Share

Makin Ngeselin

4. SUAMI DAN MERTUA TAK TAHU AKU BANYAK UANG

 

Mohon dukung cerbungku ya dengan cara klik SUBSCRIBE DAN RATE BINTANG LIMA sebelum membaca.

 

Makin Ngeselin

 

Aku masuk ke dalam dengan hati yang teramat jengkel, sudah sering dihina sekarang motor baruku mau dirampas pula, apa dua manusia itu tak punya hati.

 

"Hei, Amira, aku belum selesai ngomong!" teriak Mas Heri.

 

Tak dihiraukan gegas aku berlari ke kamar memanggil Nasya.

 

"Ayo, Nas, ikut Mama pergi."

 

Gadis kecil itu mengangguk lalu mengikutiku di belakang.

 

"Kamu mau ke mana, Amira?!" teriak Mas Heri saat langkahku sudah di ambang pintu keluar.

 

Mas Heri mencekal lengan Nasya, mungkin tujuannya agar aku tak pergi dan terus saja berdebat dengannya hingga mulut ini berbusa.

 

"Malang banget sih nasib kamu, Heri, punya istri songong begitu, mending kalau kaya seperti Rista, anak tukang daging aja belagu!" celetuk ibu, seolah mengiris-iris hatiku.

 

"Aku mau pergi! Kepalaku bisa pecah kalau terus-terusan di rumah!" tegasku sambil memandang dua orang itu dengan tajam.

 

Segera menarik tangan Nasya hingga cekalan Mas Heri terlepas, lalu menurunkan motor dari teras dan menaikinya, beberapa saat kemudian aku langsung tancap gas walau Mas Heri dan ibu masih mengumpat di belakang.

 

Hari ini hari Jum'at maka aku pasti libur jualan seperti biasa, sengaja saja tak buka kios tiap hari karena ingin istirahat.

 

Di jalan air mataku menitik tanpa diminta, tanpa dipungkiri hati ini merana memiliki suami dan mertua seperti itu, tak ada kehangatan dalam rumah kami, yang ada panas seperti di neraka.

 

Aku menyeka air mata dengan sebelah tangan, jangan sampai Nasya melihat air mata ini dan mengira bahwa aku seorang ibu yang lemah.

 

"Ma, kita mau ke mana?" tanya Nasya sedikit berteriak, maklum jika naik motor maka suara bising angin akan terdengar lebih jelas.

 

"Kita mau ke rumah Nenek, mau pesen daging buat bikin pentol entar malam," jawabku.

 

Sampai di sana ibu dan bapak terlihat sedang duduk santai di teras, mereka pun sama jika hari Jum'at maka akan libur jualan di pasar.

 

"Assalamualaikum." 

 

Usai turun dari motor aku dan Nasya mencium tangan ibu dan bapak bergantian.

 

"W*'alaikumus'salam," jawab mereka serempak.

 

"Motor baru, Mir?" tanya ibu sambil memandang takjub motor berwarna merah itu.

 

"Iya, Bu, akhirnya aku bisa juga beli motor, nanti kuajak Ibu sama Bapak jalan-jalan deh," jawabku berusaha untuk tersenyum menyembunyikan segala duka lara.

 

"Alhamdulillah, kalau kita berdoa dan berusaha insya Allah bakal kebeli juga, Mir, ayo masuk," ajak ibu.

 

Kami mengobrol di ruang tamu ditemani dengan es teh manis dan juga sempol ayam buatan ibu.

 

"Heri ke mana kok ga ikut?" tanya Bapak

 

Seketika aku berhenti mengunyah.

 

"Kenapa, Mir, kamu sama Heri ada masalah?" tanya Bapak lagi.

 

Aku hanya bisa mengangguk tanpa kata, ingin sekali mencurahkan semuanya. Namun, takut mereka kepikiran dan akhirnya jatuh sakit, maklum ibu punya riwayat penyakit lambung kronis sehingga tak boleh punya beban fikiran yang berat, sedangkan bapak sering sakit karena faktor usia.

 

"Apapun masalahnya baik kamu atau Heri harus bisa menyelesaikan dengan kepala dingin, jangan sampai kaya Si Rena, nikah udah sepuluh tahun dan udah punya segalanya, eh malah bercerai," ujar bapak panjang lebar.

 

"Iya, Pak," jawabku tak bersemangat.

 

"Dahulu saat ayahnya Heri masih hidup, dia baik banget sama Bapak, sekarang kita punya kios daging ya karena dulu beliau kasih modal secara cuma-cuma, kamu juga di kasih rumah 'kan?" ujar bapak lagi 

 

Bapak memang benar, keluargaku punya hutang budi terhadap ayah Mas Heri, dan karena hutang budi itu pula pernikahanku dengannya bisa dilaksanakan.

 

Dahulu kami tak pernah saling mencintai. Akan tetapi ayah mertua dan bapak tetap saja memaksa menyuruh kami menikah, dengan dalih cinta akan tumbuh setelah kita bersama.

 

Nyatanya sampai sekarang Mas Heri tak pernah menunjukkan rasa cintanya padaku. Dulu waktu ayah mertua masih hidup ibu bersikap biasa saja padaku, tidak menunjukkan rasa benci ataupun menunjukkan rasa sayang.

 

Namun, setelah ayah tiada barulah ibu menonjolkan sikap aslinya, bahkan ia sampai menjual rumahnya dengan alasan tak jelas lalu memilih tinggal bersamaku dan Mas Heri.

 

"Ini juga rumah pemberian suamiku meskipun di sertifikat-nya tertera nama kamu, jadi kamu ga boleh keberatan kalau Ibu tinggal di sini." Begitu katanya 

 

Mulai saat itu rumahku berubah jadi neraka, padahal waktu itu Mas Heri mulai berubah sedikit-sedikit, mulai menunjukkan rasa cintanya padaku. Akan tetapi karena ibu hadir dan mungkin selalu mencuci otaknya untuk membenciku dan selalu mencari-cari kesalahanku.

 

"Makanya kalau bisa kamu jangan sampai bercerai sama Heri, bapak yakin suatu saat sikapnya pasti berubah kok."

 

Yang diketahui bapak Mas Heri sikapnya acuh saja tak pernah berkata kasar atau menyakiti hati, aku sengaja tak menceritakan itu agar bapak tak banyak fikiran dan jatuh sakit.

 

"Iya, Pak." 

 

Lagi-lagi itu jawabanku.

 

Karena hari mulai sore aku pun pamit pulang.

 

"Ibu udah masakin steak daging buat kamu sekeluarga, mau buat rendang kelamaan," ujar ibu yang selalu bersikap baik pada besannya.

 

Andai ia tahu bahwa besan yang tak tahu diri itu selalu menghinanya di belakang.

 

Tiba di rumah aku melangkah ke dalam dengan malas, sudah pasti mereka akan ngajak ribut lagi seperti tadi, entah sampai kapan pernikahan ini akan bertahan.

 

"Pulang juga kamu," ujar ibu yang berdiri sambil melipat tangan di dada.

 

Tak lama Mas Heri keluar dengan rambut berantakan.

 

"Perginya lama banget sih, mana di rumah makanan habis, suamimu mau makan tahu!" sergah Mas Heri.

 

"Iya, Ibu juga lapar, tega kamu ya ninggalin rumah tanpa makanan," lanjut ibu.

 

Syukurlah mereka tak membahas soal motor lagi.

 

"Nih aku bawa makanan, Mas sama Ibu makan aja."

 

Kukeluarkan steak daging buatan ibu barusan, aromanya menguar membuat setiap perut semakin keroncongan.

 

"Waah kayanya enak nih." Ibu memandang penuh napsu makanan itu.

 

"Iya, Bu, langsung sikat ajalah," ujar Mas Heri.

 

"Ehh tunggu dulu sebelum makan kita Poto dulu makanannya." Ibu menepis tangan Mas Heri.

 

Setelah dua kali jepretan barulah mereka menyantap makanan itu dengan lahap, tanpa bertanya padaku dari mana asalnya makanan itu.

 

"Oh ya, Amira, mulai bulan depan gajiku diberikan ke ibu aja ya semuanya, kamu kan bisa cari uang sendiri, lagian uangnya juga sebagian akan Ibu simpan buat tabungan," ucap Mas Heri.

 

Aku yang sedang mengeluarkan daging tertegun sejenak, entah ini kedzaliman ke berapa yang Mas Heri lakukan.

 

 

Bersambung.

 

Kasih like, komen dan follow akunku ya

 

 

 

Comments (12)
goodnovel comment avatar
Rini Hendarini Rustiati
Punya suami kyak gitu makan ati itu, bukan makan daging.. Hebat istrinya klu bisa bertahan.
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Buat apa bertahan sama suami dzalim dan mertua macam nenek lampir
goodnovel comment avatar
Rohyatun
najis punya suami begitu kalau aku udah ku buang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status