"Nak, Abah minta kamu segera pulang ya? Ada hal penting yang ingin Abah sampaikan!"
"Apaan sih, Bah? Kan aku baru seminggu wisuda. Dulu Abah ngebolehin aku nyari kerja disini lho? Abah lupa?"
"Bukannya lupa, masalah pekerjaan nantilah kamu pikirkan. Sekarang nikmati dulu masa-masa bebas setelah wisuda!"
"Emang nggak bisa di telpon ngomongnya, Bah?"
"Jangan lewat telpon, Abah mau bicara langsung sama kamu! Ummi juga sudah kangen katanya."
"Baru juga minggu kemaren Ummi sama Abah ketemu sama Susan, masa udah kangen lagi? Abah bohong ya?"
"Pokoknya besok kamu harus pulang, Abah tunggu di rumah ya?"
"Iya deh..", aku heran sama Abah tidak biasanya ngotot nyuruh aku pulang. Padahal aku sudah nyusun rencana untuk nyari kerjaan di kota ini. Tapi tak apalah, nanti setelah balek kampung baru aku nyari kerjaan.
Aku baru turun dari angkutan umum saat seseorang menabrakku. Hingga menyebabkan handphone yang aku pegang jatuh dan retak layarnya.
"Hei, jalan hati-hati dong! Nggak lihat apa badan segede ini malah ditabrak!" laki-laki yang menabrakku menoleh dengan santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
"Maaf, tidak sengaja!"
"Gara-gara kamu hanphone aku rusak, ayo ganti rugi!"
"Eh, enak saja minta ganti rugi. Yang salah tu kamu ngapain berdiri di tengah jalan!" dia malah nyalahin aku. Pengen sekali rasanya menjitak kepalanya. Udah salah malah nyalahin orang lain.
"Tidak bisa gitu dong! Ini handphone aku rusak. Pokoknya kamu harus ganti rugi!"
"Ya sudah, berapa?"
"Satu juta!"
"Enak saja, itu handphone cuma retak. Palingan di service cuma 200 ribu!" dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang 200 ribu. Dan menyerahkannya padaku.
"Nggak mau... ini pasti tidak cukup! Aku nggak mau rugi!"
"Ya sudah, ambil uangnya dan ini kartu nama saya,nanti kalau biaya servicenya kurang hubungi nomor saya. Sekarang saya mau pergi, awas!"
Dia malah melewatiku dengan kasar. Dasar laki-laki aneh untung saja tampan.
Kucoba menghidupkan handphone itu kembali, tapi sayang tak berhasil. Abah bilang ada mang Udin yang jemput aku ke terminal. Tapi gimana cara menghubunginya. Handphone ku mati. Dasar tak punya hati laki-laki tadi.
Karena tak menemukan mang Udin, akhirnya aku pulang sendiri memakai taxi. Hari ini apes sekali. Udah udaranya panas lengkap sudah.
Sesampainya di rumah. Aku segera memasuki rumah.
"Ummi....ummi... Susan pulang!" aku memasuki rumah tanpa mengucapkan salam.
"Ya ampun anak gadis ini, masuk rumah nggak ngucapin salam malah teriak!"
Abah yang sedang nonton televisi terkejut mendengar suaraku."Eh, Abah. Assalamualaikum Abah!"
"Waalaikumsalam, gitu dong. Baru namanya anak Abah!" Abah lalu memelukku dan mencium keningku.
"Ummi mana Bah?"
"Itu di dapur, lagi masakin makanan kesukaan kamu!""Yeeee..... enak dong. Aku temuin Ummi dulu ya, Bah?"
"Iya, sana ke dapur!" segera aku ke dapur dan mengejutkan Ummi. Ummi sedang mencuci peralatan dapur. Aku mengendap-ngendap lalu memeluknya dari belakang. Tanpa sengaja Ummi malah reflek memukul kepalaku dengan wajan yang ada di tangannya. Sontak aku kaget dan meringis kesakitan."Ummiii....ini aku! Masa di pukul sih?"
"Astagaa....Ummi kaget. Ngapain pake acara ngagetin Ummi segala sih?" Ummi malah menjewer telingaku.
"Ummi nggak sayang sama Susan ya? Habis di tabok pake wajan sekarang malah jewer telinga Susan, Susan balek aja deh?" aku pura-pura berbalik dan hendak melangkah keluar
"Eh, ini anak malah ngambek? Sini peluk Ummi dulu!" aku langsung berlari kedalam pelukan ummi.
"Benar ya Ummi kangen sama Susan makanya di suruh pulang?"
"Kata siapa?"
"Abah yang bilang lewat telpon kemaren!"
"Abah tu yang kangen sama kamu bukannya ummi, ummi mah biasa aja!"
"Ih, Ummi mulai lagi deh?"
Ummi malah semakin erat memelukku. Aku tau Ummi pasti kangen padaku. Putri satu-satunya.
"Mang Udin mana? Kamu pulang sama mang Udin kan?"
"Ya nggak ketemu tadi di terminal, Mi!"
"Kok bisa? Kan kamu udah tau mau dijemput mang Udin?"
"Tau sih, tapi handphone Susan tadi jatuh, rusak deh! Nggak bisa nelpon mang Udin jadinya Susan pulang sendiri aja!"
"Eee, kamu ini ceroboh sekali. Sekarang telpon mang Udin dulu, pasti dia masih di terminal nungguin kamu!"
"Sip deh Mi!" akupun segera menelpon mang Udin menggunakan telepon rumah. Benar saja, dia masih di terminal nungguin aku. Segera kusuruh aja dia pulang.
Malamnya setelah selesai makan malam, aku menemui Abah. Aku penasaran kenapa Abah ngotot nyuruh aku segera pulang.
"Abah, sekarang Abah bisa bilang ke Susan. Kenapa Abah nyuruh Susan pulang cepet-cepet!"Terlihat Abah menarik nafas dengan panjang, sepertinya ini serius.
"Begini Nak, abah berencana menjodohkan kamu dengan putranya teman abah semasa kecil dulu"
Degg...jantungku seakan copot mendengar ucapan Abah.
"Susan belum kepikiran untuk menikah, Bah. Lagian Susan baru saja wisuda masa langsung nikah sih? Susan mau nyari kerja dulu. Baru setelah itu mikirin pernikahan!"
"Nggak apa-apa dong sayang, nyari kerja bisa nanti setelah kamu menikah!" Ummi yang duduk disamping Abah malah hanya diam. Tidak membelaku seperti biasanya. Kayaknya Ummi setuju aku menikah.
"Nggak mau, Bah! Lagian aku juga belum kenal siapa calonnya! Emang Abah udah kenal? Jangan-jangan orangnya nggak baik lagi?" Aku berupaya memprovokasi Abah agar membatalkan perjodohan itu.
"Abah pernah ketemu orangnya dulu, dia baik. Sudah mapan dan sepertinya juga bertanggung jawab!"
"Pokoknya Susan nggak mau, Bah! Ummi bilangin Abah dong! Masa aku dipaksa nikah sih?"
"Sudah....nurut sama Abah mu, pilihan orang tua itu nggak pernah salah lho?"
"Ummiiii.....!" Aki malah menangis keras. Aku tak mau menikah secepat ini. Dengan orang yang tidak aku kenal. Tanpa ada rasa cinta. Mana mungkin aku bisa bahagia. Ummi dan Abah pasti bercanda.
"Sana, kamu pikirin dulu. Abah nggak nyuruh langsung nikah. Kamu boleh ketemu dulu dengan orangnya!"
"Tapi, Bah?"
"Nggak ada tapi-tapian, kamu harus nurut kata-kata abah!"
Aku langsung berdiri dan lari menuju kamar. Aku membanting pintu dengan keras lalu menguncinya.
Ku benamkan wajah di atas bantal. Aku tidak mau menikah dengan cara seperti ini. Aku memimpikan pernikahan yang dipenuhi dengan cinta. Dengan laki-laki yang aku cintai dan juga mencintaiku.
Tapi sekarang harapan itu pupus. Ingin rasanya menolak dan lari meninggalkan rumah, tapi aku tidak mau mengecewakan Ummi dan Abah.
Aku tidak mau jadi anak durhaka. Mereka berdua adalah sumber kebahagiaanku.
Dikamar mereka, Ummi mencoba bicara pada Abah. Dia tak tega melihat putri satu-satunya menangis menentang perjodohan itu.
"Abah, sepertinya Susan tidak mau di jodohkan, lalu bagaimana keputusan Abah?"
"Mi, Arga adalah anak yang baik. Abah pernah bertemu dengannya. Susan akan bahagia jika menikah dengannya!"
"Tapi Abah, coba lihat sendiri putrimu, dia menangis! Ummi tidak tega melihatnya!"
"Tidak akan terjadi apapun, Mi! Abah sangat yakin dengan pilihan Abah. Keluarga mereka juga baik, jelas bobot dan bibitnya. Kita bisa percaya kepada mereka!"
"Ya, sudahlah Bah! Tapi Abah harus membujuk putri Abah itu!"
"Iya, nanti kalau dia sudah tenang, Abah akan coba bicara!"
******
Kenapa sih dengan Abah, kenapa dia tega menjodohkan aku dengan laki-laki yang tidak aku cintai bahkan mengenalpun tidak.
Aku tertidur karena capek menangis, hingga tak menyadari hari sudah menjelang pagi.
"Nak, bangun dulu! Sholat subuh dulu sana!" Ummi memcoba membangunkanku.
"Iya, Mi! Bentar lagi!"
"Ayo buruan, keburu siang nanti!" aku menggeliat bangun lalu beranjak mengambil air wudhu. Setelah sholat aku keluar kamar, di ruang tamu ada Abah yang sedang membaca koran pagi.
"Pagi, Abah!" kusapa Abah yang tengah asik dengan bacaannya. Melihat aku keluar kamar, Abah lalu melipat koran di tangannya. Lalu memanggilku duduk di sampingnya.
"Sini, duduk dengan Abah sebentar!"
"Iya, Bah!" Aku menurut dan duduk di samping Abah.
"Bagaimana? Sudah agak tenang?"
"Maksud Abah?"
"Kalau kamu sudah agak tenang, Abah mau bicara!"
"Bicara saja, Bah!"
"Begini, Abah bukannya memaksamu, cuma Abah berusaha mencarikan yang terbaik. Ummi dan Abah sudah tua, entah berapa lama lagi usia kami. Abah tidak akan tenang sebelum ada yang bertanggung jawab sama kamu. Abah ingin kamu cepat-cepat menikah!"
"Abah jangan bicara seperti itu, Ummi dan Abah akan selalu menemani aku!"
"Nurut perkataan Abah ya, Nak! Abah ingin kamu segera punya pendamping hidup!"
"Baiklah, Bah! Susan nurut perkataan Abah!"
"Nah, itu baru namanya putri abah!"
Abah lalu memelukku dengan erat. Aku terpaksa menuruti kemauan Abah. Aku tidak mau dia sedih. Selama ini dia sudah sangat memanjakanku. Sekarang waktunya aku berbakti padanya.
"Nak, hari ini jangan pergi kemanapun ya?""Emang kenapa, Mi?"Aku yang tengah asik menyiram bunga di taman, menghentikan seketika pekerjaanku."Keluarga calon suamimu mau datang bertemu denganmu!""Secepat itu, Mi? Susan baru tiga hari lho di rumah?""Itu Abah yang bilang tadi, kamu cuma di suruh dandan yang rapi nanti, jangan malu-maluin!""Ummi..... Susan nggak mau!""Kan kamu sendiri yang bilang bersedia sama Abah kemaren?""Tapi, Mi...""Tidak ada tapi-tapian!"Aku melangkah gontai memasuki rumah, secepat itukah? Baru tiga hari di rumah Abah sudah mengundang mereka datang. Seperti apa sih laki-laki itu hingga membuat Abah sangat yakin?Siang harinya aku dan Ummi sedang menyiapkan makanan untuk tamu yang akan datang. Mereka sudah dalam perjalanan kata Abah, jadi kami harus siap-siap.Aku sudah berpakaian rapi, dengan gamis coklat muda dipadukan dengan pashmina yang senada. Make up tipis juga meng
Seminggu lagi acara pernikahanku dengan Arga, tapi semenjak acara tunangan tidak pernah satu kalipun kami bertemu. Bahkan yang lebih anehnya, nomor handphone masing-masingpun kami tidak punya.Terkadang aku berpikir, pernikahan apaan ini? Kenal juga kagak, pas ketemu adu mulut, eh tiba-tiba nikah. Aku bahkan tak peduli sedikitpun tentang pakaian pengantin. Ummi dan Abah yang terlihat sibuk kiri kanan menyiapkan semuanya, aku mah masa bodoh.Nggak jadi nikahpun aku malah bersyukur bahagia. Aku sudah yakin, kalau pernikahan itu jadi, hidupku pasti bakalan susah. Hidup dengan laki-laki yang tak menginginkanku sedikitpun."Susan, gaun pengantinnya bagaimana? Ummi sampai lupa masalah gaun karena sibuk ngurusin keperluan yang lain""Nggak tau, Mi""Kok gitu sih? Acaranya minggu depan tapi kamu belum nyari gaun pengantin?""Males!""Kamu ini? Sekarang coba hubungi Arga, ajak dia nyari gaun pengantin
"Kita pisah kamar?""Ya, nggak sudi aku sekamar sama kamu!" Pedih sekali mendengar kata-katanya. Aku istrinya tapi tidak boleh sekamar dengannya.Aku menarik koper dengan perasaan sedih, menuju kamar tamu yang akan menjadi kamarku mulai sekarang. Merebahkan tubuh, membuka hijab dari kepalaku.Aku menatap atap kamar dengan perasaan bercampur aduk, rumah tangga seperti apa yang akan aku hadapi?"Buatkan aku makanan, aku lapar!"Arga berteriak dari balik pintu, aku segera bangkit dan melangkahkan kaki ke dapur. Memeriksa isi kulkas, apa yang bisa aku masak. Hanya ada mie instan."Apa yang mau dimasak? Kulkas kosong begini?" Aku mengomel sendiri."Nanti kita belanja ke swalayan, sekarang masak mie instan aja dulu!" Arga menjawab ucapanku. Walau itu tak ku tujukan padanya.Harum semerbak mie instan, membuat perutku bergejolak minta jatah. Segera aku duduk di ruang makan dan mengh
Dia menuju meja makan, duduk dan menikmati nasi goreng yang aku buatkan. Lalu meminum teh yang aku suguhkan. Sebelum pergi, dia memberikan aku kartu ATM."Ini, ATM pin nya tanggal ulang tahun saya. Kamu boleh pakai uang itu untuk belanja keperluan mu""Makasih, mas" Ternyata dia ada baiknya sedikit. Memberikan aku ATM untuk belanja."Aku pergi dulu""Ya, mas. Hati-hati!"Aku mengantarnya sampai pintu, mengulurkan tangan untuk menyalami tangannya. Dia menatapku sejenak sebelum mengulurkan tangannya. Segera ku sambut dan menyalami tangannya. Setelah itu dia pergi.Aku kembali ke dapur, membersihkan peralatan masak. Lalu mulai menyapu rumah. Rasanya melelahkan, membersihkan rumah ini seorang diri.Aku beranjak ke kamar Arga. Membuka lemari, mencoba mengenali apa saja yang Arga punya. Lalu beralih pada laci. Disana ada koleksi jam tangan Arga yang terlihat mahal-mahal. Kemudian koleksi dasi
Selesai makan aku dan Mama berbicara di ruang tamu."Ma, sebelum menikah denganku apa Mas Arga punya pacar?" aku ingin tahu apakah Mama mengenal pacar Arga yang datang tadi pagi ke rumah.Mama terkejut mendengar pertanyaanku."Apa kamu sudah bertemu dengan perempuan itu?" ternyata Mama sudah tahu pacar Arga itu. Aku menjadi sedih karenanya."Sudah, Ma. Tadi pagi dia datang ke rumah mencari Mas Arga!""Apa? Jadi Arga belum juga putus dari perempuan itu?" Mama terlihat marah mendengar semua itu."Kalau Mas Arga sudah punya pacar, kenapa Mama menjodohkan dia denganku, Ma?" tanyaku dengan hati sedih dan juga penasaran."Kamu lihat penampilan dia kan? Pakaiannya saja sungguh tidak sopan. Mama dan Papa tidak suka dengan pribadinya dia. Mau keluarga seperti apa yang akan Arga bina? Jika sampai menikah dengan perempuan seperti itu?""Tapi Mas Arga sepertinya sangat mencintai perempuan itu, Ma!"Mama menatapku dalam.
Aku kembali memasuki kamar. Ucapan Arga memenuhi isi kepalaku. Apa dia tak menganggapku sedikitpun karena pakaian yang aku gunakan ini?Aku melepas hijab instan yang melekat di kepalaku. Melepas ikatan pada rambutku yang panjang sepinggang. Rambut hitam legam dan sangat lurus. Aku meraih sisir lalu berdiri di depan meja rias. Menyisir rambutku dengan lembut.Wajah oval dan bibir tipis yang aku miliki semakin sempurna dengan geraian rambut panjangku. Arga belum pernah sekalipun melihat penampilanku saat tam memakai hijab.Jika di bandingkan dengan pacarnya yang datang tadi pagi itu, aku tak kalah cantik dengannya. Wajah mulus yang aku miliki berbanding terbalik dengan wajah perempuan itu. Wajahnya jelas sekali cantik karena make up yang dia gunakan. Jika tanpa make up sedikitpun aku yakin wajahnya jauh lebih jelek dariku.Postur tubuhnya juga tak bisa mengalahkan postur tubuhku. Aku jauh lebih tinggi darinya. Jika aku memakai pakaian yang dia g
Aku menunggu Arga pulang dari kantor. Hari sudah menjelang magrib, selesai sholat magrib aku menunggunya di ruang tamu.Aku gegas membukakan pintu saat terdengar suara mobil Arga memasuki garasi."Mas?" ku ulurkan tangan dengan cepat untuk menyalaminya saat dia melangkahkan kaki memasuki rumah.Dia menatapku sekilas. Ditangannya ada bekal yang aku berikan padanya tadi pagi."Ini!" dia menyerahkan kotak makan siang itu padaku. Aku meraihnya lalu dia berlalu meninggalkanku memasuki kamarnya.Ah, dia sedingin es. Bahkan dia tak membiarkan aku bicara sedikitpun. Sampai kapan dia berlaku seperti ini?Aku segera membawa kotak makan siang itu ke dapur. Aku membuka isinya. Hatiku langsung kecewa. Semua makanan yang aku persiapkan itu, tidak satupun dia sentuh. Semuanya masih utuh seperti semula.Aku terduduk lemah di meja makan. Menatap hidangan makan malam yang sudah aku persiapkan untuknya. Akankah dia kembali tak mau menikmatinya?
"Vani, tolong anterin aku pulang!" pintaku pada Vani sambil melepaskan diri dari pelukannya."Baiklah, tapi kamu tidak apa-apa kan?""Aku baik-baik saja, kok!" ucapku pelan.Aku menaiki mobil Vani. Sepanjang jalan pikiranku dipenuhi oleh tawa ceria Arga bersama Anita. Mereka seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Apa benar akulah yang menjadi penghalang di antara mereka?Jika Arga sangat mencintai perempuan itu, kenapa dia tidak memperjuangkannya? Kenapa dia malah mau di jodohkan? Apa sebenarnya alasan dari semua perjodohan antara aku dan Arga. Mama mertua bilang mereka tidak suka karenapenampilan Anita seperti itu. Tapi menurutku, kita tidak bisa menilai seseorang dari apa yang dia pakai.Banyak teman-temanku yang tidak berhijab tapi hatinya mulia. Contohnya Vani. Dia anak tunggal dari seorang ayah yang sangat agamais. Tapi dia tidak memakai hijab. Walaupun begitu, jangan ragukan akhlaknya. Dia bahkan tidak pernah