Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku."
Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian.
Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru.
Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?"
"Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi."
Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya."
Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare.
"Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang meluap-luap Chloe meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju toilet.
Ansley, Reagan dan Luke yang baru saja bergabung kini berjalan bersama menuju kantin kampus.
Di sisi lain.
Dengan ekspresi tegang dan tangan yang sangat sibuk, Dean sedang berkutat dengan pekerjaan kantor yang cukup membuatnya menguras pikiran. Saking sibuknya lelaki berkaca mata dan rambut mulai beruban itu lupa untuk makan siang.
Drttt... Drttt...
Getaran ponsel spontan membuatnya terkejut. Dengan cepat Dean segera menoleh dan melihat nama di layar ponsel. "Alex, kebetulan sekali dia menelepon," katanya pelan. Dengan cepat ia menekan tombol hijau untuk menyambungkan panggilan, "Halo?"
"Halo, Mr. Stewart, apa kabar? Maaf jika aku mengganggumu."
Dean berdiri mendekati dinding kaca. "Tidak apa-apa. Kabarku baik, Anda sendiri? Semua anggota keluarga Anda sehat-sehat, bukan?"
"Iya, kabar kami semua sangat baik. Terima kasih."
"Syukurlah kalau begitu, ngomong-ngomong ada apa? Tumben Anda menghubungiku di jam begini?"
Tawa Alex terdengar. "Kumohon tidak usah formal, Dean. Kita sudah lama bersahabat dan sebentar lagi akan menjadi besan."
"Baiklah, kalau begitu," balas Dean seraya tertawa, "Tapi karena kau yang memulai, aku hanya mengikuti."
"Aku hanya ingin meledekmu saja. Ngomong-ngomong aku menghubungimu karena ada hal yang ingin kubicarakan."
Ekspresi Dean berubah. "Soal apa?"
"Apa kau sudah bicara dengan putrimu soal perjodohan yang kita lakukan tempo hari?"
Dean tersenyum lega. "Kalau soal itu kau tenang saja, justru sejak kemarin aku ingin menghubungimu dan membicarakan hal ini. Putriku sudah setuju dengan perjodohan itu, tapi dia ingin bertemu putramu setelah kuliahnya selesai."
"Oh, tidak masalah. Kalau memang itu yang diinginkan putrimu aku setuju. Itu pilihan yang bijaksana, Dean. Ngomong-ngomong Clare masuk universitas mana? Levon juga sekarang ada di Eropa."
Dean terkejut. "Benarkah? Sejak kapan? Kenapa kau tidak pernah bilang padaku? Aku sekarang ada di Eropa bersama keluargaku dan kami di sini sudah lama sejak setelah menikah."
"Maafkan aku, Dean, aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku pikir kau dan Kensky akan menetap di Amerika."
Dean tersenyum. "Tidak, seminggu setelah menikah aku dan Kensky memutuskan pindah ke sini. Ngomong-ngomong Levon ada di mana sekarang?"
"Kalau begitu memang sesuatu yang sudah ditakdirkan, dia kuliah di universitas kalian. Dia ambil fakultas ekonomi dan managment, maklum. Dia kan calon CEO."
"Kau sedang tidak bercanda, kan?" ledek Dean.
"Tidak, memangnya kenapa?"
Senyum Dean melebar. "Mereka satu kampus, Alex. Anak kita berarti satu kampus."
"Kau serius, Dean?"
"Iya. Clare baru kemarin mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru. Sekarang ini dia sedang mengikuti kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus."
"Levon pasti senang jika tahu calon istrinya ternyata satu kampus dengannya."
"Hei, kau lupa? Putriku belum ingin bertemu dengannya. Jadi lebih baik kau rahasiakan hal ini dari Levon."
"Oh, iya. Baiklah, kalau begitu aku akan menghubungimu lagi. Aku harus menyampaikan kabar gembira ini kepada istriku."
Di sisi lain.
Setelah mencuci muka dan tangan tiba-tiba Clare merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Ada kelembaban yang ia rasakan di bagian sensitif bersamaan sakit di perutnya.
"Perasaan ini belum waktunya. Kenapa tiba-tiba perutku sakit, ya?"
Takut jika dirinya sudah datang bulan Clare bergerak dan masuk ke dalam toilet. Kebetulan di sana hanya dirinya sendiri, Clare dengan bebas memilih toilet mana yang akan ia kunjungi untuk ditempati. Begitu tiba di dalam Clare segera melepaskan celana dan memeriksanya. Baru saja ia ingin menatap bagian tengah panties, tiba-tiba sesuatu pun terjadi.
Zet!
Semua lampu padam. Clare yang tahu dirinya hanya sendiri langsung berteriak karena terkejut. Sadar hal itu bukan keisengan orang, ia pun kembali tenang dan menunggu sampai lampunya hidup.
Karena sudah beberapa menit lampu tak kunjung hidup, Clare memutuskan untuk mengambil ponsel kemudian menyalakannya. Setelah memeriksa bagian panties yang ternyata bersih dan tidak ada bercak darah ia segera mengenakan kembali celananya lalu bersiap keluar.
Clek!
Mata Clare melotot. "Hei! Siapa di luar?"
Clek! Clek!
"Hei, siapa di luar? Buka pintunya, aku ingin keluar!"
Clek! Clek!
Clare kesal. Meski dalam keadaan gelap dan sendirian tidak ada rasa takut sedikit pun dalam dirinya. Ia kembali membuka pegangan pintu, tapi hasilnya sama.
Clek! Clek! Clek!
"Jangan bercanda! Aku yakin kalian pasti akan menyesal telah melakukan ini kepadaku," teriaknya.
Marah karena pintu tak bisa dibuka dan lampu tak kunjung hidup, Clare akhirnya duduk di atas kloset dengan tenang sambil menunggu seseorang untuk datang menolongnya.
Di sisi lain.
Ansley, Reagan dan Luke sedang menikmati makan siang di kantin kampus. Karena hari ini adalah kegiatan terakhir mereka ketiga mahasiswa itu membahas soal rencana puncak yang akan mereka laksanakan minggu depan.
"Apa sebaiknya kita adakan di puncak saja?" kata Luke, "Ketua, bukannya ayahmu punya vila di kota ini? Bagaimana kalau kita adakan acara puncaknya di sana saja?"
Reagan menatap Ansley. "Menurutmu?"
Wanita itu mengangkat bahu. "Itu terserahmu. Tapi kalau kau ingin sesuatu yang berbeda dari tahun sebelumnya, itu ide yang bagus menurutku."
"Halo!"
Suara Chloe dari arah belakang membuat mereka bertiga menoleh.
"Kalian kok tidak mengajakku?" Gadis itu ingin mengambil posisi di samping Reagan. Tapi karena ada Ansley yang duduk di sampingnya, mau tidak mau ia duduk di samping Luke.
"Kami sedang membicarakan soal acara puncak," kata Ansley, "Luke menyarankan kalau acaranya diadakan saja di vila milik Reagan."
Wajah Chloe mendadak berubah. "Itu ide yang bagus. Anggap saja kita liburan, kegiatan kampus beberapa hari ini membuatku sakit kepala. Jadi saat ini aku memang butuh liburan."
Reagan tak merespon. Ansley hanya tertawa, sedangkan Luke menatap aneh ke arah Chloe.
"Perasaan kau tidak melakukan apa-apa, kenapa kau sakit kepala?" kata Luke.
"Iya dong, Luke. Aku kan___"
Drttt... Drttt...
Bunyi getaran ponsel Ansley menghentikan suara Chloe.
"Maaf, tunggu sebentar," kata Ansley seraya merogoh ponsel dari saku celananya. Dilihatnya nama Clare sebagai pemanggil. "Halo?"
"Kau bisa ke sini? Toiletnya terkunci dari luar dan aku tidak bisa keluar."
"Apa?! Baik, aku akan segera ke sana."
Mendengar suara panik Ansley mengundang mata Reagan untuk menatapnya. "Ada apa, Ans?"
"Clare terkunci di toilet," jawab Ansley sambil berdiri.
Reagan mengerutkan alis. "Clare? Siapa dia?"
"Maaf, maksudku Agatha."
Zet!
Reagan dan Luke terkejut. Dengan cepat mereka berdiri dan mengajak Ansley.
"Ayo, kita ke sana."
"Kalian mau ke mana? Kalian kok tega meninggalkan aku!" teriak Chloe.
Mereka bertiga tak menjawab dan langsung meninggalkannya.
Chloe yang masih di posisinya pun hanya bisa diam sambil menatap tajam. "Reagan, Reagan. Untuk apa juga Reagan ikut-ikutan menolong gadis itu, dia tidak pantas untukmu."
Bersambung___
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."
"Kalau diskors mungkin aku percaya, tapi kalau sampai dikeluarkan aku rasa itu tidak mungkin."Ansley menelan habis isi gelasnya sebagai alasan untuk memikirkan apa yang tepat untuk jawaban dari perkataannya sendiri. Tidak mungkin jika dia harus mengakui bahwa ayah Clare-lah pemilik kampus itu. Apalagi Clare sendiri telah melarangnya untuk tidak membongkar informasi tersebut kepada siapapun.Setelah isi gelasnya habis Ansley membersihkan mulutnya dengan tisu lalu berkata, "Kan kau tahu sendiri Reagan adalah anak dari salah satu investor terbesar di kampus ini. Sekali saja keluhan yang dikatakan Reagan rektor pasti akan segera bertindak. Apalagi kesalahan yang dilakukan Chloe bukan hal biasa, tapi dia telah mengunci gadis yang disukai Reagan.""Kau benar, berarti sebentar lagi perang akan segera dimulai.""Perang, maksudmu?"Luke menatap Ansley. "Chloe sangat mencintai Reagan dan dia tidak akan pernah mengijinkan satu pun gadis di kampus ini yang bo
"Memangnya kenapa? Dia hanya mahasiswi biasa yang masih baru di kampus ini, Ans," kata Chloe dengan nada meremehkan. Luke dan Reagan hanya menggeleng kepala melihat sikap Chloe yang begitu sombong. "Dia memang mahasiswi baru di kampus ini, tapi kau sendiri yang melihat bagaimana emosi rektor saat tahu kau menguncinya di dalam toilet?" "Apa jangan-jangan dia juga anak salah satu investor di kampus ini?" tanya Luke, "Investor kampus ini kan banyak." Reagan terkejut dan menatap Ansley. "Apa itu benar?" Gadis itu menelan ludah. Seandainya Clare tidak memperingatkannya mungkin saat ini dengan bangga ia akan membuka latar belakang Clare yang sebenarnya kepada mereka agar Chloe tidak meremehkannya lagi. Tapi karena sahabatnya itu sudah memperingatkannya Ansley pun terpaksa memendam informasi itu sampai batas kemampuannya. "Aku tidak tahu, sumpah. Tapi coba kalian pikir secara logika, mana mungkin kalau dia hanya orang biasa rektor akan marah-
Soraya tersenyum lebar. "Aku baik-baik saja, aku hanya sedang mengingat nama kerabat saya. Awalnya aku pikir nama orangtuamu sama dengan nama kerabatku yang kebetulan tinggal di sini juga tapi ternyata tidak. Nama belakang kalian memang sama, tapi nama depannya bukan. Maaf, tadi aku cukup kaget mendengar nama belakangmu yang kebetulan sama dengannya.""Oh," balas Clare.Soraya berpamitan. "Baiklah, aku harus pergi. Sampai nanti.""Iya. Hati-hati, Nyonya.""Terima kasih."Clare pun melanjutkan kembali aktivitasnya untuk membersihkan mobil.Soraya dengan cepat berjalan ke depan kampus untuk mencari taksi. Tak menunggu lama taksi pun melintas dan Soraya menaikinya."Selamat sore, Bu. Mau ke mana?" tanya si supir dengan nada sopan.Soraya marah. "Aku belum ibu ya, Pak! Panggil saja nyonya. Jalan saja, nanti kalau sudah di depan aku akan mengatakannya."Si supir merasa bersalah. "Baik, Nyonya."Dengan tergesa-gesa Sora
"Tadi dia dipanggil rektor karena ketahuan menguncimu di kamar mandi. Awalnya aku dan Luke berpikir Reagan yang melaporkannya, ternyata setelah kami tanya Regan bilang tidak. Terus mulai besok dia diskorsing selama sebulan dan tidak boleh mengikuti kegiatan kampus bersama kita."Alis Clare berkerut. "Benarkah? Kalau memang bukan Reagan yang melaporkannya lalu dari mana rektor tahu dia yang melakukannya?""Aku rasa ada seseorang yang melaporkannya ke rektor. Kau tahu, tadi dia bilang rektor sangat marah padanya. Dia berpikir Reagan yang telah melaporkannya kepada rektor karena sikap beliau yang sangat jelas begitu membelamu."Clare tertawa. "Syukurlah kalau begitu. Setidaknya itu pelajaran buat dia agar berhenti mengerjaiku.""Tapi, Clare, sepertinya mereka mulai curiga padamu.""Curiga bagaimana maksudmu?""Mereka berpikir bahwa kau bukan mahasiswi biasa di kampus ini. Luke dan Reagan beranggapan bahwa kau mungkin adalah anak salah satu inve
"Aku ingin kau menyelidikinya. Aku tidak mau dia berpacaran dengan wanita lain di universitas selain wanita yang kujodohkan dengannya. Apalagi sekarang gadis itu kuliah di univrrsitas yang sama, aku takut Reagan akan mengencani wanita lain dan gadis itu mengetahuinya kemudian mengadukan kepada ayahnya. Aku tidak ingin perjodohan mereka dibatalkan, Dim." "Kau tenang saja, aku akan menyelidikinya." "Terima kasih, Dim." Tut! Tut! Lelaki memutuskan panggilannya lalu membuang napas panjang. Ia hendak berdiri, tapi getaran ponsel kembali terdengar. Drtt... Drtt... Lelaki itu menoleh ke arah meja dan menatap layar yang ternyata dari Reagan. Tanpa berlama-lama ia menggeser tombol hijau untuk menyambungkan panggilan "Ada apa?" "Dad kau di mana?" "Aku di kantor, ada apa?" Ia kembali mendudukan tubuhnya ke kursi dan bersandar. "Ada yang ingin kutanyakan mengenai relasinya Daddy." Alisnya berkerut. "Relasi apa?" "Para investor universi