Setelah Fuad berangkat, Sofia segera membereskan piring bekas sarapan tadi dan mencucinya di wastafel. Dilanjutkan dengan membersihkan rumah, mulai dari menyapu lantai lalu mengepel untuk menghilangkan debu yang masih tersisa.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai Sofia segera mandi dan bersiap-siap untuk belanja bahan-bahan untuk membuat brownis. Sofia masih belum tahu toko bahan kue di sekitar sini jadi ia berencana untuk bertanya kepada Ranti. Sekalian membeli gula dan telur di warungnya.
Sofia mengeluarkan motor matic miliknya dan berkendara dengan santai sampai di warung Ranti. Di warung tampak seorang bapak paruh baya yang sedang dilayani oleh Ranti. Setelah bapak tersebut pergi sekarang giliran Sofia untuk berbelanja.
“Mbak Ranti beli Gula tiga kilo dan telur dua kilo ya.” Sofia menyebutkan barang yang akan dibeli pada Ranti. Dengan cekatan Ranti segera mengambil barang yang disebutkan Sofia.
“Apalagi, Mbak Sofia?” tanya Ranti setelah selesai mengambil barang yang diminta Sofia.
“Sudah itu dulu, Mbak Ranti. Oh ya, aku mau tanya. Toko bahan kue di dekat sini dimana ya?”
“Setahuku toko yang paling besar itu di dekat Pasar Waru. Di sana barangnya cukup lengkap dan harganya murah. Memang mau beli apa Mbak?”
“Mau beli bahan-bahan untuk bikin brownis Mbak. Nanti rencananya mau dibagi-bagi ke tetangga sekalian kenalan sebagai warga baru. Nanti kalau sudah matang Mbak Ranti juga dapat kok.”
“Asyik ... beneran nih? Aku tunggu loh, Mbak brownisnya. Oh iya kemarin bagaimana di rumah baru, Mbak? Aman, tenang dan terkendali kan?”
Sofia langsung teringat dengan suara aneh yang didengarnya kemarin. Juga tentang Lidya, tetangga sebelah rumah yang dibicarakan Bu Lisa dan Bu Tari pagi ini. Ia langsung teringat dengan niatnya untuk bertanya pada Ranti tadi pagi.
“Ehmm ... Mbak Ranti tahu masalah suara-suara ribut kemarin?” tanya Sofia ragu. Dia bingung harus mulai bertanya dari mana.
“Halah ... seluruh kompleks ini sudah tahu masalah itu Mbak. Bukan rahasia lagi, semua sudah terbiasa dengan keributan di rumah Mbak Lidya. Jadi ya gitu deh, sepertinya mereka sudah bosan dan masa bodo dengan keluarga itu.”
“Memangnya ada apa sih Mbak, kok sampai ribut-ribut? Tadi pagi pas belanja sayur kulihat wajah Mbak Lidya lebam dan bibirnya juga kayak sobek.”
“Wah pasti habis kena tonjok suaminya lagi. Parah banget ya mukanya Mbak Lidya?” Ranti malah bertanya balik.
“Yah lumayan, Mbak. Tadi aku hanya melihat sekilas. Soalnya dia lebih banyak menunduk tadi. Memang apa yang terjadi, Mbak? ” jawab Sofia jujur.
“Ya gitu deh, Mbak. Hampir tiap hari Mbak Lidya dan suaminya itu bertengkar. Terus kalau sudah bertengkar itu main fisik, banting-banting barang pokoknya ramelah. Sampai anak-anaknya ketakutan melihat kedua orang tuanya bertengkar.”
“Apa nggak ada yang menegur atau bantu melerai mereka gitu, Mbak?” tanya Sofia hati-hati.
“Aduh ... Kalau masalah itu jangan ditanya lagi Mbak, sudah bosan. Diperingatkan juga ntar besok begitu lagi. Akhirnya ya dibiarkan saja. Sebenarnya kasihan sih sama anak-anaknya yang masih kecil. Tapi ya mau bagaimana lagi, orang tuanya saja dikasih tahu tetap begitu. Sudah begitu, Mbak Lidya juga nggak kapok loh. Meskipun sering kali dipukuli sampai lebam seperti itu kok masih bertahan dengan suaminya. Padahal banyak yang menyarankan padanya agar bercerai saja tapi nggak didengar. Kalau aku jadi Mbak Lidya sudah minta cerai dari dulu. Ihhh ... amit-amit punya suami kayak gitu. Padahal Mbak Lidya itu aslinya baik banget loh.” Mbak Ranti sangat bersemangat saat bercerita.
Sofia hanya mangut-mangut mendengarkan penjelasan Ranti. Dia masih belum tahu masalah yang sebenarnya terjadi. Jadi dia tidak mau menelan begitu saja semua informasi yang diterimanya. Terkadang Lo info yang beredar di lingkungan tetangga sudah bertambah dengan bumbu-bumbu tambahan agar lebih seru, katanya.
Sofia segera undur diri saat ada pembeli lain yang datang. Dia segera berangkat ke toko bahan kue agar tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Masih ada banyak pekerjaan yanv menunggunya di rumah. Ia harus segera belanja dan memasak kuenya agar cepat matang. Lalu silaturahmi ke tetangga. Bagaimanapun butuh waktu cukup lama untuk membuat brownis yang cukup banyak untuk para tetangga. Gegas Sofia melajukan motor menuju Pasar Waru untuk mencari toko bahan kue yang disebutkan Ranti sebelumnya.
Setelah memarkir motor, Sofia segera berjalan dengan membawa tas belanjanya. Tiba-tiba dua orang anak kecil mendatanginya dengan menodongkan gelas plastik ke hadapannya.
“Kak, minta kak. Belum makan dari tadi pagi,” ucap seorang anak laki-laki yang lebih besar. Sofia taksir anak itu berusia tujuh tahunan.
“Iya, Kak. Kasihani kami. Belum makan dari tadi pagi. Kami lapar,” sahut anak perempuan yang lebih kecil. Usianya sekitar empat tahun dengan rambut sebahu yang awut-awutan dan baju yang lusuh.
“Kalian belum makan? Lapar ya, ikut Kakak yuk.” Sofia tersenyum dan mengajak kedua anak itu untuk membelikannya makanan. Sofia lebih suka memberikan barang atau makanan daripada memberikan uang yang sering kali disalahgunakan untuk hal yang lain.
Kedua anak itu dengan semangat mengikuti Sofia ke warung makan terdekat yang ditemukannya. Sofia memesan dua porsi nasi campur dengan lauk ayam goreng untuk kedua anak tersebut. Begitu pesanan sampai kedua anak tersebut langsung makan dengan lahap.
“Pelan-pelan saja makannya, nanti tersedak. Kalau kurang nanti Kakak pesankan lagi.” Sofia tersenyum melihat kedua anak itu makan dengan lahap dan terburu-buru. Sepertinya mereka benar-benar kelaparan. Didekatkan es jeruk yang baru diantar ke dekat anak-anak, yang langsung diambil oleh anak perempuan itu.
“Nama kalian siapa? Umurnya berapa?” tanya Sofia lembut.
“Aku Azzam kak, tujuh tahun. Ini adikku Azizah lima tahun,” jawab anak laki-laki itu dengan mulut penuh makanan.
“Apa kalian tidak bersekolah?”
Kedua anak itu hanya menggeleng dan meneruskan makan dengan lahap. Sofia merasa trenyuh melihat perilaku kedua anak tersebut. Andai saja ia tidak kehilangan janin yang dikandungnya, mungkin anaknya sudah seusia kedua anak di depannya saat ini.
Sofia pernah keguguran dua kali selama menjalani delapan tahun pernikahan dengan Fuad. Pertama tujuh tahun lalu, saat itu ia masih aktif bekerja. Setelah keguguran suaminya meminta Sofia untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus di rumah saja. Namun, Sofia menolak. Dia beralasan akan merasa bosan dan kebingungan karena harus di rumah tanpa kegiatan apa pun.
Kehamilan kedua terjadi sekitar empat atau lima tahun lalu. Saat itu Fuad meminta Sofia untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan fokus pada kehamilan. Sofia menurut kali ini, mengingat pengalaman sebelumnya. Dia berhenti kerja dan di rumah untuk menjaga kehamilannya. Namun sepertinya takdir berkata lain. Sofia harus kehilangan janin yang dikandung lagi di usia kehamilan tiga bulan.
Sofia benar-benar terpukul dan merasa bersalah karena tidak becus menjaga kehamilan sehingga harus kehilangan calon buah hati lagi. Perlu waktu berbulan-bulan bagi Fuad untuk menghibur Sofia agar ceria kembali. Sebelum akhirnya Sofia menerima semuanya sebagai takdir dan tidak menyalahkan diri lagi.
“Azzam, Azizah, Sini!” Terdengar teriakan dari kejauhan memanggil nama kedua anak yang sedang makan di depan Sofia. Membuat lamunan Sofia langsung buyar seketika. Suara yang terasa tidak asing dan pernah di dengar Sofia di suatu tempat. Wanita berparas ayu itu mencoba mengingat-ingat dimana dia mendengar suara itu. Namun, memori ingatannya belum menjangkau dengan baik sehingga dia masih belum bisa mengingatnya.
Kedua anak itu segera berdiri setelah mendengar namanya di panggil. Tak lupa mereka berterima kasih kepada Sofia atas makanan yang diberikan. Sofia segera mengambil dua lembar uang berwarna biru dan memberikan kepada Azzam dan Azizah. Mata kedua anak itu terlihat berbinar-binar saat menerima uang pemberian Sofia. Dari mulut kecil mereka terdengar ucapan terima kasih berulang kali membuat wanita berkulit kuning langsat itu merasa bahagia bisa memberikan kebahagiaan kecil kepada dua anak itu.
Setelah kedua anak itu pergi Sofia melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda tadi. Gegas dia berjalan ke toko bahan kue dan membeli semua bahan yang dibutuhkan. Setelah semua bahan terbeli, ia langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Sofia teringat lagi dengan kedua anak yang ditemuinya tadi. Suara pria tadi benar-benar tidak asing di telinganya. Ia yakin pernah mendengarnya di suatu tempat tapi lupa dimana.
Saat berhenti di depan lampu merah tiba-tiba Sofia teringat dimana ia mendengar suara pria itu. Ya, suara teriakan dan keributan yang kemarin terdengar dari rumah sebelah. Suara itu sangat mirip dengan teriakan-teriakan yang kemarin didengarnya saat Fuad keluar.
Sofia menggelengkan kepala ragu. Jika benar pemilik suara itu orang yang sama, bukankah itu berarti pria itu adalah tetangganya dan kedua anak itu juga. Sofia mencoba menepis semua prasangka yang muncul di benaknya.
“Mungkin suara mereka hanya mirip. Bukankah banyak suara yang mirip di dunia ini,” pikir Sofia sambil menjalankan motor kembali saat lampu hijau menyala.
Sofia sudah selesai memanggang semua adonan brownis. Kali ini dia membuat cukup banyak untuk dibagi-bagikan sekaligus berkenalan dengan tetangga sekitar rumah. Brownis yang baru saja dikeluarkan dari oven, didiamkan agar dingin terlebih dahulu. Baru dikemas ke dalam kardus yang sudah dibeli di pasar tadi.Sembari menunggu brownis dingin, Sofia membereskan peralatan kotor untuk dicuci. Ia memang selalu membersihkan langsung perkakas kotor yang baru saja digunakan untuk memasak karena tidak suka melihat barang-barang yang kotor dan berantakan. Jiwanya tergelitik untuk segera membersihkan dan membereskannya setiap kali melihat barang-barang yang berserakan atau tidak tersimpan pada tempatnya.Selesai mencuci, Sofia memeriksa brownis apakah sudah dingin. Setelah dirasa cukup dingin, Sofia memasukkan brownis ke dalam kardus yang sudah disiapkan. Lalu dimasukkan dalam tas plastik agar lebih mudah saat membawa.
Sofia berencana pergi ke rumah Ranti terlebih dulu sebelum ke rumah Lidya yang lebih dekat dengan rumahnya. Dia berjalan cukup cepat agar segera sampai tempat tujuan. Saat sampai di warung Ranti, terlihat beberapa pembeli yang antre untuk dilayani. Melihat Ranti yang sedang sibuk, ia akhirnya langsung menyerahkan brownis pada Ranti yang saat itu sedang melayani salah satu pembeli tanpa mampir atau singgah terlebih dulu.“Biarlah, mengobrolnya kapan-kapan saja. Lagi pula aku juga sedang terburu-buru saat ini,” pikir Sofia sembari berpamitan pada Ranti setelah menyerahkan brownis yang ia janjikan tadi pagi.“Wah, beneran dikasih ternyata. Terima kasih ya, Mbak Sofia,” sambut Ranti dengan sukacita saat menerima brownis dari Sofia. Senyum yang lebar mengembang di wajahnya yang terlihat semringah.Setelah Sofia pergi Ranti kembali melayani pembeli satunya dengan cekatan. Meskipun terlihat kecil dari luar, tapi warung milik Ranti
Teriakan-teriakan itu masih berlangsung saat Sofia sampai di rumahnya. Kali ini diikuti beberapa barang yang tampak di banting. Sofia hanya mondar-mandir di ruang tamunya. Sesekali dia mengintip keluar untuk melihat apakah suaminya, Fuad sudah sampai.Sofia tidak bisa duduk di kursi dengan tenang dan memilih berjalan keluar untuk menunggu Fuad di halaman. Dari luar rumah suara teriakan dan keributan di rumah sebelah terdengar lebih jelas. Terdengar tangisan Azalea disela teriakan Lidya dan Pram. Bayi kecil itu sepertinya merasa ketakutan melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat.Pintu rumah Lidya terbuka, Azzam dan Azizah berlari keluar dengan terburu-buru. Azizah sampai terjatuh karena kakinya menyandung batu. Azzam segera menolong adiknya untuk berdiri.Sofia melihat kedua anak itu dengan rasa iba. Keduanya membuka pintu pagar dan berlari kecil di jalan. Saat melewati depan rumah Sofia, wanita itu memanggil keduanya dengan melambaikan tangannya.&ldq
“Mas, suara inilah yang kuceritakan padamu kemarin. Aku mendengarnya saat kamu pergi ke rumah pak RT,” jelas Sofia pada Fuad begitu keduanya tiba di kamar.Sofia merasa tidak enak bila harus membahas hal ini di depan Azzam dan Azizah. Mengingat pembicaraan ini berkaitan dengan kedua orang tua mereka. Setelah menaruh tas kerja Fuad pada tempatnya ia mulai menceritakan semua hal yang diketahui setelah mengumpulkan informasi sepotong-sepotong dari tetangga yang ditemui hari ini. Ia rangkai semua dan menceritakan kesimpulannya kepada Fuad.Fuad mendengarkan secara saksama tanpa memotong atau bertanya sebelum Sofia selesai bercerita. Ia tampak kaget setelah mendengar keseluruhan cerita yang disampaikan istrinya.“Astagfirullah ... jadi maksudmu kedua anak itu disiksa oleh orang tuanya dan dimanfaatkan untuk mencari uang?” tanya Fuad dengan gusar. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan setelah mengembuskan nafas kasar.“Aku masih be
Sofia dan Fuad kini duduk berhadapan dengan Lidya yang sedang memangku Lea di ruang tamu. Wajahnya kini dibiarkan terbuka, tidak ditutup lagi. Ia pikir percuma menutupinya lagi, toh mereka berdua sudah melihat tadi.Lidya tampak kikuk, memilih untuk menunduk dalam-dalam karena diperhatikan oleh Fuad dan Sofia dengan saksama. Fuad bahkan tidak berkedip selama beberapa saat sampai tepukan lembut Sofia di bahunya menyadarkannya.“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanya Fuad memecah keheningan.“Seperti yang kamu lihat, Mas. Kondisiku sangat buruk. Mungkin aku sedang di hukum oleh tuhan atas perbuatanku padamu dan keluargaku dulu.” Lidya menunduk lagi setelah menatap Fuad sejenak.Terlihat raut wajah menyesal yang tak bisa diungkapkan lewat kata hanya tampak lewat tatapan mata dan perilakunya saja. Lidya merasa sangat malu, bahkan untuk memandang Fuad pun tak mampu sehingga memilih menunduk lagi.Sebelum menikah dengan Sofia, Lidya a
“Sebenarnya ini baru terjadi beberapa bulan terakhir, Mas. Awalnya dia baik, sangat baik. Bahkan tidak segan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Namun semua berubah setelah aku melahirkan Lea. Anakku yang ketiga.” Lidya mulai bercerita setelah tangisnya reda.“Saat melahirkan Lea, aku terkena preeklampsi dan harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Selama dirawat di rumah sakit Mas Pram selalu sabar menunggu dan merawatku. Bahkan dia mengabaikan semua pekerjaan dan menyerahkan tempat usaha kami untuk dikelola oleh orang kepercayaannya. Namun, ia dikhianati. Beberapa tempat usaha kami mulai mengalami kerugian sampai akhirnya bangkrut dan usaha terpaksa ditutup.” Lidya menarik nafas panjang, mengusap ujung hidungnya dan menatap Fuad tanpa berkedip.“Hanya tinggal satu tempat yang tersisa setelah dipertahankan Mas Pram dengan usaha semaksimal mungkin. Namun, tempat itu akhirnya terpaksa harus ditutup juga karena modal kami yang tida
Sofia dan Fuad pulang berjalan kaki dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali Sofia melirik Fuad yang berjalan di sampingnya. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Terlihat kerutan di keningnya saat ia berpikir serius.Sofia hafal dengan watak suaminya yang memilih diam saat sedang berpikir. Ia tidak mau mengganggu, ingin memberikan waktu pada Fuad yang masih terlihat kaget melihat calon istrinya dulu menjadi tetangga sebelah rumahnya. Ditambah lagi kondisinya cukup mengenaskan, dengan wajah penuh luka dan lebam akibat kekerasan yang dilakukan suaminya.Sesampainya di rumah Fuad masih terdiam selama beberapa saat. Namun, Sofia menunggu dengan sabar di sebelahnya sambil berpura-pura memainkan ponsel. Ia menunggu Fuad membahas tentang kejadian barusan.“Dek ...,” panggil Fuad pelan.“Iya. Ada apa, Mas?” Sofia meletakkan ponsel di atas meja.“Aku ingin bertanya padamu mengenai Lidya. Se
Pagi itu Lidya terbangun kesiangan karena tidak bisa tidur semalam. Saat terbangun, Pram sudah tidak ada di sebelahnya. Ia langsung berdiri dan keluar kamar setelah melihat Lea masih tidur pulas di atas kasur. Jam di dinding menunjuk pukul 06.30 pagi.Azzam dan Azizah sudah siap untuk berangkat ke sekolah dengan memakai seragam sekolah dan membawa tas masing-masing. Pram juga sudah terlihat rapi, bersiap untuk mengantar mereka berdua sekolah sebelum pergi mengojek.“Sayang ... maaf aku bangun kesiangan. Bagaimana dengan sarapannya?” ucap Lidya saat melihat Pram memakai jaket.“Nggak papa. Aku dan anak-anak akan membeli sarapan di jalan nanti. Tidurlah lagi kalau kamu masih mengantuk.” Pram sudah selesai bersiap-siap, “Azzam, Azizah. Ayo berangkat. Pamit dulu sama Mama.”Azzam dan Azizah berpamitan pada Lidya dengan mencium tangannya. Lalu berjalan keluar rumah mengikuti Pram yang akan mengantarkan mereka berangkat