Share

03. Malam Perjanjian

"Segera siap-siap," kata Ambu sambil masuk ke kamar Jaka. "Ada perlombaan galah asin antar keluarga malam ini."

Galah asin adalah permainan tradisional yang dimainkan oleh 3-5 orang. Biasa dimainkan pada saat bulan purnama.

"Kita hidup di abad berapa, Ambu?" Jaka menatap ibunya seolah tak percaya. "Orang sudah bolak-balik ke bulan, kita masih berkutat di abad kegelapan."

"Permainan galah asin perlu dipertahankan untuk identitas kampung."

"Tidak ada identitas yang lebih bergengsi apa?" sindir Jaka separuh mencemooh.

Ambu memandang heran. "Kamu ini kenapa sih? Biasanya tiap purnama main galah asin sampai tengah malam."

"Malam ini aku ingin menghadiri ulang tahun pacarku."

"Sudahlah, lupakan Nabila. Ia tidak cocok untukmu."

"Orang tuanya juga ngomong begitu," sahut Jaka keki. "Kalau cinta sudah berkibar, apa angin bisa berhenti?"

Larangan itu muncul karena ia anak petani miskin. Puteri hartawan secantik Nabila turun derajat kalau naik motor butut, padahal mereka yang merasakan bahagia itu. Mereka tidak peduli tahta dan harta. Mereka hanya peduli cinta.

Rintangan yang tidak perlu ada andai orang tuanya dulu tidak memberikan harta secara cuma-cuma kepada Erlangga. Ia seharusnya tidak diberi tahu cerita itu karena cuma membuat dada sesak.

"Aku ini tidak cocok jadi orang miskin," kata Jaka. "Lihat kulitku putih bersih, berbeda sekali dengan mereka."

"Maka itu kamu sering pergi ke sawah," jawab Ambu. "Kulitmu lama-lama sama dengan mereka."

Ucapan itu membuat Jaka gondok. Ia diperintahkan pergi ke sawah bukan untuk membantu pekerjaan Abah, supaya warna kulitnya tidak kontras dengan warga.

"Ambu mestinya bangga punya anak berbeda rupa dan fisik," dengus Jaka sebal. "Bukan dibikin jelek."

"Kamu kelihatan lebih gagah dengan kulitmu yang mulai berubah gelap," puji Ambu. "Kelihatan lebih laki-laki."

"Menurut Nabila semakin kelihatan orang miskinnya."

"Ya sudah suruh cari pemuda kaya."

Jadi orang tua benar-benar tidak mendukung, gerutu Jaka dalam hati. Ambu mestinya ikhtiar supaya hati orang tua Nabila luluh. Namanya pasti terangkat kalau memiliki besan kaya raya. Tapi itulah orang tuanya. Mereka bahagia jadi orang miskin karena terhindar dari perjanjian leluhur.

"Buat apa Ambu menyekolahkan aku tinggi-tinggi kalau bercita-cita jadi orang miskin?" sindir Jaka pedas. "Kawinkan saja aku dengan gadis termiskin di dunia."

"Kamu sekolah supaya jadi orang pintar."

"Percuma aku jadi orang pintar kalau Ambu berharap aku jadi orang miskin."

"Kamu hanya perlu bersabar tujuh purnama, setelah itu kami akan minta sebagian harta yang diberikan kepada Erlangga."

"Kenapa harus menunggu tujuh purnama?"

"Untuk memastikan tidak ada yang menjemputmu."

"Lalat saja ogah menjemput aku," keluh Jaka pahit. Sejujurnya ia tidak peduli dengan perjanjian itu. Di abad millenium, perjodohan antara bangsa manusia dan bangsa jin hanyalah omong kosong. Lagi pula, ia sudah memiliki perempuan cantik yang segera jadi istri kalau mereka tidak percaya dengan takhayul. Cintanya jadi rumit gara-gara masalah harta. "Karena aku orang miskin, maka orang tua Nabila tidak merestui. Dan Ambu suka melihat keadaan itu."

Ambu memandang sedih. "Kau sekarang jadi banyak menuntut, anakku."

Jaka berusaha mendinginkan hatinya melihat mendung menyelimuti wajah ibunya, ia berkata dengan lunak, "Aku tidak menuntut, hanya panik karena situasi mendesak. Nabila minta untuk mulai memikirkan pernikahan, sementara aku belum punya pekerjaan."

"Bagaimana kamu bisa memikirkan pernikahan kalau orang tuanya tidak setuju?"

"Maka itu aku pusing tujuh turunan."

Ambu memperhatikan anaknya dengan mata bersinar seolah menemukan harapan besar. "Tujuh turunan?"

"Ada apa dengan tujuh turunan?" tanya Jaka kesal. "Ambu ingin bahas perjanjian itu lagi? Aku bosan mendengarnya."

"Malam ini adalah malam penjemputan. Aku berharap perjanjian itu berakhir di generasi ketujuh. Jadi kamu bebas."

"Yang perlu Ambu pikirkan adalah kehidupanku akan berakhir kalau tidak segera memperoleh pekerjaan, bukan memikirkan perjanjian konyol itu."

"Perjanjian leluhur adalah benar adanya. Maka itu kami menyerahkan semua harta sesuai petunjuk orang pintar untuk menanggalkan jati diri selaku klan Bimantara."

"Aku jadi ingin ketemu dengan orang pintar itu."

"Sudah meninggal."

"Semoga tidak masuk neraka karena telah menipu Abah."

"Ia orang alim dan tidak memperoleh keuntungan apa-apa dari situasi ini."

"Sudahlah, aku mau ganti baju. Baiknya Ambu keluar dari kamar."

Jaka muak mendengar cerita itu. Perjanjian leluhur hanya ada di negeri dongeng, sedangkan mereka hidup di negeri nyata. Mereka harus melihat kenyataan kalau cari makan saja harus banting tulang.

Jaka tidak sampai hati kalau di hari tua tubuh mereka bungkuk dengan kulit hitam legam karena bekerja keras. Maka itu ia harus memiliki kehidupan mapan untuk menjamin hari tua mereka. Ia berencana pergi ke Timur Tengah jika bulan ini tidak mendapat panggilan kerja.

"Baiknya kamu tidak pergi malam ini," pinta Ambu.

"Kalau aku tidak pergi, Nabila pasti memecat aku jadi pacar. Ambu senang melihat aku patah hati?"

"Alasan gampang dicari."

"Malam ini aku tidak punya alasan yang masuk akal. Jadi harus datang."

Ambu terlihat demikian khawatir. "Tapi anakku...."

"Kenapa? Takut utusan dari negeri jin datang menjemput aku? Tenang saja, mereka tidak diundang. Nabila hanya mengundang bangsa manusia."

Ambu tampak bingung. Ia tidak tega menahan anaknya untuk pergi karena melihat wajahnya yang demikian bercahaya. Tapi malam ini adalah malam perjanjian. Bagaimana kalau para utusan itu dapat membaca tipu muslihat mereka?

"Berjanjilah untuk kembali ke rumah," pinta Ambu sangat berharap. "Aku menunggumu dan akan selalu menunggumu."

Jaka tersenyum kecil. "Aku pasti pulang. Nabila mengadakan pesta di hotel bintang lima. Memangnya Ambu mengijinkan aku tidur bersamanya di hotel?"

"Tentu saja tidak."

"Maka itu aku pasti pulang."

"Berjanjilah pada Ambu."

"Aku berjanji."

Ambu pergi meninggalkan kamar dengan berat hati. Ia berharap apa yang sudah dilakukan selama 23 tahun tidak sia-sia. Ia rela melepas segala atribut kehidupan demi menyelamatkan anaknya.

Kesalahan mereka hanya satu; memberi nama belakang Agusti Bimantara, sehingga mengundang pertanyaan anaknya menjelang dewasa. Agusti Bimantara adalah klan bangsawan terkemuka di tanah Pasundan, dan tinggal tersisa beberapa keluarga saja.

"Muka Ambu kusut betul kayak selendang belum disetrika," komentar Abah melihat istrinya duduk termenung di kursi bambu. "Ada apa?"

"Anak kita mau pergi ke kota."

"Biarkan saja," sahut Abah enteng sambil duduk di sisinya. "Sesekali keluar kampung tidak apa."

"Abah tahu malam apa ini?"

"Malam Jum'at kliwon."

"Malam ini adalah malam perjanjian."

"Kita sudah keluar dari klan Bimantara. Jadi tidak terikat dengan perjanjian leluhur."

"Bagaimana kalau mereka tahu tipu daya kita?"

"Orang pintar itu sudah menutup ruang dan waktu."

"Mereka bisa saja menembus tabir, dan dapat mengenali anak kita."

Abah terdiam seolah membenarkan ucapan istrinya.

"Anak kita kalau sudah berdandan kelihatan sekali sebagai putera bangsawan," kata Ambu.

"Aku juga."

"Kamu tidak pernah berdandan sejak anak kita lahir, dan aku mengganti panggilan dari Kang Mas jadi Abah. Untuk panggilan ini, aku merasa mengelabui diri sendiri."

"Aku juga merasa menipu diri sendiri memanggilmu Ambu, aku lebih suka panggilan Nyai."

"Hatiku mendadak tidak enak," ujar Ambu cemas. "Aku kuatir para utusan menjemput anak kita di pesta ulang tahun."

"Lalu apa usaha kita?"

"Aku tidak bisa melarang pergi karena pesta itu adalah pesta pacarnya. Anak kita suka sekali party dance. Maka itu kita harus cari akal agar ia gagal pergi."

Abah berpikir sejenak, kemudian bangkit dari duduknya sambil berkata, "Kasih tahu aku kalau ia keluar kamar."

"Abah mau ke mana?"

"Menguras bensin motor."

"Pasti ketahuan. Ia baru mengisi full."

"Ada cara lain."

Seumur-umur Abah belum pernah berbuat culas. Apa boleh buat, semua demi kebaikan anaknya. Ia agak gemetar saat mencopot sebuah kabel yang tersembunyi.

"Abah lagi apa?" tanya Jaka yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Ia hendak pamit.

Abah gelagapan. Ambu pasti lupa kasih kode. Dasar.

"Eee...Abah...Abah minta...bensin, ya bensin untuk obor main galah asin."

"Terang bulan begini masa pakai obor?"

"Kalau tertutup mega, pasti gelap."

"Ambil saja semuanya."

Abah melotot. "Terus kamu naik apa?"

"Taksi online," sahut Jaka. "Nabila sudah booking untuk antar jemput. Bagaimana kurang enaknya coba? Dibelikan baju bagus, dikasih uang saku, disuruh kecup bibir lagi pas tiup lilin. Abah begini sama Ambu dulu?"

Abah bengong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status