Pagi ini Aira bangun dengan kepala pening dan tubuh menggigil. Kehujanan semalam mengakibatkan ia demam. Apa yang Shin khawatirkan terjadi.
Padahal hari ini Aira ada jadwal ke penerbit mengecek novel sedang proses terbit. Awal bulan seperti ini ia akan sangat sibuk. Selain menjadi penulis, Aira juga harus ke panti jompo. Sudah sejak beberapa tahun lalu ia menjadi relawan di sana.
Tumbuh dan besar tanpa orang tua, membuat Aira teramat merindukan sosok keduanya. Di panti jompo itulah ia melepas rindu meski mereka yang di sana bukan orang tua kandungnya, akan tetapi mereka menyayangi Aira seperti putri mereka sendiri.
"Aira, ini sudah siang dan masih berselimut?"
Mia masuk dan menyibak selimut Aira. Membuat gadis cantik itu menarik lagi selimutnya hingga mencapai dada.
"Hei, kau kenapa?"
Mia nemempelkan punggung tangan di dahi Aira. "Kau demam, Ai. Tunggu aku ambilkan sarapan dan obat."
Namun, baru saja Mia mau keluar
Shin terhanyut dalam alur cerita yang disuguhkan sang novelis. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan sepuluh menit menekuri bacaannya.Shin menutup novel itu dan mengembuskan napas lewat mulut. Ia seperti baru saja dibawa ke sebuah cerita yang seolah-olah tokoh dalam cerita itu adalah dirinya sendiri. Shin pun tidak tahu mengapa ia bisa merasa seperti itu."Dok, ada pasien mau membersihkan karang gigi," ujar Nurse Nara sopan."Baik, sebenar."Shin meninggalkan novel itu di meja. Ia merasa akhir-akhirnya pikirannya tidak stabil. Mimpi menakutkan itu lebih kerap hadir, menerornya sepanjang malam. Namun, Shin tidak akan lagi membiarkan dirinya terjebak pada berbagai pertanyaan yang serupa teka-teki.Ia akan mencoba mengurai dan menemukan benang merah atas kegelisahannya. Bermula sejak ia bertemu Aira, maka Shin akan meminta gadis itu jujur apa mungkin di masa lalu mereka saling mengenal.Shin mulai menyadari satu hal, jika ia dan Aira sama-sama be
Shin?" ujar Mia setelah dapat menguasai diri. Dia tidak menyangka jika Shin yang berdiri di depannya sekarang sama dengan Shin yang dulu pernah tinggal di panti ini. Penampilan Shin jauh berubah. Sekarang lebih borjuis dan tampan sekali. Agaknya Shin hidup dengan baik di luar sana. Namun, meski sekarang Shin sudah sukses seperti yang pernah Aira ceritakan, bukan alasan pemuda itu mencampakkan Aira. Mia akan memberitahu Shin kebenarannya dan membuat dokter itu sadar jika dia adalah pelindung Aira. "Shin, ada perlu apa kemari?" ujar Aira masih berdiri di sisi Mia. "Oh, maaf, aku belum mencuci jaketmu jika kau ingin mengambilnya." Aira tersipu ketika menyadari Shin sedang menatapnya lekat. Tatapan itu masih sama seperti itu, bedanya sekarang tidak ada lagi pijar yang biasa Shin tampilkan saat mereka berdua saja. "Ada yang ingin aku tanyakan. Duduklah dulu." Aira dan Mia saling pandang, lalu mereka mengambil tempat duduk
Shin melesat secepat anak panah lepas dari busur menghampiri Aira. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika menyaksikan darah dan luka di tubuh Aira. Shin meraba nadi Aira dan bersyukur Aira masih ada. Dengan sigap ia menggendong Aira membawa ke mobilnya diikuti Mia yang histeris. "Ai ... Aira buka matamu!" Mia mengekori Shin dengan berurai air mata. Menyaksikan Aira sekarat seperti itu, seolah ruhnya tercabut dari tubuh. Selama puluhan tahun mereka tumbuh dan hidup bersama. Tak terbayangkan jika Aira harus meningalkannya. Mia harus bagaimana jika tanpa Aira? "Tolong selamatkan Aira, Shin. Aku tidak mau tahu. Kau kan dokter," ujar Mia di sela-sela tangisnya. Shin menoleh, lalu meminta Mia naik lebih dulu kemudian meletakkan tubuh Aira yang bersimbah darah ke pangkuan Mia. Shin merapal doa agar Aira bisa bertahan sampai mereka tiba di rumah sakit. "Tenanglah. Berdoa agar Aira bisa selamat." Mendengar itu tang
Setelah Aira dipindahkan ke ruang perawatan, Shin bergegas menemui gadis itu. Beruntung Aira tidak mengalami luka serius dan nyawanya dapat diselamatkan. Tak terbayang jika seandainya Aira tidak bisa tertolong. Shin pasti akan sangat merasa bersalah dan menyesal. Shin mendorong pintu, dan mencelos akan pemandangan di depannya. Shin menyeret langkah, tatapannya terkunci pada wajah pucat Aira dengan perban melilit kepala. Luka jahitan di tangan dan kaki gadis itu menambah peri hati Shin. Entah kenapa dokter tampan itu seakan tidak rela Aira terluka, meski seujung kuku. Aira tergolek lemah beserta infus melekat dan mata yang tak kunjung terbuka. Ada dorongan kuat dalam diri pemuda itu untuk merengkuh dan menyalurkan kekuatan pada Aira, namun di saat yang bersamaan ia ditampar kenyataan. Ia dan Aira bukan siapa-siapa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu dan Shin yang terobsesi pada gadis itu hingga membawanya sampai sejauh ini. Shin mencoba menyelami perasaan dan ingin
Mengikuti saran Alika, Shin pergi ke loker mengambil baju ganti dan beranjak ke kamar mandi. Sepeninggal Shin, Alika tercenung, masih di ruangan dokter tampan itu. Perasaan Alika mengatakan bahwa Shin sedang menyimpan sesuatu darinya. Entah gerangan apa yang coba suaminya itu pendam seorang diri. Sungguh, Alika ingin Shin berbagi kepadanya. Bukankah itu yang mereka lakukan dua tahun ini. Bukan saja sebagai pasangan suami istri, mereka juga rekan kerja. Alika dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka. Tampak di sana Shin menguak pintu dan sudah berganti baju. Rambut bagian depan lelaki itu basah. Ekspresi wajahnya masih sama seperti saat lekaki itu keluar tadi. "Shin, mari kita bicara." Alika tersenyum kepada Shin, lalu mengamit lengan Shin. Shin duduk di sisi Alika, namun tidak bicara apa-apa. Ia sedang tidak fokus. Pikirannya sepenuhnya dikuasai oleh Aira. Bagaimana sekarang keadaan Aira, apakah sudah membuka mata? Hal itu menimbulkan ketidaknyamanan. Suatu dorongan besar dal
Ia takut, takut sekali jika Aira pergi meninggalkannya. Sudah cukup kedua orang tuanya, di dunia ini, Mia hanya memiliki Aira. Aira yang selalu ada untuknya setiap saat. Wajah dan hati Aira serupa malaikat. Oleh karena itu, Mia tidak rela siapa pun menyakiti Aira, termasuk Shin. Jika dulu ia mendukung hubungan mereka, kini tidak lagi. Mia benci kenyataan Shin yang mengkhianati janji dan menikahi gadis lain. Parahnya lagi, Shin bahkan melupakan Aira. Sosok yang mencintai lelaki itu, dengan cinta yang luarbiasa. "Aku mau minum," ujar Aira dengan suara agak serak. "Tunggu sebentar." Mia meraih segelas air dari atas meja, memberikan ke Aira dengan hati-hati. Aira meminumnya hingga menyisakan separuh. Tenggorokannya terasa kering kerontang. Ia menjauhkan bibirnya ketika merasa cukup. "Makasih, Mia." "Tidak masalah. Aku sudah menghubungi panti dan mengabarkan kondisimu. Kau tidak usah khawatir, Ai. Sekarang yang harus kau lakukan adalah lekas pulih. Tolong jangan sakit lagi. Itu seper
Alika mendekati ranjang tempat Aira dirawat. Dokter cantik itu tersenyum dan menampilkam kedua lesung pipinya. "Bagaimana keadaanmu? Kenalkan aku Alika." Alika mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Aira."Sekarang sudah lebih baik. Saya Aira. Senang Anda kemari, Dok," ujar Aira mencoba menepikan rasa cemburu yang terus mengusiknya sejak kemunculan Alika tadi.Aira tidak bisa tidak merasakan perasaan itu yang membakar seluruh tubuhmya saat ia menyadari jika Alika telah merebut posisinya di hati Shin.Hatinya remuk. Aira ingin berteriak dan mengatakan mengapa? Mengapa ia harus merasakan ini semua?Namun tanpa Aira sadari, Alika pun merasakan hal serup. Dalam hati Alika mengatakan, pantas saja Shin bertingkah seperti itu akhir-akhir ini lebih sering menampakkan emosinya. Sepanjang ia mengenal dokter gigi itu, baru beberapa waktu ini Shin seperti merasakan gejolak tidak biasa.Aira sangat cantik. Bahkan kecantikan gadis itu langka karena dia serupa peri dalam dongeng. Tanpa pole
Hari ini Aira sudah dibolehkan pulang. Ketika ia sedang bersiap-siap dibantu Mia, Shin masuk ke kamar di mana tiga hari ini Aira dirawat akibat kecelakaan waktu itu.Mia yang sedang melipat selimut, menghentikan gerakan tangannya. Ia melirik Shin sekilas, lalu melengos. Sedangkan Aira berusaha merapikan kerudungnys cepat. Tangannya masih terasa sakit sebab luka itu belum pulih sepenuhnya.Shin dengan segala pesona dan damagenya yang tidak main-main mendekati tempat tidur Aira.Wajah tampan dengan snelli melekat di tubuh tinggi pemuda itu sungguh aura yang sulit ditolak.Visual Shin Shin seakan tidak nyata. Ini jenis ketampanan yang sangat tidak biasa. Aira kadang masih bertanya-tanya apakah Shin benar-benar nyata atau ia sedang mengalami delusi.Siapa yang tidak tertarik dan jatuh hati jika dihadapkan pada lelaki berwajah malaikat ini."Pagi."Shin lebih dulu menyapa kedua gadis itu. Ia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia baru saja tiba di rumah sakit, langsung mene