kamu sendiri yang mengatakan itu. Bahwa, anggap saja saya membeli tanah beserta pemiliknya. Ingat?! Tolong jangan menjilat ludah yang sudah kamu keluarkan, Nona." Smirk di ujung bibir Kainan semakin meresahkan saat ia menarik wajahnya menjauh.

Seringai milik sang pria sungguh berbeda dengan yang kebanyakan orang tampilkan. Alih-alih tampak tajam, kejam, dan mencekam, seringai khas Kainan terlihat lembut, tetapi mematikan. Sangat halus, tetapi berbahaya.

"Kalau bukan karena memang prospek di sana bagus untuk usaha, saya tidak keberatan untuk mengembalikan tanah itu kepadamu, ingat itu! Dan jangan berpikir saya akan memberikan semua fasilitas layaknya istri konglomerat. Jika ingin uang, kamu harus bekerja. Jadi pembantu saya, misalnya." Enteng saja Kainan bicara. Wajahnya kentara sekali menghina.

"Atau ... bekerja di perusahaan saya sebagai cleaning servis?! Office girl?! Menjadi perempuan pemuas untuk saya juga boleh."

"Tuan Kainan Arshad!" bentak Mahika kesal, mendorong dada Kainan. Gadis itu tidak menyangka jika Kainan yang tampak tenang dan berwibawa dengan tata krama yang seharusnya diutamakan, bisa berbicara sebegitu asal dan jelas-jelas merendahkan dirinya.

"Kamu berani membentak saya?!" Kainan memicing tak suka.

"Ya. Memangnya kenapa?!" Sang perempuan pun menyalak tak gentar. Dagunya terangkat menantang. Dua tangan yang semula terkepal di sisi badan, kini kembali bertengger di pinggang.

Kainan terkekeh kecil dan kian merapatkan badan kembali setelah sekilas membuang pandang. Sebagai perempuan, sebenarnya tubuh Mahika sudah cukup tinggi. Namun, saat berdiri berdekatan dengan sang suami, Mahika hanya sebatas dagu si lelaki.

Kedua lengan si pria, kini mengungkungnya. Membuat Mahika tampak semakin kecil, mungil, dan tak berdaya. Perempuan itu tak bisa menghindar, saat tiba-tiba Kainan kembali menunduk, mendekatkan wajah hingga nyaris tak berjarak. Ujung hidung mancung mereka bahkan sudah bersentuhan. Tangan Mahika bergerak cepat menahan dada sang pria.

Gawat! Detak jantung Mahika menggila. Dalam jarak sedekat ini, aroma mint segar yang menguar dari tubuh Kainan, menyerang indra penciuman. Membuatnya terbius dan nyaris kehilangan kewarasan.

"Jangan sekali-kali membentak saya. Atau kamu akan tahu akibatnya," bisik Kainan dengan nada mengancam yang terdengar lembut, tetapi seram.

Hanya sekian detik, sampai Kainan kembali menarik diri dan menciptakan jarak. Namun, hal itu sudah cukup membuat istrinya tak berkutik dengan jantung yang mengentak kuat berkali-kali lipat dan tak karuan.

Melihat Mahika berkedip cepat, meneguk ludah kasar, dan tampak gelagapan, membuat Kainan senang. Acara main-mainnya yang baru saja dimulai, berjalan lancar.

'Kena kamu, Mahika!' batin Kainan.

Ketahuan sudah, jika sikap keras si perempuan hanya palsu belaka. Mahika, tak lain adalah gadis lugu yang memasang topeng bak seorang dewi perang. Kenyataannya, Kainan paham jika hal itu dilakukan sebagai bentuk perlindungan. Walau bagaimanapun, Mahika hidup seorang diri dalam keadaan miskin dan serba kekurangan. Jika ia tidak menciptakan benteng pribadi, gadis ini akan mudah ditindas oleh orang lain. Apalagi ia tinggal di kota kecil dengan tingkat kriminalitas yang tinggi.

"Aku—"

"Tolong jangan membantah, Istri Cantikku. Kerjakan tugasmu!" tegas Kainan memotong kalimat Mahika. Seringai yang semula tersuguh, hilang sudah. Berganti dengan tatapan tajam tanpa ekspresi, bersama jari-jari tangan kiri yang mengapit dagu sang istri.

Pria itu memutar badan sesaat kemudian. Menjauhi Mahika dan memasuki rumah semakin dalam, lalu tertelan sebuah pintu, yang pastinya adalah kamar milik Kainan.

"Cih! Berlagak sekali! Aku tidak takut. Dan apa-apaan tadi? Mau menjadikanku pembantu, cleaning service, office girl, bahkan perempuan pemuas?! Yang benar saja," cetusnya. 

"Tidak masalah jika hanya menjadi pembantu. Lihat saja, aku akan mencuri barang-barangmu." Mahika menggerutu.

"Ah ... itu merupakan ide bagus. Mencuri barang-barang Kainan?! Hmm ... perlu dipraktikkan." Mahika tersenyum culas.

"Kalau aku tidak bisa menjadi istri sah secara hukum negara dan tidak mendapat jatah apa-apa dari pernikahan ini nanti, siap-siap saja hartamu akan aku curi sampai setimpal dengan harga tanah orang tuaku yang kamu ambil," gumamnya, merasa bangga dengan rencana dalam kepalanya.

"Baiklah, kita mulai saja. Dia menyuruhku apa tadi?! Membuatkan minum? Tunggu saja, Tuan Kainan. Aku akan membawakan kamu racun," monolog Mahika dan berjalan ke arah Kainan pergi sebelumnya.

Perempuan itu berhenti pada ruangan dengan desain sederhana, tidak jauh berbeda dengan ruang depan. Hanya saja, di tempat ini terdapat sofa yang lebih besar dan lebar, juga televisi layar datar yang tertempel di dinding berhadapan dengan tempat duduk empuk tersebut. Dengan rangkaian speaker dan perlengkapan lainnya di sana. Dan sangat jelas, semua yang ada di ruangan yang bisa disebut sebagai home theater itu bukanlah barang-barang murah. Keseluruhan tampak elegan dan berkelas.

"Wow. Lumayan juga kalau benda-benda itu aku jual. Lihat saja, Tuan Kainan. Kalau kamu pergi, aku habiskan barang-barangmu nanti," desisnya geram.

"Okay. Sekarang ayo cari dapurnya, Mahika. Jangan sentuh kompor atau apa pun itu yang bisa menimbulkan api. Cari aman saja, kamu hanya perlu mengambilkan Kainan air dingin." Perempuan itu berbicara dengan diri sendiri dan melanjutkan langkahnya menuju dapur yang  ternyata berada di belakang ruangan di mana dia berada saat ini.

Lemari pendingin berukuran besar, adalah tujuannya. "Cukup air dingin saja, bukan?! Racunnya akan aku siapkan lain kali. Kasihan kalau baru hari pertama menikah denganku, dia langsung mati," gumamnya seraya membuka kulkas.

"Wow! Lengkap sekali isinya," seru Mahika takjub. Di tempat tinggal sebelumnya, Mahika tidak memiliki benda seperti ini. Dulu sekali, tentu ia punya. Saat orang tuanya masih ada. Namun, selepas mereka meninggal dunia dalam kebakaran hebat yang melalap habis rumahnya, Mahika tak lagi memiliki apa-apa.

Bukannya segera mengambilkan minuman untuk Kainan, Mahika justru terjatuh dalam lamunan. Jika saja orang tuanya masih ada, pasti nasibnya tidak demikian. Sang kakak pun keterlaluan. Meninggalkan dirinya untuk hidup sendiri tanpa pengawasan. Beruntung, dengan berbekal ijazah Sekolah Menengah Atas, Mahika bisa mendapatkan pekerjaan. Meski begitu, uang gaji dengan bekerja sebagai buruh pabrik, hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Pernah ia memiliki kekasih, tetapi pergi begitu saja tanpa ada kabar berita. Ya, namanya juga cinta anak remaja yang belum matang. Belum memikirkan masa depan. Mahika sudah merelakan kisah kasihnya kandas di tengah jalan tanpa kepastian.

Karena sibuk dengan lamunan, Mahika tak menyadari Kainan yang memasuki dapur. Pria itu sudah tampak segar dengan rambut basah. Setelan kerjanya, kini berganti kaus berwarna putih lengan pendek yang terlihat santai dan celana training hitam yang menjadi bawahan. Pria itu baru saja membersihkan diri di kamar mandi dalam ruangan pribadinya.

Melihat Mahika yang terdiam, Kainan berniat mengejutkan. Namun, ia urungkan. Dan memilih membuka salah satu laci pada kabinet dapur, mencari mie instan untuk ia masak guna mengganjal perut yang tengah dilanda lapar. Dalam perjalanan tadi, Kainan tidak berselera untuk membawa sang istri mampir ke restoran. Sekarang pun ia bermaksud membuat makanan satu porsi saja.

Lalu bagaimana dengan Mahika?!

Kainan tidak peduli. Biarkan perempuan itu mengurus dirinya sendiri.

Dengan masih sesekali melirik sang istri, pria itu meletakkan satu bungkus mie instan yang ia ambil, di samping kompor. Sementara tangan kirinya meraih panci pada rak, tangan kanannya menyalakan api.

Ctak!!!

Bunyi knop pemantik yang ditekan dan diputar itu mengejutkan Mahika. Si perempuan menoleh cepat, dan seketika tubuhnya bergetar hebat melihat api yang muncul di atas kompor yang baru saja dinyalakan oleh Kainan. Mahika berteriak kuat dan tanpa sadar menubruk badan suaminya. Membenamkan wajah dalam dada bidang Kainan dan menangis kencang.

Panci di tangan Kainan bahkan terjatuh saking terkejutnya. Menimbulkan bunyi 'klontang' yang begitu mengganggu pendengaran. Meski belum paham apa yang terjadi sebenarnya, pria itu merengkuh tubuh sang istri dan mengusap punggungnya menenangkan.

"Tenang, Mahika. Saya di sini. Ada apa? Katakan sesuatu!" ucap Kainan sedikit gugup.

Gadis dalam pelukan, tidak merespon. Teriakan demi teriakan Mahika keluarkan dengan badan bergetar ketakutan. Semakin lama, Kainan merasa berat badan Mahika sepenuhnya bertumpu padanya. Raung tangis pun tak lagi terdengar. Hanya menyisakan isakan kecil sesenggukan, yang perlahan menghilang.

"Mahika! Kamu dengar saya? Mahika!"

Dan tubuh Mahika meluruh begitu saja. Beruntung Kainan dengan sigap menahan, dan mengangkat raga itu ke dalam gendongan. Dengan cepat, Kainan membawa sang istri ke kamar. Tanpa lupa menyambar knop kompor untuk mematikan apinya terlebih dahulu.

Mahika tak sadarkan diri, oleh sebab yang belum Kainan ketahui. Pria itu berpikir akan mengerjai Mahika sepanjang hari sebelum memulai aktivitas kembali di perusahaan esok nanti.

Namun ternyata, semua tak sesuai dengan harapan. Kini, Mahika justru jatuh pingsan, bahkan sebelum Kainan puas mengerjainya.

Ada apa sebenarnya?! Apa yang terjadi dengan Mahika?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status