Share

Kecelakaan Anak Anggi

last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-22 11:54:56

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (4)

___________________________

 

Aku terbatuk-batuk akibat debu kenalpot motor milik Bu Andin. Mereka benar-benar keterlaluan kali ini!

 

Mbak Hanin menghampiriku dengan raut muka cemas. Ditatapnya para tetangga yang semakin menjauh mengendarai motor.

 

"Kamu nggak papa, Mbak En?" tanya Mbak Hanin seraya menepuk-nepuk punggungku lembut.

 

Aku menggelengkan kepala samar dan mencoba menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. 

 

"Benar-benar orang kaya yang sombong," celetuk Mbak Hanin gemas. 

 

"Suatu saat mereka akan dapat balasannya," gumamku lirih dengan menatap punggung milik Bu Andin dari kejauhan.

 

"Apa, Mbak? Maaf, saya nggak dengar, celingukan nyari Karin, tuh temen-temennya udah keluar semua," kata Mbak Hanin sambil menunjuk pada murid sekolah yang mulai berhamburan ke luar.

 

Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum. Mataku pun turut celingukan mencari sosok Karin.

 

"Mama ...," teriak Karin lantang, dia berlari menghambur di pelukan mamanya.

 

Gadis kecil itu menangis sesenggukan, membuat kami berdua saling berpandangan dan mengerutkan kening. 

 

Mbak Hanin mengusap kepala putrinya lembut dan memeluk Karin erat. Tanpa terasa, sudut mataku ikut mencair, mungkin begini rasanya jika punya anak. Ketika anak sedih, kita juga ikut merasakannya. Semoga Allah segera menitipkan benih di rahimku, Amin!

 

"Kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mbak Hanin lembut pada Karin yang sudah sedikit reda tangisannya.

 

"Teman-teman jahat, Ma. Masa nggak ada yang mau berteman sama Karin gara-gara ayah cuma seorang satpam," celetuk Karim sendu.

 

Deg!

 

Hatiku teriris mendengar anak sekecil Karin harus mengalami sangsi sosial. Strata di kampung ini begitu ditentukan oleh pekerjaan penduduknya. Padahal belum tentu yang memiliki pekerjaan mapan, kehidupannya juga ikut mapan. Banyak sekali yang mempunyai pekerjaan mapan, justru banyak cicilan menunggu untuk dibayarkan.

 

"Memang siapa yang bilang, Nak?" tanya Mbak Hanin lagi.

 

"Dea, Ma. Anaknya Tante Anggi, dia bilang ke teman-teman kalau nggak boleh mainan sama aku," jawab Karin sedih.

 

"Mbak Anggi tetangga kita?" bisikku pada Mbak Hanin, wanita muda itu mengangguk lemas.

 

"Astaghfirullah," gumamku lirih. Tidak menyangka jika anak Mbak Anggi memiliki mulut yang tidak jauh berbeda dengan ibunya. Benar-benar didikan yang ekstrim.

 

"Emang kenapa kalau ayah Karin hanya seorang satpam, kan pekerjaan satpam itu halal," kataku mencoba menghibur Karin yang masih cemberut.

 

"Kata Dea, pekerjaan satpam itu memalukan, Tante. Nggak kayak papa Dea yang bekerja sebagai bos," sahut Karin.

 

"Sayang, semua pekerjaan itu nggak ada yang memalukan asal dicapai dengan cara yang halal. Satpam itu termasuk pekerjaan mulia loh, mereka bekerja menjaga keamanan tempat," jawabku panjang lebar.

 

Mata Karin berbinar mendengar aku memuji pekerjaan ayahnya. Kulihat Mbak Hanin menyeka sudut matanya.

 

"Jadi pekerjaan ayah Karin itu nggak memalukan ya, Tante," tanya gadis kelas 1 SD itu dengan polosnya.

 

Aku mengangguk mantap, "Tentu saja, kalau teman-teman Karin bilang pekerjaan satpam itu memalukan, berarti mereka itu salah. Tanpa satpam, mungkin suatu tempat tidak bisa aman," kataku.

 

Senyum lebar terbit di wajah Karin. Mbak Hanin memeluk putrinya erat dan mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut.

 

"Itu yang namanya Dea, Tante," Karin menunjuk gadis kecil seusianya yang berjalan menuju ke luar gerbang sekolah.

 

Aku memperhatikan penampilan anak berusia 7 tahunan itu. Dandanannya tidak pantas disematkan pada anak sekecil Dea. Rambutnya tergerai lurus, aku yakin hasil dari smoothing, karena lurusnya nampak tidak natural. Di lehernya tergantung kalung panjang dengan bandul huruf 'D', dan satu gelang melingkar di masing-masing pergelangan tangannya. Belum lagi cincin yang tersemat di jari tengah dan manisnya. Berlebihan sekali, bagaimana jika ada orang jahat yang mengincar?

 

Dea melengos ketika matanya bersiborok dengan Karin. Mulutnya mencebik, dan rambutnya dia kibaskan dengan satu tangan.

 

Cukup lama kami berdiri di depan sekolahan Karin, karena ternyata banyak para wali murid yang membeli dagangan kue kami. Bersyukur rejeki hari ini lumayan banyak. Kue-kue kami habis tak bersisa. 

 

Kami bersiap untuk pulang, kulihat Karin sudah terlihat lelah karena menunggu kami berjualan. Suasana sekolahan sudah sedikit lenggang, hanya ada beberapa siswa yang masih menunggu jemputan, termasuk Dea. Anak kecil itu berdiri dengan pongahnya, mungkin menunggu Mbak Anggi, entahlah!

 

Satu per satu siswa mulai pergi dengan jemputan mereka, tapi tidak dengan Dea. Anak kecil itu masih menunggu di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup.

 

Aku menghampirinya hendak menawarkan tumpangan. Kasihan, anak sekecil Dea harus menunggu sendirian di sini.

 

"Mau bareng sama Tante aja nggak? Sekolahan udah mulai sepi, daripada nunggu mama kamu kelamaan," tawarku pada gadis ayu yang menatapku dari atas hingga bawah. Tatapan matanya begitu mengintimidasi.

 

Memang, selama bertetangga dengan mbak Anggi, aku belum sempat bertemu dengan Dea. Ini kali pertama kami berjumpa, mungkin respon yang dia berikan hanya kekhawatiran semata karena menganggap aku orang asing. Tapi bukankah dia lihat di ujung sana ada Karin?

 

"Nggak mau! Tante pasti saudaranya Karin. Orang miskin!" cibir Dea, membuatku memegang erat dada dan mengusapnya perlahan.

 

Pantaskah anak seusia Dea mengatakan hal demikian?

 

"Ya sudah kalau nggak mau, Tante pergi dulu ya, hati-hati," kataku sambil berlalu membawa luka dari ucapan anak sekecil Dea.

 

Saat motor kami melaju, kudengar suara teriakan dari arah belakang dan disusul sebuah motor yang jalannya ngebut sedang ditumpangi dua orang lelaki bertubuh kekar.

 

Aku menghentikan motor dan melihat ke arah dimana Dea berada.

 

"Astaghfirullah'," ucapku dengan mata membeliak.

 

Beberapa orang yang sedang lewat menghentikan kendaraan mereka dan mendekat ke arah gadis kecil yang kini tergeletak di samping jalan dengan kepala berceceran darah.

 

"Dea," gumamku lirih. Membuat Mbak Hanin ikut menoleh ke belakang.

 

Mbak Hanin menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak melihat pemandangan di depannya.

 

 

Bersambung

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
ceritanya sangat menarik sekali...
goodnovel comment avatar
Henney Pebruaida
hati² Dea. belajar jadi orang baik. yang jahat jangan di tiru ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Akhir Cerita

    PoV Endang *** Tidak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Hari ini, hari dimana Krisna akan melepas masa lajangnya bersama Hana. Kentara sekali raut bahagia Krisna, begitupun Ibu dan Ayah. Pihak keluarga Hana pun demikian. Aku menyesal sekali karena tidak mencegah kepergian Bu Andin waktu itu. Siapa yang menyangka jika Kenan, lelaki yang ambisius dengan Hana malah membunuh Bu Andin dengan menjatuhkannya ke dalam jurang. Sehari setelah proses pertunangan Krisna dan Hana, kami sekeluarga kelelahan dan menonton acara berita bersama. Bagai dihantam godam yang besar, saat aku mendengarkan sebuah siaran tentang seorang wanita yang dibuang di kawasan puncak. Penyiar televisi mengatakan nama Bu Andin karena kebetulan dompet korban memang masih berada di saku celana. Mataku membeliak lebar kala itu, benar saja, setelah tayangan pengangkutan jenazah, tidak lama, orang tua korban turut diwawancarai, tidak salah lagi. Itu orang tua Bu Andin. Aku berteriak memanggil Mas Danu yang kebetulan seda

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Menjelang Tamat

    PoV Author***Acara pertunangan Krisna dan Hana berjalan dengan lancar. Banyak sekali pose foto yang berhasil dibidik untuk mendokumentasikan hari bahagia mereka. Sengaja, beberapa tetangga dari kampung Endang, mereka undang, termasuk Hanin, Fifi, dan Bu Hajjah Halimah, juga Pak RT beserta istrinya. Dan masih banyak lagi.Memang, acara pertunangan ini dimeriahkan, mengingat Krisna adalah putra bungsu keluarga Bastian. Mereka sudah lama tidak mengadakan acara semewah ini setelah pernikahan Endang beberapa tahun yang lalu.Beruntung rumah Tini memiliki halaman yang luas. Sehingga nuansa alam menjadi pilihan utama mereka dalam menyelenggarakan acara penting ini. Tak lupa pula, Hartini datang anak-anaknya, Endang yang mengundang mereka."Masya Allah, ini baru acara lamaran udah meriah kayak gini ya," celetuk Hanin, menatap takjub pada dekorasi pertunangan Krisna dan Hana."Horang kaya mah bebas, Mbak Han!" sahut Fifi cekikikan. Endang menonjok pelan lengan Fifi, membuat wanita itu mering

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Akhir Cerita Halimah

    PoV Author *** Para tetangga yang masih termasuk sanak saudara Fatma, membopong tubuh Halimah untuk dibaringkan di kamar. Kasak-kusuk tetangga mulai terdengar, mereka mengasihani nasib Halimah yang tragis. Menurut para tetangga, Halimah adalah sosok wanita pekerja keras. Siapa sangka, justru Halimah adalah perusak rumah tangga orang lain. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan mengimani bahwa apa yang sudah Halimah terima kini adalah karma dari perbuatannya sendiri. Halimah merusak rumah tangga Hartini demi mendapatkan uang. Bukan kehidupan yang terjamin untuk Ibu dan anaknya, justru kematian putranya yang dia dapatkan. Suaminya bermain api dengan wanita lain. Sama persis dengan apa yang sudah Halimah perbuat. Rumah Fatma bahkan belum sempat di renovasi karena semua uang kiriman dari Halimah harus dikelola lagi oleh Rusdi-- suami sah Halimah. Rusdi sengaja membangun rumah di kampung sebelah, di atas tanah peninggalan orang tua Cantika, selingkuhannya. Mereka sengaja mengeruk uang ki

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Kesedihan Halimah

    PoV Author***Halimah berjalan gontai menuju ke jalan raya. Dia merutuki kebodohannya yang belum sempat mengamankan semua aset Suryono selama ini. Memang, kebutuhan Halimah dan keluarganya di kampung terpenuhi dengan baik, tapi tetap saja, dia merasa rugi karena pergi meninggalkan rumah Suryono tanpa membawa satu pun harta. Hanya perhiasan yang masih melekat di tubuhnya."Sialan! An-jing! Bisa-bisanya Hartini dan Endang mempermalukan diriku seperti ini!" dengkus Halimah kesal. Meskipun secara sadar dia tahu jika Endang tidak ada hubungannya dengan pengusiran warga terhadap dirinya, tetap saja, nama Endang selalu terlihat buruk di mata Halimah."Lihat saja, aku akan kembali untuk menuntut harta gono-gini!" gumam Halimah dengan menggerakkan giginya.Beruntung dompetnya berada

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Kena Mental

    ***PoV HalimahDua hari lagi acara lamaran Krisna dan Hana akan dilangsungkan. Aku bersyukur, Hana mau menerima Krisna sebagai pendamping hidupnya, mengingat keluarga kami yang sudah menyebabkan Mang Kosim meninggal.Hana gadis yang baik, aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik pula untuk Krisna. Apalagi adik manjaku itu selalu melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Semoga Hana bisa membawa Krisna ke jalan yang Allah ridhoi.Kasus Pak Ferdinan berjalan dengan lancar. Dia dan para anak buahnya kini mendekam di penjara. Begitu juga dengan Reina, entah bagaimana nasibnya nanti ketika akan melahirkan. Membayangkan saja sudah bikin perutku mulas.Bu Hajjah Aminah sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari perilakunya kepada keluargaku se

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Halimah Terusir

    PoV Author***"Katakan, Ma. Apa kamu selama ini tidak mengirimkan uang pendidikan untuk anak-anakku?!" bentak Suryono sengit. Halimah meneguk ludahnya kasar, belum pernah Suryono berkata dengan nada tinggi sebelumnya.Halimah melirik ke arah para tetangganya yang sudah berkerumun di depan rumahnya. Sudah kepalang malu, sekalian saja dia tunjukkan dirinya yang sebenarnya."Memang kenapa? Anak kamu udah ada ibunya, jangan manjain mereka dengan mengirimkan uang. Bukannya dibuat biaya pendidikan, malah dibuat foya-foya sama Emaknya!" sindir Halimah, membuat Hartini semakin meradang. Pasalnya, sejak Suryono meninggalkan dirinya dan juga anak-anaknya, Hartini banting tulang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, karena memang biaya pendidikan ketiga anaknya sudah ditopang oleh Suryono selaku Ayah mereka."Gi-la nggak sih, udah merebut seorang Ayah dari anaknya, eh, uang untuk biaya pendidikan pun ikut diembat juga!" seloroh tetangga Halimah."Nggak nyangka banget deh, ternyata Bu Halimah

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Kisah Krisna dan Hana

    PoV Author***"Kamu dan Hana pergi saja, Kris. Cari seserahan sekalian cincin untuk pertunangan besok lusa." Endang melirik ke arah Krisna yang nampak malu-malu tapi mau. Sementara Hana hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi usulan dari Endang."Betul itu! Jangan apa-apa kamu serahin ke Mbak-mu! Bisa cepet tua dia nanti!" seloroh Mas Danu, Endang mendelik ke arah suaminya yang malah cekikikan.Hana ikut tertawa melihat Danu yang menggoda Endang, begitupun Tini dan Bastian, mereka merasa bahagia sebentar lagi anak bungsunya akan bertunangan."Ibu sudah membicarakan semuanya dengan Ibu Hana, Kris. Jadi persiapan sudah kami siapkan dengan matang. Tinggal kamu dan Hana aja, buruan cari cincin nikah. Atau kalau mau cari seserahan yang Hana mau, belikan! Jangan pelit sama calon mantu ibu!" hardik Tini pada Krisna, pipi Hana bersemu merah mendapat kasih sayang yang tulus dari keluarga Krisna. Apalagi Hana adalah anak dari lelaki yang sudah mengorbankan nyawanya demi keluarga Bastian.Kri

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Ternyata Pelakor?

    PoV Author***Jdor!Jdor!Jdor!"Halimah, keluar kamu!" teriak seorang wanita dengan menggedor pintu rumah Halimah."Dasar pelakor, keluar kamu dari rumah ini. Ini rumah suamiku!" Mendengar keributan, para tetangga bergegas keluar dan mencoba menenangkan seseibu yang sedang marah-marah di depan rumah Halimah. Pak RT dan istrinya mendekati wanita tersebut dan meminta untuk tenang."Bagaimana saya bisa sabar, Halimah itu pelakor! Dia sudah merebut suami saya!" ujar wanita itu lantang.Halimah tidak kunjung keluar, dia bersembunyi di dalam kamar karena takut kedoknya selama ini terbongkar."Tapi Bu Halimah sudah memiliki suami, mana mungkin dia merebut suami ibu," sela tetangga baik Halimah.Wanita yang memperkenalkan dirinya dengan nama Hartini itu melotot ke arah tetangga baik Halimah."Suami yang mana maksut kamu, hah?!"Hartini berkacak pinggang di hadapan para tetangga Halimah. Pasalnya, semua tetangga memang tidak tahu, jika suami Halimah yang tak lain adalah Suryono adalah suam

  • Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan   Terbongkarnya Kebohongan Andin

    PoV Author.***"Maaf, Bu. Saya menemukan kejanggalan pada gangguan yang Bu Andin alami," ujar seorang psikiater pada kedua orang tua Andin.Jamilah dan Husni saling berpandangan. Masih mencoba mencerna apa maksut dari ucapan dokter cantik di depannya."Maksut saya, Bu Andin tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang Ibu dan bapak keluhkan.Saya bisa menilai dari cara dia menjawab semua pertanyaan saya dengan detail. Tatapan matanya bukan tatapan mata kosong seperti orang dengan gangguan jiwa pada umumnya. Juga, dia tidak sibuk dengan dunianya seperti pasien ODGJ lainnya. Saya rasa, Bu Andin hanya sedang menyembunyikan sesuatu dari kalian selaku orang tuanya.Saran saya, Bapak dan Ibu bicarakan ini baik-baik dengan Bu Andin. Karena ketika laporan saya nanti ma

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status