Pagi itu Sofia menunggu tukang sayur yang lewat. Menurut Ranti kemarin biasanya pukul enam pagi ada mang Udin, penjual sayur langganan ibu-ibu di lingkungan ini yang biasa memasak pagi. Ada lagi kang Asep yang lewat agak siang saat pukul sepuluh pagi. Biasanya ibu-ibu yang terlewat belanja pada mang Udin akan belanja pada kang Asep. Yang terakhir ada penjual sayur yang lewat sore hari sekitar pukul empat, namanya Bu Minah. Biasanya ibu-ibu pekerja yang harus masak pagi-pagi sekali akan berbelanja ke Bu Minah. Kemarin Sofia tidak melihatnya, mungkin Bu Minah lewat saat dia keluar untuk cari makan diluar.
“Sayur ... yuk yang mau belanja sayur.”
Terdengar suara mang Udin menawarkan dagangannya.
Sofia segera memakai kerudung dan membawa dompet yang sudah disiapkannya sejak tadi. Fuad sedang asyik menonton televisi, kegiatan rutin yang biasa dilakukannya sebelum bersiap-siap pergi ke kantor.
Saat tiba diluar terlihat beberapa ibu-ibu yang sudah merubungi mang Udin. Ada yang sedang memilih sayuran, ada juga yang sudah membayar belanjaannya. Begitu Sofia tiba, seorang ibu berambut sebahu menyapa Sofia.
“Mbaknya baru ya, kok belum pernah lihat,” sapa ibu berambut sebahu tersebut.
“Iya, Bu. Aku baru pindah kemarin. Perkenalkan namaku Sofia yang menempati rumah berpagar kuning itu.” Sofia menunjuk rumahnya, lalu tersenyum dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Perempuan berambut sebahu yang mengenakan daster itu menyambut uluran tangan Sofia dan tersenyum.
“Oh rumah kosong disamping rumah Mbak Lidya. Semoga betah ya. Aku Lisa. panggil saja Bu Lisa. Rumahku yang itu." Bu Lisa menunjuk rumah berpagar besi tepat di samping kanan rumah Sofia.
“Wah, tetangga dekat berarti. Salam kenal ya, Bu. Semoga kita bisa menjadi tetangga baik," sahut Sofia ramah setelah tahu Bu Lisa ternyata tetangga yang tinggal di samping rumah.
“Iya. Oh iya kemarin gimana, Mbak? Dengar suara-suara aneh nggak dari rumah sebelah? Tumben kemarin nggak begitu lama. Ya kan, Bu Tari?” tanya Bu Lisa kepada perempuan di sebelahnya yang ternyata bernama Bu Tari.
“Iya, biasanya lebih lama dari kemarin loh, Mbak Sofia. Apa karena belum begitu malam jadi cepat selesai. Oh iya, perkenalkan, aku Tari panggil saja Bu Tari,” sahut wanita berjilbab pink dengan daster lengan panjang yang warnanya senada dengan jilbab yang dipakainya. Bu Tari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan yang disambut dengan hangat oleh Sofia.
“Sofia, Bu.” Sofia tersenyum dan mengangguk pelan pada Bu Tari.
“Bisa jadi, Bu Tari. Biasanya kan tengah malam baru beraksi. Eh kemarin habis magrib ya. Tumben-tumbenan, apa karena mau menyambut Mbak Sofia sebagai tetangga baru kali ya,” jawab Bu Lisa sembari tersenyum. Tangannya sedang sibuk memegang dua ikat bayam dan sekantong plastik ayam.
Sofia hanya tersenyum tipis mendengarkan percakapan Bu Lisa dan Bu Tari, tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua orang tetangga yang baru dikenalnya sekarang.
“Memangnya suara-suara aneh yang kudengar kemarin apa toh Bu Lisa?” tanya Sofia akhirnya setelah bertanya-tanya dalam hati.
“Itu loh, biasa. Mbak Lidya bertengkar sama suaminya. Hampir setiap hari kayak gitu, Mbak Sofia. Eh itu yang kita bicarain datang.” Bu Lisa langsung berpura-pura sibuk memilih tomat. Demikian pula Bu Tari langsung membolak-balik sayur di depannya. Mang Udin hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan ibu-ibu tersebut.
Dari belakang tampak seorang wanita yang mengenakan daster lusuh dengan jilbab yang warnanya sudah pudar berjalan ke arah gerobak sayur. Wanita itu menggendong bayi perempuan yang tampak mengantuk di dekapan Ibunya. Lidya, nama wanita itu. Tetangga yang menempati rumah di sebelah rumah Sofia, yang sebelumnya dibicarakan oleh Bu Lisa dan Bu Tari.
Wanita itu tampak berjalan perlahan dengan wajah menunduk. Bayi kecil dalam gendonganya bergoyang-goyang selaras dengan langkah jalannya. Begitu sampai dia langsung mengambil dua ikat kangkung dengan dua papan tempe. Dan menyerahkan kepada Mang Udin untuk diwadahi plastik. Wajahnya tetap menunduk seperti menyembunyikan sesuatu.
“Berapa, Mang Udin?” tanya Lidya lirih.
“Kangkung dua ikat lima ribu terus tempe dua papan enam ribu,” jawab mang Udin seraya menyerahkan belanjaan Lidya. Lidya menyerahkan selembar uang dua puluh ribu kepada mang Udin.
“Belanja kangkung sama tempe lagi, Mbak Lidya?” tanya Bu Lisa dengan suara keras.
“Iya, Bu Lisa. Anak-anak paling suka sama tumis kangkung dan tempe goreng,” jawab Lidya lirih. Wajahnya menatap Bu Lisa sebentar lalu menunduk kembali.
Bu Lisa tampak mengangkat salah satu sudut bibirnya. Senyum khas mengejek saat Lidya menundukkan wajahnya.
Sofia sangat kaget melihat wajah Lidya yang terangkat sekilas saat membalas ucapan Bu Lisa. Mata kanannya tampak lebam kebiruan dengan sudut bibir yang pecah. Menyisakan sedikit darah yang sudah mengering. Lidya tampak meringis sedikit saat tersenyum tadi. Lebih tepatnya senyum yang tampak dipaksakan.
“Mari Bu Lisa, Bu Tari saya pulang dulu. Sudah ditungguin anak-anak.” Lidya segera pergi setelah menerima kembalian dari mang Udin. Kali ini dia berjalan cukup cepat tidak seperti saat datang tadi. Wanita itu seperti ingin cepat menyingkir dari tempat ini.
Sofia menatap kepergian wanita itu tanpa berkedip. Dia tetap melihatnya sampai Lidya masuk ke dalam rumah dan tidak terlihat lagi.
“Ngeliatin apa toh Mbak Sofia?” tanya Bu Lisa cukup keras sehingga membuat Sofia sedikit berjingkat.
“Eh, itu ... anu Bu Lisa. Wanita yang barusan belanja tadi, Mbak Lidya yang kita bicarakan tadi ya, Bu Lisa?” tanya Sofia takut-takut. Sebagai warga baru di lingkungan ini Sofia masih belum mengenal tetangga di sekitar rumahnya. Pun juga karakternya jadi dia takut kalau dibilang mau tahu urusan orang lain.
“Iya, ya itu yang namanya Lidya. Yang rumahnya di sebelahmu," jawab Bu Lisa bersemangat.
“Wajahnya Mbak Lidya tadi kenapa ya, Bu lisa?” tanya Sofia hati-hati.
“Nah itu ... Efek dari suara aneh yang Mbak Sofia dengar kemarin.”
“Maksudnya bagaimana, Bu Lisa?” Sofia semakin penasaran dengan jawaban Bu Lisa.
“Kemarin suara ribut-ribut yang kamu dengar itu, Mbak Lidya sedang bertengkar dengan suaminya. Nah biasanya kalau sudah bertengkar itu lama banget. Sampai banting-banting barang, pokoknya apa pun yang ada di dekatnya. Terus anak-anaknya juga pada nangis ketakutan ngeliat kedua orang tuanya saling teriak-teriak.”
Sofia mangut-mangut mendengarkan penjelasan Bu Lisa.
“Dan itu terjadi hampir setiap hari loh Mbak Sofia. Kami para tetangga disini sudah biasa dengan keributan tersebut. Kalau Mbak Sofia karena masih baru pasti kaget saat pertama kali mendengarnya. Iya, kan?” tanya Bu Tari menambahi penjelasan Bu Lisa.
Sofia hanya mengangguk pelan dan tersenyum kecut. Jadi suara-suara aneh dan keributan yang didengarnya kemarin adalah pertengkaran dari pasangan suami istri di rumah sebelah.
“Eh punyaku habis berapa, Mang Udin?” Bu Tari menyerahkan belanjaannya kepada mang Udin, diikuti dengan Bu Lisa.
“Punyaku sekalian, Mang,” kata Bu lisa.
Mang Udin segera membungkus belanjaan Bu Lisa dan Bu Tari lalu menghitung total belanjaan mereka. Setelah membayar dan mengambil kembalian Bu Lisa dan Bu Tari segera pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Sofia yang masih memilih tomat dan cabe. Rencananya hari ini Sofia akan menggoreng ikan dan sambal terasi. Menu favorit Fuad, suaminya.
Saat menyerahkan belanjaannya untuk dibungkus dan dihitung, mang Udin berkata, ”Nggak usah didengar, Mbak apa yang dibilang Bu Lisa sama Bu Tari tadi. Aslinya Mbak Lidya itu baik. Hanya saja nasibnya kurang beruntung sampai akhirnya jadi seperti ini.” Mang Udin menyerahkan belanjaan Sofia yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Sebenarnya Sofia ingin bertanya lebih lanjut. Namun dia terburu-buru untuk segera memasak sarapan suaminya berangkat kerja. Jadi dia segera pulang dan akan bertanya lagi lain waktu.
Beribu pertanyaan masih muncul dalam benak Sofia saat dia berjalan pulang. Namun semuanya pikiran itu segera ditepisnya dan dia segera berlari pulang. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan setelah ini, pikirnya.
Begitu masuk, Sofia langsung ke dapur dan mengeluarkan belanjaannya untuk segera dimasak. Dia mulai memasak sarapan untuk suaminya dan melupakan semuanya. Begitulah Sofia, saat melakukan sesuatu dia akan fokus dengan apa yang ada di hadapannya sekarang.
Saat sarapan sudah matang, suaminya sudah berpakaian lengkap dan bersiap untuk berangkat. Sofia segera memanggilnya untuk sarapan terlebih dahulu.
“Mas, sarapan sudah siap. Ayo makan dulu sebelum berangkat,” ucap Sofia saat melihat suaminya keluar dari kamar. Fuad segera ke dapur dan duduk di tempat makan menunggu Sofia mengambilkan makanan untuknya.
Begitulah rutinitas Sofia setiap pagi, menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat dan makan bersama.
“Dek, hari ini apa kegiatanmu?” tanya Fuad.
“Hari ini aku mau bikin brownis, Mas. Mau kubagikan ke tetangga sekitar sambil berkenalan dengan mereka,” jawab Sofia sambil tersenyum.
“Iya, baguslah. Main-mainlah ke tetangga sekitar biar kenal. Biar kamu nggak kesepian.”
“Iya, Mas,” jawab Sofia singkat.
Mereka berdua meneruskan sarapan dalam diam. Setelah selesai makan, Fuad segera bangkit dari duduknya dan bersiap berangkat kerja.
“Dek, aku berangkat dulu.”
Sofia segera mendatangi suaminya dan mencium kedua tangan suaminya.
“Hati-hati di jalan ya, Mas.”
“Iya, kamu juga. Kalau ada apa-apa langsung hubungi ya," pesan Fuad kepada Sofia.
Sofia hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu mengantar suaminya sampai depan pintu.
Setelah Fuad berangkat, Sofia segera bersiap-siap untuk memulai aktivitas hari ini dengan semangat. Memulai hari di rumah baru dan lingkungan baru pada hari kedua.
“Dek ... Kok malah bengong? Kenapa pertanyaanku nggak dijawab? Bagaimana kalau Lidya marah saat tahu kamu membuka-buka ponselnya?” tanya Fuad tidak sabar saat melihat Sofia yang malah melamun dan tidak menjawab pertanyaannya.“Eh ... Anu. Itu karena Mbak Lidya yang menyuruhku, Mas. Dia tadi menitipkan ponselnya padaku untuk berjaga-jaga kalau ada pesan dari pelanggan yang memesan kue atau brownis mendadak. Jadi dia memintaku untuk membalas pesan yang masuk atau mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya,” terang Sofia sambil mengarang alasan yang serealistis mungkin agar Fuad tidak curiga dan bertanya lebih jauh lagi.“Oh begitu ... Kenapa tidak bilang dari tadi? Ayo kita duduk dulu,” ajak Fuad sambil menggandeng tangan Sofia berjalan menuju deretan kursi yang ada di depan ruang operasi.Sofia hanya mengangguk pasrah saat Fuad mengajaknya duduk di kursi panjang yang tersedia di depan ruang operasi. Ia merasa lega karena Fuad langsung mempercayai penjelasannya dan tidak bertanya lebih
Lidya menarik nafas panjang lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Diangsurkannya ponsel tersebut pada Sofia sambil tersenyum tipis.“Saat aku dioperasi nanti, tolong simpan ponselku Mbak. Siapa tahu nanti ada telepon penting yang masuk angkatlah. Atau mungkin ada pesan masuk yang penting dan membutuhkan balasan segera, tolong balaslah. Berpura-pura saja menjadi diriku saat kamu membalasnya, jangan katakan kalau aku sedang operasi,” pinta Lidya sambil memandang Sofia tanpa berkedip.“Iya, Mbak.” Sofia mengambil ponsel yang diangsurkan Lidya padanya. Lalu menyimpan ponsel tersebut dalam tas selempang yang dikenakannya walaupun ia masih tidak mengerti kenapa Lidya memintanya untuk melakukan hal tersebut.“Sebenarnya aku ada permintaan lain, Mbak ....”Sofia yang sedang menutup tas segera menghentikan gerakan tangannya dan menatap Lidya. Menunggunya mengungkapkan permintaan lain yang disebutkannya tadi. Namun, wanita berpipi dekik itu malah diam dan tidak mengucapkan se
Setelah menerima surat dari Pram, hati Lidya terasa resah. Tiada hari yang dilalui tanpa merasa cemas. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari dan kerap terbangun karena mimpi buruk yang selalu menemani dalam setiap tidurnya.Akibatnya tubuhnya terasa semakin lelah karena kualitas tidur yang buruk. Juga pikiran yang tegang. Nafsu makannya juga semakin berkurang karena perutnya terasa begah jika ia makan banyak. Pun ia tidak memiliki nafsu makan karena memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi jika Pram kembali sebelum ia melahirkan. Lidya tidak berani menceritakan mengenai hal tersebut dan menyimpan semua pemikirannya sendirian. Ia terus berpikir bagaimana caranya agar Pram tidak pulang sebelum ia melahirkan. Ia sangat takut membayangkan jika Pram mengetahui tentang perjanjian pernikahan yang sudah dibuat dengan Sofia dan Fuad. Lelaki itu pasti akan sangat marah dan pergi meninggalkannya.Setiap hari Lidya terus berdoa agar Pram tidak pulang sebelum bayi dal
Lidya baru saja selesai menata baju dan beberapa barang perlengkapan untuk bayi yang sudah dibeli oleh Sofia dan Fuad. Rencananya untuk berbelanja perlengkapan bayi bersama Sofia terpaksa dibatalkan karena Fuad melarangnya. Lelaki itu memintanya untuk istirahat di rumah saja, mengingat kondisi Lidya yang belum pulih sepenuhnya serta anjuran dari dokter yang menyarankan agar ia tidak boleh beraktivitas yang berlebihan sehingga membuatnya kelelahan.Lidya terpaksa menurut karena tidak ingin merepotkan orang di sekitarnya lagi. Ia baru saja keluar dari rumah sakit dan tidak ingin dirawat lagi padahal baru saja pulang ke rumah. Ia akhirnya menyerahkan urusan belanja perlengkapan bayi pada Sofia dan Fuad semua. Sofia sempat menyarankan agar berbelanja online saja agar bisa memilih bersama-sama. Namun Lidya menolaknya karena takut barang yang dibeli tidak sesuai harapan. Ia meminta pada Sofia untuk berbelanja langsung di toko saja agar lebih leluasa memilih karena bisa melihat barang yang
Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit, Lidya akhirnya sudah bisa pulang ke rumah. Kondisinya semakin hari semakin membaik setelah perbincangan terakhir dengan Sofia. Hubungan mereka berdua juga semakin membaik dari hari ke hari. Tidak terlihat canggung lagi. Bahkan hampir setiap hari Sofia terlihat menemani Lidya di rumah sakit selama ditinggal Fuad bekerja. Urusan toko untuk sementara mereka serahkan pada Rani dulu. Sementara anak-anak dalam pengasuhan Mbok Rum. Beruntung, Mbok Rum sudah tidak memiliki tanggungan di rumah. Jadi bisa menginap di rumah Lidya tanpa harus pulang ke rumah seperti biasanya.Lidya tidak pernah membahas masalah Fuad lagi. Sepertinya ia benar-benar melupakan keinginannya untuk menguasai lelaki itu sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Ia juga tidak pernah membicarakan tentang Pram sekalipun. Hanya membicarakan tentang janin dalam perutnya yang semakin hari semakin aktif.Sebelum pulang, Dokter berpesan pada Lidya agar mengurangi aktivitas yang berat me
Dada Sofia berdebar kencang mendengar permintaan Lidya yang menurutnya sangat lancang. Ia ingin marah, berteriak dan mengutuk wanita yang sedang terbaring lemah di hadapannya. Namun, hati nuraninya masih mencegahnya untuk melakukan hal tersebut.Tangan Sofia terkepal erat sampai ujung jarinya memutih. Titik-titik keringat mulai bermunculan memenuhi telapak tangannya yang terkepal hingga terasa basah. Dadanya terasa panas karena menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Bersiap untuk dilampiaskan pada wanita berpipi dekik yang sedang memandangnya, menunggu jawabannya. Ditarik nafas panjang lalu dikeluarkan pelan sambil memejamkan mata. Sofia mencoba mengingat hal-hal menyenangkan yang pernah dilaluinya bersama Lidya untuk mengurangi amarah yang bersiap untuk meledak. Seperti bom waktu yang siap untuk meledak kapan pun.“Mbak, bagaimana? Bisakah kamu menyerahkan Mas Fuad untuk kumiliki sepenuhnya? Kamu masih muda dan masih cantik ... Jadi tidak sulit bagimu untuk menemukan lelaki lai
Sementara itu di rumah sakit, Fuad tidak bisa tidur karena merasa bingung memikirkan hari esok. Ia harus pergi ke kantor besok karena jatah cutinya sudah habis. Namun, ia tidak tega jika harus meninggalkan Lidya sendirian tanpa ada yang menemani. Kondisi Lidya yang masih lemah membuatnya membutuhkan bantuan untuk memenuhi segala keperluannya. Sebenarnya Fuad ingin meminta bantuan pada Mbok Rum agar menunggu Lidya. Namun mengingat dia harus menjaga anak-anak di rumah hal itu urung dilakukannya. Saat sedang memikirkan jalan keluar masalah tersebut, tiba-tiba Sofia meneleponnya.“Halo, Dek,” jawab Fuad setelah mengangkat telepon.“Waalaikumsalam, Mas,” ucap Sofia dengan penuh penekanan.“Eh iya ... Assalamualaikum, sayang,” sahut Fuad dengan cengengesan. Ia memang sering lupa mengucapkan salam saat menjawab telepon. Namun Sofia tidak pernah lelah selalu mengingatkannya lagi dan lagi.“Bagaimana kondisi Mbak Lidya, Mas? Apa kata dokter?”“Besok pagi Lidya akan diperiksa lab untuk mengeta
“Siapa yang pingsan, Mas?” bisik Sofia sambil menjawil lengan Fuad. Fuad segera melambaikan tangan sebagai isyarat agar Sofia diam dan bersabar menunggu terlebih dulu. Sementara itu ia meneruskan pembicaraan dengan Mbok Rum di telepon.“Pingsan bagaimana maksudnya Mbok? Kapan?” tanya Fuad dengan tenang. “Sudah dua jam lalu, Pak. Barusan sudah sadar tapi katanya masih pusing. Mau saya antarkan periksa ke dokter tapi saya bingung, bagaimana dengan anak-anak kalau ditinggal?” jelas Mbok Rum panik.“Baiklah ... Mbok Rum tenang dulu, jangan panik. Aku sampai rumah paling cepat besok pagi, jadi sementara menungguku tolong jaga Lidya baik-baik. Penuhi semua kebutuhan dan permintaannya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku,” perintah Fuad dengan tenang.Sofia langsung mencubit perut Fuad saat mendengarnya mengatakan mereka akan sampai besok pagi. Padahal selambat-lambatnya perjalanan pulang paling lama pukul sepuluh malam mereka sudah sampai di rumah. Fuad hanya mengedipkan sebelah mat
“Beneran nggak mau kemana-mana? Mumpung kita di sini, Mas,” tanya Sofia sekali lagi saat Fuad menolak untuk diajak pergi keluar.“Iya. Aku mau istirahat di rumah saja sama kamu. Kita mengobrol dan menghabiskan waktu yang berkualitas di rumah saja sudah lama kita tidak melakukannya. Atau kamu mau packing barang-barang sekarang? Aku bantu biar cepat,” tolak Fuad tegas.“Baiklah kalau begitu. Kita di rumah saja seharian nanti.”Sofia menutup kembali lemari pakaian dengan keras. Sebenarnya ia sudah bersemangat sejak tadi pagi ingin mengajak Fuad bepergian berwisata kuliner. Memberitahukan makanan enak yang sudah dimakannya kemarin. Namun, karena Fuad menolak ia tidak bisa berbuat apa pun lagi. Berjalan ke pojok kamar, Sofia mengambil koper kecil yang dibawa untuk mengangkut beberapa pakaian yang dibawanya kesini dulu. Lalu mulai menata baju dan kerudung ke dalam koper dengan tenang. “Ada yang bisa kubantu?” tawar Fuad saat melihat Sofia mulai berkemas. “Tidak ada, Mas. Tidurlah s