Seminggu lagi acara pernikahanku dengan Arga, tapi semenjak acara tunangan tidak pernah satu kalipun kami bertemu. Bahkan yang lebih anehnya, nomor handphone masing-masingpun kami tidak punya.
Terkadang aku berpikir, pernikahan apaan ini? Kenal juga kagak, pas ketemu adu mulut, eh tiba-tiba nikah. Aku bahkan tak peduli sedikitpun tentang pakaian pengantin. Ummi dan Abah yang terlihat sibuk kiri kanan menyiapkan semuanya, aku mah masa bodoh.
Nggak jadi nikahpun aku malah bersyukur bahagia. Aku sudah yakin, kalau pernikahan itu jadi, hidupku pasti bakalan susah. Hidup dengan laki-laki yang tak menginginkanku sedikitpun.
"Susan, gaun pengantinnya bagaimana? Ummi sampai lupa masalah gaun karena sibuk ngurusin keperluan yang lain"
"Nggak tau, Mi"
"Kok gitu sih? Acaranya minggu depan tapi kamu belum nyari gaun pengantin?"
"Males!"
"Kamu ini? Sekarang coba hubungi Arga, ajak dia nyari gaun pengantin yang cocok buat kalian!"
"Nggak punya nomornya, Mi! Aku sendiri saja yang nyari nggak usah bawa-bawa dia"
"Ya ampunnnn.... udah mau nikah tapi nomor handphone calon suami saja tidak punya?"
"Emang nggak punya dan nggak mau punya!" Aku menatap Ummi dengan tersenyum.
"Ya sudah, nanti Ummi yang minta nomor Arga sama mamanya?"
"Eeee....nggak usah, Mi! Biar aku saja!" Aku takut, nanti dikira sok minta perhatian minta nomor Arga segala.
"Ya sudah, tapi gaun pengantin kamu cari sendiri ya?"
"Oke, mi!" Terpaksa aku nyari gaun pengantin sendiri. Sebenarnya males tapi mau gimana lagi. Kalau nggak bisa-bisa buat malu Ummi dan Abah nantinya. Masa mau nikah gaun pengantinnya nggak ada.
*****
Saudara dan tetangga sudah banyak yang hadir di rumah, hari ini pesta pernikahan kami. Rumah sudah terlihat cantik dengan berbagai hiasan khas untuk acara pernikahan.
Aku sedang di kamar, penata rias sedang menghias wajahku dengan make up khas pengantin. Aku memilih kebaya putih berekor panjang untuk acara akad nikah kami. Sebuah mahkota putih berhiaskan permata bertengger dengan anggun di kepalaku.
"Wah, mbak pangling liat kamu, cuma pake make up tipis tapi hasilnya sangat menakjubkan!"
"Mbak bisa aja! Mbak yang pintar dandanin Susan secantik ini"
"Mbak nggak bohong lho? Kamu cantik sekali, bukan karena make up nya tapi emang dasarnya udah cantik, mau di apain juga mudah!"
"Mbak terlalu muji saya?" Aku melihat pantulan diri di cermin. Memang semua orang yang pernah bertemu denganku mengatakan aku cantik. Jadi tidak salah jika di kampus aku digelari primadona kampus.
"Beruntung sekali calon suamimu dapat istri secantik ini!" Mbak penata rias tidak berhenti memuji ku. Mendengar kata calon suami hatiku menjadi nelangsa, beruntung apanya? Dia bahkan tidak mau menikah denganku.
Akad nikah akan berlangsung siang hari, dari dalam kamar aku mendengar suara ramai di luar. Sepertinya Arga dan keluarganya sudah datang. Aku pasrah menghadapi takdir ini. Aku mencoba berdamai dengan garis tanganku.
"Saya terima nikah dan kawinnya Susan Ariani binti Amir Susanto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan seberat 50 gram, dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi, sahh?"
"Sah..." Para saksi menjawab serentak. Aku yang mendengarnya di kamar menitikkan airmata. Ani, teman dekatku yang menemani dikamar tersenyum bahagia kepadaku.
"Selamat Susan, semoga kamu selalu bahagia. Dan doakan semoga aku segera menyusul" Dia menatapku bahagia.
"Terima kasih banyak, Ni!" Aku belum menceritakan apapun pada Ani, bahwa laki-laki yang sekarang menjadi suamiku itu tak menginginkanku sedikitpun.
Ummi datang ke kamar untuk membawaku keluar. Aku sedikit canggung.
"Nak, sekarang ayo temui suamimu"
Ani dan Ummi membimbingku duduk di samping Arga.
"Ayo nak, sekarang salam tangan suamimu" Ummi menyuruhku melakukan sesuatu yang sebenarnya sungkan ku lakukan.
Aku lalu meraih tangan Arga lalu mendekatkan tangannya pada keningku. Arga lalu meraih kepalaku lalu melabuhkan sentuhan lembut di dahiku. Tapi itu cukup membuat sekujur tubuhku panas seperti dialiri listrik bertegangan tinggi.
Selanjutnya acara resepsi, sepanjang acara resepsi aku dan Arga tak bicara sepatah pun. Bahkan saat fotografer mengambil gambar dan mengarahkan bagaimana posisi yang bagus sekalipun kami tetap tak saling bicara.
Hari sudah malam, para tamu undangan juga sudah pulang. Aku lelah sekali, aku ingin tidur. Aku dan Arga memasuki kamar pengantin. Untuk beristirahat.
Aku membuka pakaian pengantin, di dalamnya aku memakai baju tidur. Aku ingin berbaring, tapi Arga sudah duluan berbaring di ranjang.
"Apa lihat-lihat? Jangan mimpi malam ini aku akan menyentuhmu!" Aku terkejut mendengar ucapan Arga.
"Nggak ada juga kali yang ngarepin itu!" Aku lalu berbaring disisi lain ranjang. Memunggungi Arga. Tanpa sadar netraku basah. Air mata mengalir tanpa bisa ku kontrol. Malam pertama yang semua orang impikan malah berujung tangis untukku.
Aku terbangun saat azan subuh berkumandang. Aku segera bangkit dan mandi lalu sholat subuh. Ku tepuk pundak Arga untuk membangunkannya.
"Mas, bangun! Sholat subuh dulu!"
Dia tersentak kaget, menatapku dengan nanar lalu beranjak duduk. Dia pergi ke kamar mandi setelah itu sholat subuh.
Aku beranjak keluar kamar, langsung ke dapur menemui Ummi yang tengah asik menyiapkan sarapan.
"Pengantin baru, pagi-pagi rambutnya udah basah?" Ummi meledekku, aku mendelik kesal.
"Apaan sih Ummi!"
"Yang digoda malah malu-malu?" Ummi semakin menggodaku. Nggak ada yang terjadi apapun antara aku dan Arga. Tapi Ummi malah menggodaku seperti ini.
Arga keluar dari kamar, dia bicara dengan Abah di ruang tamu.
"Abah, besok aku harus masuk kantor, jadi nanti siang aku akan membawa Susan ke rumahku."
"Ya, tidak apa-apa. Dia sudah menjadi istrimu, tapi Abah minta untuk berlaku baik padanya. Dia satu-satunya anak Abah. Abah ingin dia selalu bahagia."
"Baik, Bah. Aku akan membahagiakan Susan."
"Sudah ngobrolnya, ayo sarapan dulu!" Ummi menghampiri Abah dan Arga yang tengah bicara. Sedangkan aku sudah duduk di ruang makan.
Kami sarapan dalam hening, sesekali ku curi pandang pada Arga. Dia makan dengan lahap, sepertinya dia suka masakan Ummi.
Siang harinya, kami berangkat ke rumah Arga. Aku mengepak barang-barangku yang dirasa perlu. Kalau perlu sesuatu nanti, aku tinggal kembali ke rumah.
Kami berhenti di sebuah rumah yang sangat besar, bertingkat dua. Halamannya luas. Aku menatap sekeliling. Dia mempersilahkan aku memasuki rumah. Tapi tak ada seorangpun di rumah. Kemana mama dan papanya Arga?
"Mama dan papa mana? Kok nggak ada?"
"Mereka di rumahnya lah!"
"Lho? Ini rumah siapa?"
"Ini rumah ku, sekarang kita tinggal disini!"
"Jadi, kita nggak serumah sama mama dan papamu?"
"Ya, nggak dong, kita tinggal terpisah. Nanti aku ajakin kamu ke rumah orang tuaku."
Aku sedikit sedih, aku pikir bisa tinggal sama keluarga Arga. Tapi sekarang, hanya berdua dengannya di rumah sebesar ini.
"Disini nggak ada pembantu?"
"Udah aku pecat! Kan sekarang ada kamu gantinya?"
"Kamu jadiin aku pembantu di rumah ini?"
"Sapa bilang? Kamu kan sekarang jadi istriku, jadi semua pekerjaan rumah ini dan semua keperluanku kamu yang urus!" dia menaiki tangga menuju kamar. Aku mengikutinya. Ketika dia melangkahkan kaki memasuki kamar, dia menatapku.
"Siapa suruh ngikutin aku kesini? Kamarmu bukan disini, tapi disana, kamar tamu!" Dia menunjuk sebuah kamar.
"Susan, aku tunggu kamu di bawah! Cepetan dandannya!" ujar Arga sambil meraih jam tangannya di atas nakas lalu beranjak meninggalkan kamar.Aku menganggukkan kepala sedikit kearah Arga saat dia melirikku sebelum tubuhnya menghilang dari balik pintu kamar.Dengan cepat aku memilih gaun yang sekiranya bisa di sukai oleh Arga. Aku ingin memenuhi permintaan dia tadi sore untuk dandan secantik mungkin.Setelah selesai berdandan, aku keluar menuju ruang tamu tempat Arga sedang menungguku sambil memainkan handphonenya."Mas, ayo berangkat!" ajakku pada Arga yang tak menyadari kedatanganku.Dengan cepat dia menoleh kearahku lalu terlihat matanya memandang terpana akan penampilanku kali ini.Aku jadi bingung dengan reaksi Arga kali ini. Biasanya, dia akan langsung berkomentar tapi tidak untuk kali ini. Dia hanya diam lalu buru-buru mengalihkan pandangannya."Apa penampilanku tidak membuatmu puas?" kalimat pertanyaan itu terlontar begitu saja karena heran dengan sikap Arga kali ini.Arga menole
Beberapa hari setelah aku minta Arga untuk menjaga jarak dengan Anita, aku tidak pernah lagi melihat wajah perempuan itu. Anita bahkan tidak pernah datang lagi ke rumah maupun ke kantor. Selama di kantor, Arga juga terlihat fokus dalam bekerja bahkan ketika makan siang Arga lebih memilih untuk makan siang denganku. Para karyawan mulai mengetahui bahwa aku adalah istrinya Arga. Sikap mereka perlahan mulai berubah padaku, yang awalnya cuek serta enggan menyapaku satu persatu mulai mendekatiku. Mulai bersikap ramah kepadaku bahkan ada yang secara terang-terangan mengucapkan selamat kepadaku. Oleh karena itu, aku bisa leluasa keluar masuk ruangan kerja Arga. Arga terlihat lebih fokus dalam bekerja dan itu membuat Papanya merasa senang. Menyaksikan perubahan sikap anaknya itu. Siang itu Papa meminta aku dan Arga memasuki ruang kerjanya. Setelah mempersilahkan kami duduk, Papa mulai bicara."Papa senang dengan perubahan sikap kamu dalam bekerja, Arga. Begitupu
Setelah selesai makan dan membayar tagihannya Arga langsung membimbing tanganku menuju toko yang menjual baju, tas serta sepatu."Silahkan kamu pilih apapun yang kamu mau!""Mas mau beli apa?" tanyaku padanya."Aku rencananya mau beli jam tangan." Aku tersenyum mendengar jawaban Arga."Bagaimana kalau kita beli jam pasangan aja, Masm" tawarku."Boleh, tapi aku yang pilih, ya?"Nggak apa-apa, Mas. Aku suka apapun yang Mas belikan untukku," jawabku langsung. Arga membimbing tanganku menuju toko yang menjual jam tangan saat sampai di sana Arga langsung meminta pelayan untuk memberikan dia beberapa pilihan jam untuk pasangan."Aku ingin yang terbaik, berapapun harganya itu bukan masalah," ucap Arga.Pelayan itu mendengarkan perkataan Arga lalu memberikan jam yang paling bagus serta mahal. Saat melihatnya aku langsung terbelalak harganya sangat mahal dan aku sebenarnya keberatan jika Anda membeli
"Sehabis sarapan nanti sebaiknya kamu tidak usah masak makan siang," kata Arga padaku. Aku menatap heran pada Arga."Ada apa? Kenapa aku tidak boleh masak untuk makan siang nanti?" tanyaku padanya."Aku akan membawamu periksa kesehatan ke dokter dan aku sudah membuat janji dengan dokter," jawab Arga."Jam berapa, Mas?" "Nanti jam 11 siang. Makanya kamu tidak usah masak untuk siang ini. Kita makan di luar saja sekalian aku ingin membawamu nonton di bioskop," ucap Arga Mendengar Arga ingin mengajakku untuk menonton di bioskop wajahku langsung bersemu merah. Aku sangat bahagia sekali karena baru kali ini Arga mau membawaku pergi keluar untuk jalan. Selama ini jika hari libur kerja Arga selalu menghabiskan waktunya dengan Anita. Dia tidak pernah memperdulikan aku sendiri di rumah ini."Benarkah? Mas ingin mengajak aku nonton di bioskop?" tanyaku padanya."Apa kelihatannya aku bercanda?" jawab Arga "Tidak, sih! A
"Silahkan kamu pilih pakaian yang ingin kamu beli!" ujar Arga padaku. Aku mulai memilih beberapa pasang baju kerja untukku. Sedangkan Arga, dia tengah sibuk duduk di pojokan toko sambil memainkan handphonenya. Aku hanya memilih beberapa pasang saja. Setelah merasa cukup, aku segera membayarnya di kasir."Mas, aku sudah selesai. Dan juga sudah aku bayar. Mari kita pulang?" ajakku padanya.Arga melirik belanjaan yang aku tenteng. Dan langsung berkomentar."Kamu beli berapa pasang? Kenapa cepat sekali?" tanyanya."Ada beberapa pasang, Mas. Nanti kalau kurang kan kita bisa beli lagi," bujukku."Ya sudah, ayo kita pergi. Aku lapar. Sebelum pulang kita makan dulu."Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Arga. Sebenarnya aku juga tengah kelaparan. Kami makan di kafe yang ada di Mall itu. Saat menunggu makanan datang, aku mulai bicara pada Arga."Mas, apa selama ini kalau siang hari Mas selalu pergi
"Sudahlah, kamu sudah tahu bagaimana sikap Arga. Kamu yang memutuskan untuk tetap bertahan padanya, lalu kenapa kamu masih menangis saat dia membela Anita?" ucapan Diandra membuatku menatapnya dalam."Mas, aku tahu hubungan mereka seperti apa. Aku sudah melakukan segala macam cara untuk bisa menarik sedikit saja perhatian Arga. Tapi, kenapa dia tak bisa memberiku sedikit kesempatan?" Isak tangisku semakin kencang. Rasanya ingin segera menyerah, aku tak kuat lagi menahan rasa cemburu tiap kali Arga lebih membela Anita daripada aku. Saat dia selalu membenarkan perkataan Anita, semua itu membuatku sakit hati. "Arga itu sudah di butakan oleh rasa cintanya pada Anita, jadi percuma saja kamu berharap dia akan memilihmu. Kamu hanya akan semakin terluka. Lebih baik sebelum semuanya terlambat, kamu meyerah saja dan fokus mencari kebahagianmu saja!" "Tapi, Mas! Aku tidak bisa. Aku sudah terlanjur mencintai Arga. Aku tidak bisa menyerah begitu saja."Diand
"Mas, aku bawa bekal makan siang dari rumah. Mau makan dimana? Di mobil?" tanyaku pada Arga sambil menenteng bekal makan siang itu."Ya sudah, bawa saja. Kita makan siang di restoran saja.""Nggak boleh dong Mas? Bawa makanan ke restoran. Aku makan di kantor saja ya? Ini bekal makan siang Mas. Mas bisa makan di ruangan kerja, Mas!" Ku sodorkan bekal makan siang Arga padanya."Kamu kenapa sih? Apa kamu mau makan bareng sama Diandra itu?" "Mas yang aneh, kenapa marah-marah nggak jelas seperti ini. Aku ada meeting nanti jam dua sama Diandra. Dan aku tidak mau telat. Aku balik masuk ke kantor dulu ya?" pamitku pada Arga.Arga yang sudah duduk di kemudi mobil, tak bisa menahan langkah kakiku menjauh dari mobilnya. Aku langsung menuju kantin dan makan di sana.Samar-samar aku mendengar pembicaraan para karyawan yang tengah makan di meja yang sedikit jauh dariku."Hei, kalian lihat nggak? Tadi, Pak Arga dan Pak Diandra lagi-la
"Selama di kantor, kamu harus menjaga sikap. Karyawan kantor belum banyak yang tahu kalau aku sudah menikah. Hanya pejabat penting perusahaan yang tahu bahwa aku sudah punya istri. Jadi, jaga sikapmu! Panggil aku Bapak, seperti yang lainnya!" "Baiklah!" jawabku dengan sedikit kesal. Pernikahan ini bukanlah pernikahan yang dia kehendaki. Mungkin itu sebabnya, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa akulah istrinya.Walaupun kesal, aku mencoba untuk tetap mengalah. Biarlah, suatu saat nanti akan ada masanya dia yang akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Setelah sampai di kantor, Arga langsung mengantarku ke ruangan direktur perusahaan yaitu ruangan Papa mertua."Pa, ini karyawan baru Papa sudah datang!" ucap Arga pada Papa.Aku langsung menyalami Papa mertua. "Susan, di kantor ini semuanya bekerja secara profesional. Tidak ada pengecualian baik untuk Arga ataupun dirimu. Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik," ujar Papa.
"Papa dengar Susan mau bekerja? Apa betul, Nak?" tanya Papa mertua padaku.Aku sedikit meremas ujung bajuku dengan perasaan sedikit takut. Wajah Arga seketika berubah saat mendengar orangtuanya bicara soal pekerjaan padaku."Benar kan, sayang? Susan sudah bicara itu sama Mama tadi siang. Makanya Mama segera menghubungi Arga untuk datang ke sini malam ini," jawab Mama.Aku tak menyangka sedikitpun, kalau Mama mertua akan langsung membicarakan soal pekerjaan itu pada Papa hari itu juga. Arga langsung mengajakku ke rumah orang tuanya sesaat setelah dia pulang dari kantor tadi."Kalau Papa dan Mas Arga tidak setuju, Susan tidak keberatan kok!" jawabku dengan sedikit pelan. Aku tak kuasa menatap wajah Arga yang terlihat tidak suka kalau aku bekerja."Iya, Pa! Untuk apa juga Susan bekerja. Lebih baik dia di rumah saja. Lagian, aku masih bisa memenuhi semua kebutuhannya!" ucap Arga dengan yakin."Bukan soal nafkah yang kamu berikan, Arg