Share

05. Purnama Bersedih

Cerita penduduk tentang keangkeran hutan bunian ternyata mitos belaka. Mereka melewati hutan itu dengan lancar tanpa ada bunian yang memberhentikan mobil untuk menumpang ke kota atau sekedar tebar pesona.

Atau tidak ada bunian yang tertarik kepada mereka sehingga enggan untuk menampakkan diri? Bunian tahu yang mengendarai mobil ini adalah Fredy Erlangga, seorang pemuda yang berharap dapat bercinta dengan makhluk selain manusia.

"Giliran ditunggu-tunggu tidak muncul," kata Fredy kecewa. "Atau semua itu cuma omong kosong?"

Malam ini adalah malam yang seharusnya mereka muncul. Penduduk sampai tidak ada yang berani lewat setelah malam tiba, saking santernya cerita itu.

"Mereka ngeri melihatmu," ujar Jaka tersenyum. "Jadi tidak berani muncul."

"Wajahku seram ya?"

"Kelewat keren. Jadi mereka tidak percaya kalau kamu manusia."

"Aku tahu kamu lagi bicara tentang diri sendiri. Kamu tidak pantas jadi anak petani."

Aku memang bukan anak petani, sahut Jaka dalam hati. Aku anak saudagar kaya yang hartanya disedekahkan kepada ayahmu untuk menghindari perjanjian leluhur. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya karena kamu tidak tahu apa-apa.

Jaka dan Fredy adalah dua anak muda yang memiliki kepribadian bertolak belakang. Mereka tidak takut bertemu dengan makhluk bunian, tapi Jaka tidak berhasrat untuk bercinta dengannya, sementara Fredy sudah terobsesi semenjak dewasa. Ia bahkan menunggu kedatangan utusan dari kerajaan jin untuk menjemput. Maka itu ia berpakaian seperti pangeran.

Jaka berpakaian ala putera mahkota karena dibelikan Nabila model begitu. Jadi tidak ada pilihan. Ia tidak mungkin mengenakan pakaian yang ada di rumah, pesta ulang tahun pacarnya dihadiri kalangan borjuis.

"Sejujurnya pesonamu tidak bisa disembunyikan dengan memanggul cangkul," puji Ambu selesai berdandan tadi. "Mutiara tidak hilang kilaunya meski mandi lumpur."

"Jadi keinginan Ambu untuk membuat aku jelek gagal malam ini."

"Aku hanya ingin anakku terlepas dari perjanjian."

Ambu seharusnya bangga mempunyai menantu seorang puteri kerajaan. Kehidupan keluarga Paman Wikudara meningkat pesat sejak terpilih menjadi sang pangeran. Kepergiannya membawa berkah. Tapi Ambu lebih baik kehilangan semua harta daripada kehilangan anak semata wayang.

Jaka sebenarnya memiliki adik dua, tapi mereka meninggal waktu usia 5 dan 6 tahun. Barangkali orang tuanya trauma untuk mempunyai anak lagi. Kematian itu tidak perlu terjadi andai mereka tidak meninggalkan kota dan harta. Penanganan dokter jauh lebih memberi harapan dibanding dukun.

   

Kelap-kelip lampu yang membingkai nama hotel menyambut kedatangan mereka di pelataran lobi. Jaka turun dari dalam taksi, kemudian taksi melaju lagi menuju ke tempat parkir di basement.

Penerima tamu menuruni anak tangga lobi dengan langkah gemulai. Jaka kira dua perempuan cantik itu datang untuk menyambutnya, ternyata mereka melewatinya. Ia yang sudah bersiap-siap jadi melongo.

Sebuah mobil mewah keluaran terbaru berhenti di pelataran. Sopir segera keluar dan membukakan pintu belakang. Seorang pria berpenampilan gagah turun dari dalam mobil.

Gadis cantik itu ternyata tidak tertipu oleh casing. Mereka tahu mana orang miss queen dan mana crazy rich. Senyum dan rasa hormatnya seakan bermata.

Semua orang mengira pria itu adalah bangsawan terkemuka di kota ini, padahal seorang patih dari kerajaan jin yang menyamar. Mahameru dikawal oleh tiga prajurit pilihan, yaitu Brajaseta, Artasena, dan Linungga. Mereka adalah komandan pasukan kerajaan.

Utusan kerajaan itu mendapat kabar para bangsawan kota berkumpul di hotel bintang lima ini. Klan Bimantara juga hadir. Barangkali calon pangeran ada di antara tamu undangan. Malam ini mereka harus berhasil menjalankan titah baginda ratu.

Padahal orang yang dicari ada di depan mata, bahkan tersenggol oleh Mahameru. Pria itu tidak berusaha untuk minta maaf. Arogan sekali. Ia berjalan menaiki anak tangga lobi dengan gaya bangsawan nomor satu di kota ini.

Jaka jadi keki. Ia menyentuh bahu Linungga yang berjalan paling belakang. "Bro, bosmu saudagar barang pecah belah ya?"

"Kok tahu?"

"Mukanya kaku kayak tempayan."

Mahameru tidak terpancing. Ia tahu bangsa manusia hobi bullying, sesuatu yang sangat tabu di negeri jin, bisa perang antar bangsa. Hobi yang lagi trending di negerinya adalah mancing mania dengan caddy cantik.

Brajaseta yang temperamental datang menghampiri, dan bertanya, "Anda ngomong apa tadi?"

Jaka menjawab tanpa rasa takut sedikitpun, ilmu bela diri klan Bimantara cukup untuk menghadapi cecunguk macam begini, "Muka bos kalian hancur kayak tempayan pecah."

"Apa itu tempayan?"

Jaka usap-usap kepala. "Kalian manusia apa jin tidak tahu tempayan?"

Jaka bengong melihat mereka pergi meninggalkannya. Baru kali ini bangsawan tidak tersinggung dibilang jin. Padahal ia sudah siap-siap minta maaf dengan alasan khilaf.

Mahameru dan ketiga pengawalnya dipersilakan masuk dengan ramah oleh security yang berjaga di pintu. Giliran Jaka hendak masuk, security menahannya. "Maaf, Anda tidak boleh masuk."

Jaka kaget. "Loh kenapa? Saya bawa kartu undangan."

"Saya hanya menjalankan tugas. Tolong hargai saya."

"Anda mestinya hargai saya," balik Jaka kesal. "Saya ini pacar gadis yang merayakan ulang tahun."

"Saya hanya menjalankan perintah."

"Perintah siapa?"

"Aku," jawab Dirgantara sambil muncul di pintu dengan wajah angker. Beliau adalah papinya Nabila. "Kamu tidak layak ada di pesta anakku."

Jaka jadi mati gaya. Di pesta ini ia sebetulnya ingin menghindari pertemuan dengan komandan herder. Gonggongannya bikin panas kuping. Pria itu sengaja memelihara beberapa herder untuk memburunya jika nekat berkunjung ke rumah. Maka itu ia sebut komandan herder.

"Tidak tahu malu datang ke pesta dengan baju dari anakku," dengus Dirgantara sinis. "Jadi sopirnya saja kamu tidak pantas." 

Pria itu juga menggaji beberapa herder untuk mengintai gerak-gerik anaknya. Nabila sudah sembunyi-sembunyi pesan baju di butik secara online dan dikirim lewat paket, tapi masih terendus juga.

"Saya sebenarnya tidak tertarik menghadiri pesta puteri bapak," kata Jaka mencoba menahan malu dari jilatan mata tamu yang hendak masuk. "Nabila memaksa saya untuk datang."

"Dan aku memaksa kamu untuk pergi."

Setiap perlakuan Dirgantara sangat menyinggung harga diri. Ia pasti sudah mengabsen penghuni kebun binatang kalau bukan di tempat umum. Cinta berbeda kasta sungguh berat perjuangannya.

"Apa yang membuatmu masih berdiri di situ?"delik Dirgantara. "Lekas pergi."

Nabila muncul dari dalam dan menegur ayahnya, "Papi apa-apaan sih? Bikin malu saja."

"Kamu bikin malu," sergah papinya. "Anak gembel diundang. Kamu sudah merendahkan tamu lain."

"Ini pestaku! Aku berhak mengundang siapa yang kumau!"

"Kalau bicara soal hak, maka kamu juga harus bicara hak orang yang membayar semua ini."

"Baik! Silakan Papi berpesta dengan teman-teman Papi! Aku pergi!" Nabila berjalan ke luar pintu lobi dan mengajak Jaka pergi. "Kita rayakan berdua di tempat lain."

Jaka menolak. "Tempatmu di sini."

"Di sini kamu cuma dapat hinaan!"

"Karena tempatku bukan di hotel berbintang."

"Maka itu kita pergi."

Jaka memandangnya dengan lembut. "Kamu masih cinta aku?"

"Buat apa kamu tanya itu?"

"Kamu lanjutkan pestamu, biarkan aku pulang."

Mata Nabila berkaca-kaca. "Kamu jangan pulang."

"Ya sudah, aku tunggu di luar." Jaka menyerahkan buket bunga yang dipegangnya. "Happy birthday."

"Terima kasih." Nabila mengecup kuntum bunga dengan haru. "Kamu petik di halaman rumah ya?"

"Aku tidak cukup uang untuk membeli."

Dirgantara kelihatan sangat muak mendengar obrolan mereka.

"Masuklah," pinta Jaka. "Bersenang-senanglah di dalam."

Nabila belum beranjak juga dari tempatnya. Ia memandang kekasihnya dengan air mata mengalir pedih.

Dirgantara kehilangan sabar. Ia menarik puterinya masuk ke dalam lobi sambil berkata, "Acara segera dimulai."

Jaka memberi isyarat agar jangan membantah. Nabila pergi dengan berat hati. Tamu undangan membuntuti mereka.

Tinggallah Jaka sendiri terduduk lemas di pagar lobi merenungi nasib.

Mahameru keluar dari dalam lobi dan duduk di sisinya, kemudian berkomentar, "Purnama tertutup mega seakan bersedih melihat seorang laki-laki tercampakan."

Jaka tersenyum kecut. "Lumayan puitis juga. Aku kira orang kaku macam Anda tidak punya kata-kata manis."

"Aku bisa membawamu masuk sebagai tamuku."

"Pasti ada syaratnya."

"Aku sudah tanya semua tamu yang ada di dalam, tidak ada yang tahu orang yang kucari. Tinggal kamu belum ditanya. Apa kamu pernah dengar orang yang bernama Jaka Agusti Bimantara?"

"Aku sendiri."

Mahameru terdiam sejenak, kemudian berkata, "Purnama semakin bersedih."

"Kenapa?"

"Tampangmu kayak pangeran, otakmu kayak keran ... bocor." Mahameru bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Jaka. "Sekalian saja bilang kalau kau adalah Jaka Slebor."

"Lah, itu sebutan tetanggaku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status