Share

Bab. 6

Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku."

Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian.

Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru.

Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?"

"Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi."

Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya."

Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare.

"Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang meluap-luap Chloe meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju toilet.

Ansley, Reagan dan Luke yang baru saja bergabung kini berjalan bersama menuju kantin kampus.

Di sisi lain.

Dengan ekspresi tegang dan tangan yang sangat sibuk, Dean sedang berkutat dengan pekerjaan kantor yang cukup membuatnya menguras pikiran. Saking sibuknya lelaki berkaca mata dan rambut mulai beruban itu lupa untuk makan siang.

Drttt... Drttt...

Getaran ponsel spontan membuatnya terkejut. Dengan cepat Dean segera menoleh dan melihat nama di layar ponsel. "Alex, kebetulan sekali dia menelepon," katanya pelan. Dengan cepat ia menekan tombol hijau untuk menyambungkan panggilan, "Halo?"

"Halo, Mr. Stewart, apa kabar? Maaf jika aku mengganggumu."

Dean berdiri mendekati dinding kaca. "Tidak apa-apa. Kabarku baik, Anda sendiri? Semua anggota keluarga Anda sehat-sehat, bukan?"

"Iya, kabar kami semua sangat baik. Terima kasih."

"Syukurlah kalau begitu, ngomong-ngomong ada apa? Tumben Anda menghubungiku di jam begini?"

Tawa Alex terdengar. "Kumohon tidak usah formal, Dean. Kita sudah lama bersahabat dan sebentar lagi akan menjadi besan."

"Baiklah, kalau begitu," balas Dean seraya tertawa, "Tapi karena kau yang memulai, aku hanya mengikuti."

"Aku hanya ingin meledekmu saja. Ngomong-ngomong aku menghubungimu karena ada hal yang ingin kubicarakan."

Ekspresi Dean berubah. "Soal apa?"

"Apa kau sudah bicara dengan putrimu soal perjodohan yang kita lakukan tempo hari?"

Dean tersenyum lega. "Kalau soal itu kau tenang saja, justru sejak kemarin aku ingin menghubungimu dan membicarakan hal ini. Putriku sudah setuju dengan perjodohan itu, tapi dia ingin bertemu putramu setelah kuliahnya selesai."

"Oh, tidak masalah. Kalau memang itu yang diinginkan putrimu aku setuju. Itu pilihan yang bijaksana, Dean. Ngomong-ngomong Clare masuk universitas mana? Levon juga sekarang ada di Eropa."

Dean terkejut. "Benarkah? Sejak kapan? Kenapa kau tidak pernah bilang padaku? Aku sekarang ada di Eropa bersama keluargaku dan kami di sini sudah lama sejak setelah menikah."

"Maafkan aku, Dean, aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku pikir kau dan Kensky akan menetap di Amerika."

Dean tersenyum. "Tidak, seminggu setelah menikah aku dan Kensky memutuskan pindah ke sini. Ngomong-ngomong Levon ada di mana sekarang?"

"Kalau begitu memang sesuatu yang sudah ditakdirkan, dia kuliah di universitas kalian. Dia ambil fakultas ekonomi dan managment, maklum. Dia kan calon CEO."

"Kau sedang tidak bercanda, kan?" ledek Dean.

"Tidak, memangnya kenapa?"

Senyum Dean melebar. "Mereka satu kampus, Alex. Anak kita berarti satu kampus."

"Kau serius, Dean?"

"Iya. Clare baru kemarin mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru. Sekarang ini dia sedang mengikuti kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus."

"Levon pasti senang jika tahu calon istrinya ternyata satu kampus dengannya."

"Hei, kau lupa? Putriku belum ingin bertemu dengannya. Jadi lebih baik kau rahasiakan hal ini dari Levon."

"Oh, iya. Baiklah, kalau begitu aku akan menghubungimu lagi. Aku harus menyampaikan kabar gembira ini kepada istriku."

Di sisi lain.

Setelah mencuci muka dan tangan tiba-tiba Clare merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Ada kelembaban yang ia rasakan di bagian sensitif bersamaan sakit di perutnya.

"Perasaan ini belum waktunya. Kenapa tiba-tiba perutku sakit, ya?"

Takut jika dirinya sudah datang bulan Clare bergerak dan masuk ke dalam toilet. Kebetulan di sana hanya dirinya sendiri, Clare dengan bebas memilih toilet mana yang akan ia kunjungi untuk ditempati. Begitu tiba di dalam Clare segera melepaskan celana dan memeriksanya. Baru saja ia ingin menatap bagian tengah panties, tiba-tiba sesuatu pun terjadi.

Zet!

Semua lampu padam. Clare yang tahu dirinya hanya sendiri langsung berteriak karena terkejut. Sadar hal itu bukan keisengan orang, ia pun kembali tenang dan menunggu sampai lampunya hidup.

Karena sudah beberapa menit lampu tak kunjung hidup, Clare memutuskan untuk mengambil ponsel kemudian menyalakannya. Setelah memeriksa bagian panties yang ternyata bersih dan tidak ada bercak darah ia segera mengenakan kembali celananya lalu bersiap keluar.

Clek!

Mata Clare melotot. "Hei! Siapa di luar?"

Clek! Clek!

"Hei, siapa di luar? Buka pintunya, aku ingin keluar!"

Clek! Clek!

Clare kesal. Meski dalam keadaan gelap dan sendirian tidak ada rasa takut sedikit pun dalam dirinya. Ia kembali membuka pegangan pintu, tapi hasilnya sama.

Clek! Clek! Clek!

"Jangan bercanda! Aku yakin kalian pasti akan menyesal telah melakukan ini kepadaku," teriaknya.

Marah karena pintu tak bisa dibuka dan lampu tak kunjung hidup, Clare akhirnya duduk di atas kloset dengan tenang sambil menunggu seseorang untuk datang menolongnya.

Di sisi lain.

Ansley, Reagan dan Luke sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Karena hari ini adalah kegiatan terakhir mereka ketiga mahasiswa itu membahas soal rencana puncak yang akan mereka laksanakan minggu depan.

"Apa sebaiknya kita adakan di puncak saja?" kata Luke, "Ketua, bukannya ayahmu punya vila di kota ini? Bagaimana kalau kita adakan acara puncaknya di sana saja?"

Reagan menatap Ansley. "Menurutmu?"

Wanita itu mengangkat bahu. "Itu terserahmu. Tapi kalau kau ingin sesuatu yang berbeda dari tahun sebelumnya, itu ide yang bagus menurutku."

"Halo!"

Suara Chloe dari arah belakang membuat mereka bertiga menoleh.

"Kalian kok tidak mengajakku?" Gadis itu ingin mengambil posisi di samping Reagan. Tapi karena ada Ansley yang duduk di sampingnya, mau tidak mau ia duduk di samping Luke.

"Kami sedang membicarakan soal acara puncak," kata Ansley, "Luke menyarankan kalau acaranya diadakan saja di vila milik Reagan."

Wajah Chloe mendadak berubah. "Itu ide yang bagus. Anggap saja kita liburan, kegiatan kampus beberapa hari ini membuatku sakit kepala. Jadi saat ini aku memang butuh liburan."

Reagan tak merespon. Ansley hanya tertawa, sedangkan Luke menatap aneh ke arah Chloe.

"Perasaan kau tidak melakukan apa-apa, kenapa kau sakit kepala?" kata Luke.

"Iya dong, Luke. Aku kan___"

Drttt... Drttt...

Bunyi getaran ponsel Ansley menghentikan suara Chloe.

"Maaf, tunggu sebentar," kata Ansley seraya merogoh ponsel dari saku celananya. Dilihatnya nama Clare sebagai pemanggil. "Halo?"

"Kau bisa ke sini? Toiletnya terkunci dari luar dan aku tidak bisa keluar."

"Apa?! Baik, aku akan segera ke sana."

Mendengar suara panik Ansley mengundang mata Reagan untuk menatapnya. "Ada apa, Ans?"

"Clare terkunci di toilet," jawab Ansley sambil berdiri.

Reagan mengerutkan alis. "Clare? Siapa dia?"

"Maaf, maksudku Agatha."

Zet!

Reagan dan Luke terkejut. Dengan cepat mereka berdiri dan mengajak Ansley.

"Ayo, kita ke sana."

"Kalian mau ke mana? Kalian kok tega meninggalkan aku!" teriak Chloe.

Mereka bertiga tak menjawab dan langsung meninggalkannya.

Chloe yang masih di posisinya pun hanya bisa diam sambil menatap tajam. "Reagan, Reagan. Untuk apa juga Reagan ikut-ikutan menolong gadis itu, dia tidak pantas untukmu."

Bersambung___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status