Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley.
Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka.
"Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke.
"Clare, kamu di mana?" pekik Ansley.
Klik!
Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala.
"Aku di sini!"
Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?"
Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
"Sepertinya ada yang sengaja menguncimu di dalam," tanggapan Reagan mengundang mata Clare dan Ansley untuk melihatnya, "Sakelar lampunya sengaja dipadamkan, mungkin ada orang yang memang sengaja ingin mengerjaimu," kata Reagan.
Pikiran Clare tertuju kepada Chloe. "Aku tahu siapa orangnya," katanya pelan.
Ansley terkejut. "Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan temanmu," bisik Clare. Tak ingin dirinya semakin terancam karena adanya Reagan di situ, ia segera merapikan rambut lalu berkata, "Aku harus ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas. Terima kasih banyak atas bantuan kalian."
Ansley hendak menahannya, tapi Clare segera berjalan dan meninggalkan tempat itu.
Luke kesal. "Temanmu itu tidak tahu terima kasih, sudah ditolong malah pergi begitu saja."
"Kau tuli?" kata Reagan dengan wajah garang, "Dia tadi sudah berterima kasih."
Ansley mendekati kedua pria itu dan mengajak mereka keluar. Begitu tubuh mereka tiba di depan pintu utama masuk toilet ia menjawab dengan suara pelan, "Dia hanya menghindar agar tidak ada lagi masalah susulan."
Alis Reagan berkerut. "Maksudmu?"
"Sepertinya ada yang cemburu jika kau dekat-dekat dengannya. Tak mungkin orang itu mencelakaimu, dia melakukan hal ini kepada Clare untuk melampiaskan rasa sakit hatinya."
Mata Reagan menyipit. Ia tahu siapa yang melakukannya dan tampak marah saat membayangkan siapa sosok tersebut. Tanpa berkata apa-apa Reagan pun segera bergerak meninggalkan Ansley dan Luke.
"Hei, kau mau ke mana?" teriak Luke.
"Kalian tunggu di kelas, aku akan kembali," balas Reagan.
Ansley dan Luke hanya bisa menatap tubuh tinggi Reagan yang menghilang di balik tembok koridor.
"Apa menurutmu Regan tahu siapa pelakunya?" tanya Luke kepada Ansley, "Reagan pasti akan mencari orang itu dan memberinya pelajaran."
"Aku saja bisa langsung tahu siapa pelakunya, apalagi Reagan. Ayo, kita ke kelas. Takutnya Reagan sudah ke sana, tapi kita tidak ada.
"Baiklah, ayo."
Di sisi lain.
Dalam sebuah rumah yang besar dan mewah wanita yang bernama Ellena sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Kakinya mulus yang saling bertumpang itu ditutupi gaun panjang berwarna creame. Ibu tiga anak itu masih sangat cantik meski usianya tak muda lagi.
"Halo, Sayang!"
Suara Alex mengejutkan istrinya. Ia mendongak menatap sang suami lalu melepaskan majalah dan kacamata. Alisnya berkerut-kerut tanda penasaran. "Ada apa? Sepertinya kau sedang bahagia, Sayang."
"Tentu saja," jawab Alex kemudian mengambil posisi di samping istrinya, "Aku punya kabar baik, ini tentang anak kita Levon."
"Oh, iya? Kabar apa?"
Alex menarik napas sebelum memulai. "Tadi aku menghubungi Dean dan membahas perjodohan anak kita. Kata Dean putrinya sudah setuju, hanya saja gadis itu belum mau bertemu Levon sampai kuliahnya selesai. Dia baru saja masuk kuliah, jadi itu artinya anak kita harus menunggu berapa tahun lagi baru bisa bertemu dengannya."
"Itu keputusan yang bijaksana, lagi pula saat ini Levon juga masih kuliah. Tapi, apa kau yakin anak kita mau menunggu selama itu?"
"Aku rasa dia mau. Lagi pula biarkan dia bebas sebelum menikah. Jadi, aku rasa ini keputusan yang bagus jika mereka memang harus menunggu beberapa tahun lagi sebelum bertemu. Meski sebenarnya mungkin mereka setiap hari sudah saling bertemu dan bertatap muka."
"Maksudmu?"
"Clare kuliah di universitas mereka. Itu artinya mereka kuliah di kampus yang sama, Sayang. Bukankah ini kabar gembira?"
Ekspresi Ellena berubah cemerlang. "Ini kabar baik, Alex. Tapi bagaimana kalau mereka tidak bertemu? Apa sebaiknya aku harus memberitahu Levon, agar___"
"Jangan, Sayang," sergah Alex, "Dean memintaku untuk tidak membocorkan hal itu kepadanya. Biarkan saja dulu seperti ini sampai waktunya tiba di mana mereka akan bertemu dan tahu bahwa mereka adalah calon pasangan suami-istri."
"Aku ragu, Sayang."
"Ragu kenapa?"
"Setidaknya kalau Levon tahu calon istrinya ada di satu kampus yang sama, dia pasti tidak akan melirik gadis lain."
Alex merangkul istrinya. "Kau tenang saja, putra kita tidak akan lupa dengan janjiannya."
Ellena pun tersenyum dan melingkarkan kedua tangan di perut suaminya. "Aku sangat bahagia, Sayang. Sebentar lagi anak bungsu kita akan segera menikah."
Alex tak menjawab. Ia hanya tersenyum kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Ellena.
***
Drttt... Drttt...
Bunyi getaran ponsel dari saku celana mengejutkan Mr. Harvest. Perlahan ia melepaskan sebelah tangannya dari tubuh sang istri untuk merogoh benda itu. Dilihatnya nama Reagan sebagai pemanggil.
"Siapa?" tanya Mrs. Harvest.
"Reagan."
Wanita itu tersenyum. "Tumben, mungkin ada hal penting. Tidak biasanya dia menghubungi kita di jam seperti ini."
Dengan cepat Mr. Harvest menekan tombol hijau untuk menyambungkan panggilan. "Ada apa?" ia terus menyimak apa yang dijelaskan anaknya, "Baiklah. Kalau begitu besok daddy akan menghubungi Dimitry untuk mengurusnya."
"Sungguh? Oh, terima kasih. I love you, Daddy."
Tut! Tut!
Alis Mr. Harvest bekerut-kerut sambil menatap layar ponsel yang kini menunjukkan fotonya bersama sang istri.
"Ada apa?" tanya Mrs. Harvest penasaran.
Mr. Harvest menatapnya. "Dia bilang i love you padaku. Bukankah itu aneh?"
Mrs. Harvest tertawa. "Aneh, bagaimana? Dia kan anakmu."
"Iya, tapi kan tidak biasanya."
"Mungkin dia sedang bahagia. Apa kau telah mengambulkan permintaannya?"
Lelaki itu tersenyum. "Dia hanya ingin menggunakan vila untuk acara kampusnya."
Mrs. Harvest terkejut. "Dia bilang begitu?"
"Iya. Karena dia sebagai ketua panitia dan besok adalah acara puncak mereka, dia ingin mengadakan acara itu di vila kita."
Mrs. Harvest mengalihkan pandangan ke arah lain. "Kalau anak kita tampak sebahagia itu pasti ada sesuatu yang membuatnya menarik, Sayang."
"Maksudmu?" tanya Mr. Harvest.
"Aku rasa ada hal yang lebih menarik dari acara itu. Aku sangat tahu Reagan, acara itu hanya khiasan saja dan yang utama baginya bukan acara itu."
Mr. Harvest membuang napas panjang. "Itu wajar kalau dia bahagia, kan dia akan menghabiskan waktu bersama teman-temannya."
"Justru itu, Sayang. Coba kau pikir kenapa dia sampai sebahagia itu ketika kau mengijinkannya menggunakan vila?" tanya Mrs. Harvest.
Mr. Harvest tampak berpikir. "Aku rasa itu hal yang wajar saja. Bukan begitu?"
Wanita itu menggeleng. "Aku rasa ada sesuatu yang menarik perhatian Reagan daripada acara itu dan kemungkinan hal itu adalah perasaan. Aku curiga Reagan sudah jatuh cinta kepada teman kampusnya, Sayang. Ingat, anak kita siswa tampan dan populer di kampus itu dan tidak sedikit gadis-gadis yang pasti ingin mendekatinya. Apalagi mungkin para mahasiswi baru itu cantik-cantik. Kita memang tidak melihat, tapi dari ucapan dan luapan yang Reagan ungkapkan tadi itu sudah cukup membuatku berpikir. Itu aneh, Sayang."
Ekspresi Mr. Harvest berubah datar. "Baiklah, besok aku akan menyuruh Dimitry untuk menyelidikinya. Dia tidak boleh berkencan dengan perempuan lain, dirinya sudah disiapkan untuk seseorang."
Bersambung___
Begitu sapu tangan yang sama ditemukannya ia segera mendekati kembali dan mendekati ranjang.Sejenak ia terdiam sambil menatap Clare yang tersaji di atas ranjang. Ia sangat bahagia karena wanita yang sangat ia dampakan itu sebentar lagi akan menjadi istrinya."Apa yang kau lakukan, Reagan?" tanya Clare saat tangan pria itu menyentuh kaki kanannya."Aku akan mengikatnya. Kenapa?""Kau tidak perlu melakukannya.""Selama tidak ada dalam aturan game aku rasa tidak masalah."Clare tak menjawab. Dalam hati ia mengutuk dirinya karena tak sempat membuat aturan sebelum game dimulai.Reagan kembali tersenyum. Sambil mengikat kaki Clare ia menatap bagian kewanitaan yang mulus dan berwarna pink itu.'Brengsek,' katanya dalam hati, 'Kalau bukan karena game ini aku sudah menidurimu sejak tadi, Clare. Kau membuatku bergairah.'"Selesai?" tanya Clare setelah Reagan selesai mengikat ke dua kakinya. Ia bisa membayangkan dengan posisi terkangkang dan terikat seperti itu pasti Reagan akan leluasa membala
Clare tak menjawab. Perlahan ia merayap di tubuh Reagan hingga kepalanya sejajar dengan bagian keras dan besar milik Reagan.Reagan mulai gelisah. Dilihatnya pandangan Clare begitu licik saat menatap bagian itu. "Apa yang kau lakukan?"Lagi-lagi Clare tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menyentuh pucuk bagian itu dengan lidahnya."Oh," desah Reagan. Matanya terpejam saat rasa dingin mulai merambat ke batangnya yang keras, "Clare, kau curang. Kau melanggar aturan, Sayang."Clare menghentikan permainan lidahnya. Sambil menatap Reagan ia berkata, "Curang bagaimana, hah? Kan aku sedang memijat.""Memijat?" Reagan terkekeh, "Itu bukan memijat, Sayang. Tindakanmu seperti itu seakan-akan sengaja membuatku kalah.""Itu salahmu. Kau kan tinggal menahannya saja biar tidak kalah."Baru hendak menjawab Reagan langsung terdiam saat Clare memasukan semua bagian itu ke mulutnya.Clare tak peduli. Sambil menggerakan mulut dan kepalanya ia terus menatap Reagan dengan pandangan penuh kemenangan."H
Dengan senyum menggoda Claren mengambil botol minyak tubuh yang ada di atas nakas.Reagan yang merasa permainan akan segera dimulai segera memadamkan lampu utama kemudian menyalahkan lampu tidur berwarna kuning.Aroma pewangi ruangan dan cahaya lampu membuat suasana kamar begitu intim.Setelah Reagan mengatur posisi tubuhnya dengan tengkurap, Clare melepaskan jubah mandi hingga tubuh tanpa sehelai benangnya pun terlihat di bawah redum cahaya lampu.Clare mendekati Reagan. Ia menaiki ranjang lalu menuangkan minyak ke telapak tangan. "Aku mulai dari kaki saja, ya?"Reagan memejamkan mata. "Terserah kamu."Claren pun mulai mengoles minyak itu di bagian betis dan pergelangan Reagan dengan tangannya yang lembut."Kau mendapatkan ide ini dari mana?" tanya Reagan sambil menikmati setiap elusan tangan Clare.Clare tersenyum. "Aku terobsesi saat kita pacaran dulu. Kita berdua harus menahan gairah karena kau takut aku masih kuliah. Aku rasa saling menyentuh dan menahan gairah akan sangat menyen
Clare menoleh.Zet!Wajahnya membeku dan tubuhnya terpaku saat melihat Reagan masuk dengan senyum yang sangat lebar."Ini dia calon prianya. Ayo, duduklah," kata Dean.Kensky dan lainnya tersenyum sambil menatap Clare yang masih berdiri seperti patung.Clare masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. 'Reagan? Reagan adalah calon suamiku?' batinnya, 'Pria yang dijodohkan denganku adalah pacarku?'"Clare? Apakah kau akan terus berdiri?" Suara Dean mengejutkannya, "Calon suamimu sudah datang. Kenapa kau tidak duduk?"Air mata bahagia lolos di matanya. "Kalian ... apa kalian semua mengerjaiku?"Suara tawa memenuhi ruangan."Maafkan kami, Sayang."Reagan yang merasa bersalah langsung berdiri mendekati Clare. "Kita sama-sama dikerjai, Sayang. Wanita yang selama ini telah dijodohkan mommy dan daddy denganku adalah kamu."Clare menangis. "Benarkah?"Reagan mengangguk. "Iya. Aku ingin minta maaf, kata-kataku kemarin pasti sudah membuatmu sakit."Clare menangis lagi. "Aku pikir kau
Kensky tak menjawab. Ia melepaskan pelukan lalu menghapus air kata Clare. "Jangan sedih lagi, ya. Siapa tahu pria pilihan mami dan papi mengobati luka di hatimu saat ini. Mungkin Reagan telah mengecewakanmu, tapi sebagai orang tua mami berharap pria ini tidak akan pernah mengecewakanmu."Clare tak menjawab."Bersiaplah, sebentar lagi mereka akan datang. Mami sudah menghubungi Ansley, dia akan membantumu berdandan malam ini."Tok! Tok!Bunyi ketukan pintu yang terbuka membuat mereka berdua menoleh."Halo, apa aku mengganggu?"Suara Ansley membuat Kensky tersenyum. "Masuklah, Sayang," Kensky menatap Clare, "Mami tinggal dulu. Ans, tolong buat Clare membuang semua kesedihan di wajahnya dan gantikan dengan senyuman terbaik, ya.""Siap, Tante."Jika Ansley begitu bersemangat, Clare justru sebaliknya. Ia tak menjawab bahkan tak menyapa Ansley meski wanita itu sudah tersenyum lebar kepadaya.Seandainya pria yang akan datang melamar itu adalah Reagan Harvest pasti saat ini ia sudah kegirangan
Perkataan ibunya membuat Reagan terkejut.Tuan Harvest berkomentar. "Sebenarnya ini belum waktunya kami membicarakan masalah pernikahan kalian, tapi calon mertuamu ingin mempercepat pernikahan putrinya. Mereka takut kau atau putrinya akan terlibat cinta dengan orang lain. Jadi besok malam kita akan menemui mereka dan langsung melakukan lamaran."Lagi-lagi Reagan terpaku. Setelah syoknya kembali ia berkata, "Boleh aku mengungkapkan sesuatu?"Tuan dan nyonya Harvest menyimak. Mereka menatap Reagan dengan pandangan penasaran.Reagan menarik napas panjang. "Aku mencintai anak pemilik universitas. Namanya Clare Agatha Stewart. Daddy pasti tahu dia dan Daddy sangat menenalnya. Aku sangat mencintainya Daddy dan aku tidak akan mau menikah jika wanita itu bukan dia."Ekspresi tuan dan nyonya Harvest berubah.Reagan berkata lagi, "Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintanya. Aku sangat mencintai Agatha dan kami saling mencintai."***Di dalam kamar yang besar dan sejuk sambil berbaring Clar