Share

Dituduh Mencuri

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (5)

___________________________

 

 

Para pengendara banyak yang berhenti dan mulai mengerumuni tubuh Dea yang tergeletak di jalan. Beberapa pengendara lain, berusaha mengejar dua orang lelaki yang kuduga pelaku yang menyebabkan Dea terpelanting hingga ke tengah jalan.

 

Aku memutar motor dan berhenti tepat di depan tubuh Dea, segera kutelepon ambulans dan membawa Dea ke rumah sakit terdekat.

 

Kami berdua mengikuti laju ambulans yang terkesan berkejar-kejaran dengan pengendara lain. Suara sirine menggema di jalanan membuat para pengendara lain menyingkir dengan sigap.

 

Sesampainya di Rumah Sakit, Dea segera dilarikan ke UGD, dan kami menunggu sambil menanti kedatangan Mbak Anggi kesini.

 

Tangan Mbak Hanin bergetar ketika menekan nomor Mbak Anggi, kurasa wanita itu belum tau jika anaknya tengah mengalami kecelakaan.

 

"Assalamualaikum," ucap Mbak Hanin dengan menatap wajahku ragu.

 

"...."

 

"Ini Hanin, Mbak Anggi. Dea kecelakaan dan saat ini kami bawa ke rumah sakit," kata Mbak Hanin dengan menggigit bibir bawahnya.

 

"...."

 

"Rumah Sakit Harapan Bunda, saya tunggu di depan pintu masuk."

 

"...."

 

Mbak Hanin memasukkan ponsel miliknya ke dalam saku jaket yang dia kenakan.

 

"Gimana?" tanyaku memastikan.

 

"Otw kesini dia bilang, sepertinya Mbak Anggi sedang berkumpul dengan sekutunya. Rame banget di telepon," kata Mbak Hanin, "Bisa-bisanya lebih mentingin hangout daripada jemput anaknya ke sekolah," cecar Mbak Hanin kesal.

 

"Itu sudah bukan ranah kita, Mbak. Dia yang punya anak, terserah mau diapain anaknya, yang penting Karin mendapatkan didikan yang baik oleh ibunya," sahutku, membuat senyuman tipis terbit di bibir Mbak Hanin.

 

"Insyaallah, Mbak. Saya harap Karin bisa menjadi anak berbakti, dan rendah hati."

 

"Amiin."

 

Kami berdua menunggu di depan ruang UGD, dimana Dea sedang mendapatkan penanganan. Tidak lama setelah itu, ponsel milik Mbak Hanin berdering menampilkan nama mbak Anggi di layarnya yang lebar.

 

"Oke, saya kesana."

 

Mbak Hanin meminta ijin padaku untuk menjemput Mbak Anggi ke pintu masuk Rumah Sakit. Sementara Karin tertidur di pangkuanku mengingat kami belum sempat pulang karena kejadian Dea barusan. Sepertinya bocah ini kelelahan.

 

Dari kejauhan, kulihat Mbak Anggi berjalan cepat mengikuti langkah Mbak Hanin. Dia sampai tepat dengan dokter membuka pintu kamar dimana Dea berada.

 

"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Mbak Anggi panik.

 

"Keadaanya baik-baik saja, benturan di kepalanya Alhamdulillah tidak parah, dan bagian pelipisnya juga robek jadi harus mendapatkan sedikit jahitan." Jelas dokter cantik di depan mbak Anggi.

 

Mbak Anggi mengelus dadanya, mungkin merasa lega karena anaknya baik-baik saja.

 

Setelah dokter pergi, Mbak Anggi meringsek masuk ke dalam kamar Dea. Kami sengaja menunggu di luar, tidak etis rasanya langsung nyelonong masuk meskipun kami yang membantu Dea pasca kecelakaan tadi.

 

"Kemana kalung anak saya?" ucap Mbak Anggi dengan menatap nyalang ke arahku.

 

"Apa maksutmu, Mbak? Kami bahkan tidak tahu menahu tentang kalung Dea," sahutku jujur. Ketika mengikuti Dea ke rumah sakit, aku bahkan tidak memperhatikan satu per satu emas yang bocah kecil itu pakai. Terakhir aku memindai semua perhiasannya ketika Dea baru saja keluar dari gerbang rumah sakit. Jangan-jangan dua lelaki tadi....

 

"Jangan bohong! Kalian sengaja ngambil kesempatan dalam kesempitan kan? Kalian bersekongkol mencuri kalung Dea, ngaku!" teriak Mbak Anggi, membuat beberapa pasang mata menatap heran ke arahku dan Mbak Hanin. Karin yang sejak tadi tertidur, tiba-tiba terbangun mendengar teriakan dari mulut Mbak Anggi.

 

"Hati-hati kalau berbicara, Anggi!" sengaja aku memanggil namanya tanpa embel-embel 'mbak', dadaku bergemuruh hebat mendengar tuduhan konyol yang dia lontarkan. "Bukannya berterima kasih kami sudah membawa anak kamu itu ke rumah sakit, kamu malah menuduh kami yang bukan-bukan," lanjutku sengit.

 

Dada Mbak Anggi terlihat naik turun. Tangannya mengepal mendengar aku menyangkal tuduhannya.

 

"Seharusnya dengarkan dulu seperti apa penjelasan kami, kenapa Dea bisa sampai kecelakaan begitu," ucapku lagi.

 

"Aku sudah tau! Kalian memaksa mengambil kalung Dea, sehingga anakku terjatuh dan terluka kepalanya," seloroh Mbak Anggi sekonyong-konyong, membuat tanganku ingin sekali menampar wajahnya yang memerah.

 

"Aku bisa melaporkanmu dengan pasal pencemaran nama baik," ancamku, seketika Mbak Anggi tertawa lebar mendengar penuturan dariku.

 

"Woy, Endang! Kalau ngayal jangan ketinggian, miskin aja sok-sokan mau melaporkanku ke polisi," sahut Mbak Anggi dengan menjetikkan jarinya di depan mukaku.

 

Mbak Hanin mencekal lenganku, membuat mulutku yang sempat terbuka harus terkatup lagi.

 

"Yang ada malah aku yang akan melaporkan kalian ke kantor polisi, sudah miskin, mental pencuri pula!" cibir Mbak Anggi.

 

Plak!

 

"Sekali lagi kamu menuduh kami mencuri, kupastikan hidupmu belingsatan saat ini juga!" ancamku geram.

 

Mbak Anggi memegang pipi kirinya, matanya memerah setelah mendapat tamparan dariku.

 

"Pergi kalian! Dasar tetangga miskin, lihat saja, sesampainya kalian di rumah, polisi akan langsung menjemput kalian berdua. Kupastikan itu!" teriak Mbak Anggi dengan menuding telunjuknya ke arah lorong pintu keluar rumah sakit.

 

Aku tersenyum menyeringai, "Aku tunggu, kita lihat siapa yang akan malu dan hancur," sahutku menantang, membuat tetangga sok kaya itu mendengkus kesal.

 

Aku menarik tangan Mbak Hanin yang sedang menggandeng tubuh Karin untuk pergi meninggalkan rumah sakit. Percuma saja kami membantu jika ujung-ujungnya hanya mendapatkan tuduhan sebagai pencuri.

 

Kita lihat saja siapa yang bakal menanggung malu, karena aku tahu, di jalan depan sekolahan Karin terdapat CCTV yang terpasang di salah satu lampu APILL, tempat para murid menyeberang jalanan menuju ke sekolahan.

 

"Halo, Pa. Papa pulang sekarang, anak kita sedang di rumah sakit, kita harus melaporkan orang yang sudah membuat Dea celaka," sindir Mbak Anggi ketika aku dan Mbak Hanin mulai berjalan menjauhinya. Dia menatapku dengan senyuman menyeringai, lalu mengacungkan satu jempolnya yang dibalik ke bawah.

 

Oke, elo jual, gue beli! Kita lihat siapa yang akan malu nanti. Kamu ... atau aku, Mbak Anggi!

 

Sepanjang perjalanan pulang, Mbak Hanin hanya diam. Aku mengerti kerisauan hatinya, bagaimana jika Mbak Anggi serius dengan ucapannya?

 

Aku sengaja langsung membawa ibu dan anak itu pulang ke rumah, kasihan mereka, hari sudah semakin siang, tentu Karin sangatlah lelah. Setelah mengantar Mbak Hanin di depan rumahnya, aku kembali ke rumah dan menelpon Kang Di-- orang kepercayaan keluargaku. Aku ingin dia meminta rekaman CCTV di depan sekolahan Karin, dua jam yang lalu. Tepat, saat Dea mengalami kecelakaan.

 

"Assalamualaikum, Kang. Lagi dimana?" tanyaku ketika panggilan sudah diangkat.

 

"Waalaikumsalam, Neng. Lagi di pabrik, ada sedikit masalah," jawab Kang Di, dari seberang sana.

 

Aku mengerutkan kening, apa ini ada hubungannya dengan penuturan Mbak Hanin tadi, jika pabrik milik keluargaku sedang mengalami krisis.

 

Sengaja aku mengesampingkan urusan pabrik, karena ada yang lebih penting hari ini. Mbak Angga harus diberi pelajaran.

 

"Saya mau minta tolong, datang ke sekolah Harapan, minta rekaman CCTV dua jam yang lalu," ucapku tanpa basa-basi. Urusan pabrik, aku yakin Mas Danu dan Krisna akan mengurus semuanya.

 

"Baik, Neng. Segera meluncur!" jawab sigap Kang Di. Lelaki paruh baya yang bekerja selama puluhan tahun untuk keluargaku. Selain cekatan, Kang Di merupakan lelaki yang pandai bela diri. Meskipun hanya tamatan SD, aku akui, otaknya begitu cerdas dalam menyelesaikan masalah. Tak jarang, Mas Danu pun sering meminta bantuan pada Kang Di atas beberapa kasus. 

 

Aku menyimpan kotak kue di lemari piring setelah sebelumnya selesai kucuci bersih. Gegas menuju kamar mandi, karena sebentar lagi Mas Danu akan pulang.

 

Berkali-kali aku mengecek ponsel, barangkali Kang Di sudah berhasil meminta hasil rekaman CCTV yang kuminta tadi.

 

Drttt ... Drttt ....

 

Sebuah pesan masuk ke dalam nomorku. Setelah kulihat, ternyata dari nomor lain, nomor yang belum tersimpan di gawaiku karena tidak menampilkan nama sang pemilik nomor.

 

[Bersiap-siaplah, polisi sedang menuju ke rumahmu]

 

 

Apa ini Mbak Anggi? Darimana dia tahu nomorku? Ah, iya aku lupa, sehari setelah pindah ke sini, Bu RT meminta nomor teleponku untuk berjaga-jaga jika sedang ada kepentingan pada warganya. Aku yakin, dia meminta nomor teleponku dari Bu RT, karena hanya beliau yang memiliki nomor ponselku saat ini.

 

[Yakin sekali kamu jika aku akan tertangkap?] balasku geram. Dadaku bergemuruh mengingat tuduhan yang Mbak Anggi lontarkan tadi. Jika saja bukan di Rumah Sakit, sudah kutampar pipinya tanpa ragu.

 

[Tentu saja! Pencuri sepertimu tidak boleh dibiarkan berkeliaran, apalagi di kampungku]

 

Aku tersenyum miris, lagi-lagi dia mengatakan jika aku adalah pencuri.

 

[Harus kamu tahu, Mbak Anggi! Kemungkinan besar, kalung Dea sudah di jambret orang. Itu sebabnya tubuhnya sampai terpelanting, akibat dari salah seorang penjambret yang menarik kalung di lehernya] Kucoba untuk memberinya pengertian lagi, barangkali sekarang otak Mbak Anggi sudah lebih jernih karena kondisi Dea yang membaik.

 

[Pencuri memang pandai sekali bersilat lidah! Setelah mengatakan tidak tahu, sekarang kau bilang anakku dijambret? Kini aku yakin, jika memang kamu pencurinya. Bersiap-siaplah mendekam di penjara]

 

Aku menghembuskan napas kesal. Salahkah jika aku mengatakan kemungkinan, karena aku sendiri tidak mengetahui secara jelas kronologi yang menyebabkan Dea terpelanting hingga berdarah-darah. Apalagi tentang kalung, bisa jadi jatuh ketika perjalanan menuju Rumah Sakit, bisa juga opsi pertamaku tadi yang benar.

 

Drttt ... Drttt ....

 

Kali ini, nomor asing sedang memanggil nomorku. Bukan Mbak Anggi, karena nomor ini baru lagi. Kenapa tiba-tiba banyak nomor baru masuk ke dalam ponselku?

 

"Assalamualaikum," ucapku setelah menggeser ikon menerima panggilan.

 

"Pencuri ternyata bisa mengucapkan salam, saya tidak menyangka jika kamu terobsesi ingin memiliki perhiasan, sampai kalung anak jeng Anggi pun kamu curi," cibirnya di seberang sana.

 

Kutekan notifikasi rekam, barangkali panggilan ini akan berguna nantinya.

 

"Ini siapa?" tanyaku berusaha tidak terpancing emosi.

 

"Tak perlu kamu tahu siapa aku, yang jelas aku malu sekali di kampung tercintaku ini ada seorang pencuri. Jika ingin memiliki perhiasan, minta pada suamimu yang miskin itu, jangan nekat mencuri seperti tadi, kasihan sekali, sudah miskin harus masuk penjara pula," ucapnya panjang lebar.

 

Tanpa mendapat jawaban pun, aku tahu jika ini Bu Hajjah Aminah. Logat bicaranya kentara sekali.

 

"Berhati-hatilah dalam berbicara, jangan sampai tuduhanmu ini membuat masalah besar dalam hidupmu, apa kamu memiliki bukti jika aku yang sudah mengambil perhiasan Dea?" kataku, masih berusaha tidak terpancing emosi. 

 

"Tidak perlu bukti lain lagi, kemiskinan kaluargamu sudah menjadi bukti kuat, jika perhiasan Dea, kamu yang mengambil. Kasihan sekali karena suamimu yang tidak mampu membelikan perhiasan, sampai kamu harus nekat mencuri," sahutnya semakin pedas.

 

Gigiku bergemeletuk mendengar cemoohan Bu Hajjah Aminah. Wanita yang kutaksir berusia 36 tahun itu, dengan pongahnya menyimpulkan permasalahan yang sedang menimpaku. 

 

"Jika sampai aku terbukti tidak bersalah, kupastikan kamu yang akan menggantikanku mendekam di jeruji besi!" ujarku dengan mengepalkan tangan.

 

Suara di seberang sana terdengar tertawa terbahak-bahak, tidak hanya satu suara, melainkan ada suara tawa yang lain. Itu artinya, Bu Hajjah Aminah tidak sendirian ketika meneleponku.

 

"Halu! Kami para warga yang terkenal kaya di kampung ini, tentu akan segera mengusirmu jika sampai polisi tidak bisa menemukan bukti jika kamulah pelakunya. Jangan macam-macam dengan orang beruang seperti kami, dasar miskin!" cibirnya membuat senyuman tipis di bibirku.

 

"Baiklah, kita lihat saja siapa yang lebih beruang!" 

 

Tut!

 

Aku mematikan panggilan sepihak. Meladeni sekutu Mbak Anggi sama halnya dengan sedang melakukan senam jantung. Dadaku berdenyut nyeri mendengar semua cemoohan Bu Hajjah Aminah.

 

[Mimpi! Jangan berangan-angan mampu menyaingi kekayaanku, suamiku adalah atasan di pabrik tekstil Endan Group, kamu tahu kan?]

 

Setelah dua kali tak kuangkat panggilan Bu Hajjah Aminah, wanita itu mengirim pesan pedas kepadaku. Sepertinya, dia memang sengaja ingin memprovokasi kemarahanku.

 

Drrt ...

 

Kulihat lagi ponsel yang bergetar, ternyata pesan dari Kang Di. Setelah kubuka, segaris senyuman terbit di bibirku. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas gambar Dea dari saat dia berdiri sendirian di bahu jalan, sampai datanglah dua lelaki menggunakan motor Vixsal dan menarik paksa kalung di lehernya, membuat tubuh mungil Dea terpelanting.

 

Kusimpan bukti dengan baik sembari menunggu kedatangan polisi seperti yang sedang mbak Anggi janjikan.

 

Drttt ... Drttt ....

 

Panggilan dari Mas Danu, tumben sekali dia?

 

 

 

 

Bersambung

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Amir Wp
kutunggu lanjutannya
goodnovel comment avatar
Iren Rogate
bersilat lidah adalah alibi yang kuat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status