Kehidupan pernikahan Safia dan Jevin masih sama. Dingin dan hambar. Jevin yang masih belum bisa melupakan Embun dan Safia yang diam pasrah.Tiga hari lepas kejadian kemarin, Safia kembali tidak dijemput lagi oleh Jevin. Suaminya memang belum memberikan kabar jika dia tidak menjemput. Namun, menunggu selama hampir satu jam membuat Safia jemu.Safia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara operator saja yang menjawab. Safia mendengkus lelah. Akhirnya, wanita itu terpaksa memutuskan pulang dengan menaiki bus saja.Rasa lelah dan pikiran yang lumayan kacau membuat langkah Safia gontai. Sore itu moodnya benar-benar buruk. Ketika dirinya tengah melangkah pelan menuju halte, terasa titik hujan menimpa rambutnya. Wanita itu mendongak. Tiba-tiba air langit seperti tertumpah begitu saja menerpa parasnya. Rasanya kulit Safia seperti tertusuk ribuan jarum.Safia bergegas melindungi diri dari air hujan itu. Sambil berlari dia menggunakan tas kerjanya untuk menutup
"Aku ... a-aku kedinginan,"bisik Safia lembut ke telinga Jevin. Seketika bulu kuduk Jevin meremang saat napas hangat Safia menyentil telinganya. Pria itu menatap istrinya yang terlihat begitu sayu."Sepertinya a-aku demam," lanjut Safia masih dengan tatapan sayu nan merayu. Wanita itu sedikit berbohong. Sebenarnya dia tidak demam. Hanya saja Safia ingin menarik perhatian dari Jevin. Walaupun jarang mengikuti kajian agama, tetapi Safia tahu jika seorang istri menawarkan diri pada suami maka Allah menjanjikan surga pada wanita tersebut.Safia tidak mengapa dicap sebagai wanita agresif. Toh itu berlaku pada lelaki halalnya sendiri. Apa lagi itu semua ia lakukan demi kelangsungan rumah tangganya. Agar tidak terasa hambar dan gersang, tanpa adanya kehangatan cinta dan kasih di dalamnya.Melihat mata sendu Safia dan bibir ranumnya yang sedikit terbuka seperti ingin disentuh, Jevin menelan Saliva. Safia semakin menarik lengan panjang Jevin mendekat hingga kini jarak mereka sudah sangat deka
Sang pengendara mobil segera menghentikan laju mobilnya begitu merasa telah menyerempet seseorang. Lalu seorang pria tampak ke luar dari mobil Pajero diamond black. Sepertinya dia ingin melihat siapa orang yang diserempetnya. Dan ternyata sang penabrak itu adalah Vino bersama Ghea istrinya."Safiaaa!" Vino berseru kaget begitu melihat siapa wanita yang ditabraknya. Melihat pelipis Safia mengalir darah, ketakutan langsung melanda jiwa pria berusia dua puluh delapan tahun itu."Fiaaa!" Vino mencoba membangunkan Safia dengan mengguncang tubuh kecil itu."Ya udah bawa ke rumah sakit aja pingsan gitu!" Ghea yang ikut turun dari mobil memberi perintah pada suaminya.Vino menganguk cepat. Lekas dengan cekatan pria itu mengangkat tubuh Safia. Pria itu berjalan sembari membopong tubuh lemas Safia, sedangkan Ghea sudah mendahului untuk membuka pintu mobil belakang. Pelan Vino merebahkan tubuh mungil Safia di jok belakang. Dan Ghea ikut membantu dengan menaruh bantal pada kepala Safia.Kedua s
Cepat hubungi keluargamu! Kita sudah mau pulang," Ghea menyela omongan Vino dengan memerintah Safia."Kalo mau pulang, kamu bisa pulang sendiri!" timpal Vino cepat."Vinooo!" jerit Ghea kesal. Wanita itu mendelik marah pada suaminya."Vin ...." Safia memanggil lirih. "Aku pinjam hapemu, ya. Hape aku lowbat. Aku mau hubungi Yuki," pinta Safia lemah. Dirinya semakin pusing melihat pertengkaran pasutri di hadapannya itu."Kok Yuki?" tanya Vino heran dengan mata memincing. "Kenapa gak hubungi suami saja?" Vino bertanya karena semakin penasaran. Safia diam saja. "Kalian sedang ada masalah kah, Fia?" Vino masih perhatian."Pliss deh, Vin!" seru Ghea memuncak kesal. "Lo udah gak ada hak nanya-nanya perhatian gitu ke Fia. Hargai gue sebagai istri Lo!" omel Ghea semakin naik pitam. Kalau sudah bicara Lo-Gue berarti amarah Ghea sudah di ubun-ubun. Wanita itu kini berkacak pinggang. Rasa lelah, laper, dan cemburu membuat dia semakin beringas.Vino sendiri hanya bisa menatap tajam istrinya. Kemud
Jevin tidak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang mama. Pria itu hanya bisa menunduk."Kenapa diam?" Bu Jenni menatap serius wajah putranya. "Benar kalian bertengkar? Atau kamu ketahuan menemui Embun?" cecar Bu Jenni emosi. Dan itu semakin membuat Jevin kian gugup."Sudah mama duga." Bu Jenni berujar pada diri sendiri. "Jeviiin ... wanita halalmu itu Safia. Bukan Embun!" gertak Bu Jenni naik pitam."Tidak mudah melupakan orang yang kita cintai secepat itu, Ma." Jevin berujar lemah dan frustasi. "Hubungan kami sudah berlangsung begitu lama. Sepuluh tahun, Ma." Jevin berargumen sembari merentangkan kelima jarinya. Pria itu seperti membenarkan pendapatnya.Bu Jenni menggeleng kecewa "Jevin ... di mana mata hatimu, Nak? Kenapa egois seperti ini?" Wanita itu bertanya dengan mata yang mulai berkaca. "Kemarin kamu sendiri yang meminta perjodohan itu dipercepat, lalu kenapa sekarang kamu malah menyia-nyiakan Safia?"Jevin terdiam. Lelaki itu hanya bisa membuang muka. Dirinya ti
Gue mo ngomong ame lu," bisik Yuki pada telinga Jevin. Jevin menoleh pada Yuki. Namun, tanpa menunggu jawaban darinya, Yuki sudah beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Lima menit kemudian, Jevin meminta izin pada sang bunda untuk ke luar sebentar. Mendapat anggukan kepala dari ibunya, Jevin pun menyusul Yuki. Dari kejauhan pria itu melihat Yuki tengah duduk di bangku taman rumah sakit. Sebelum menemui sobatnya Safia itu, Jevin melangkahkan kakinya menuju kantin rumah sakit. Dibelinya dua cup kopi susu untuknya dan Yuki. Usai membayar pada kasir, Jevin pun menderapkan diri untuk menyusul Yuki."Ki," sebut Jevin sembari mengangsurkan se-cup kopi susu pada pemuda berhoodie hitam itu Yuki menoleh. Dia menerima minuman itu seraya mengucap kata terima kasih. Kini kedua pria itu tengah sama-sama menikmati kopi susu panas itu. Jevin dan Yuki duduk berdampingan dengan pandangan ke depan."Denger, Bro ...." Yuki memulai obrolan masih dengan memandang arah depan. "Safia itu udah gue anggep
Keesokan pagi, Safia membuka mata. Ekor matanya menyapu sekeliling. Wanita itu tampak bingung dengan keadaan sekitar. Namun, lekas dia teringat kejadian apa yang membuatnya sampai berada di di sini. Safia sedikit tertegun menyadari Jevin tertidur sembari menungguinya. Kepala pria itu menindih lengannya. Pelan Safia melepas jeratan itu sehingga membuat Jevin tersadar. Pria itu merenggangkan kedua tangan ke atas, lalu mematahkan kepala ke kiri dan kanan."Fia," sebutnya kemudian. "Apa? Apa yang kamu rasakan?" Jevin menunjukkan perhatian. Safia tidak menjawab. Bibirnya serasa enggan untuk membuka mulut. Apa yang dilihatnya kemarin sungguh menyakiti hatinya."Fia ... apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan." Jevin berusaha meyakinkan melihat kemuramam pada wajah sang istri."Entah alasan apa yang mau kamu utarakan untuk menjelaskan peristiwa kemarin, aku tetap tidak respek," tukas Safia menatap datar muka suaminya. "Kamu pria beristri. Dan Embun wanita yang sudah cukup dewa
"Assalamualaikum, Nak Jevin," ucap Bu Ratih begitu sang menantu membukakan pintu untuknya."Walaikum salam, Bu." Jevin membalas ramah. Untuk kesopanan pria itu meraih tangan sang mertua untuk kemudahan diciumnya takzim."Untung ibu tidak langsung ke rumah sakit. Kalo iya ... akan sia-sia ibu ke sana, karena ternyata kalian sudah pulang," ujar Bu Ratih lagi. Wanita itu melangkah masuk. Tangan menenteng dua kotak makanan. Dengan sigap Jevin menggantikan diri untuk membawa bingkisan itu."Safia mana?" "Ada di kamar." Jevin menjawab sembari menunjuk sebuah ruangan di lantai atas dengan ekor matanya."Oh ... ya sudah ibu langsung ke atas saja, ya?" pamit Bu Ratih kemudian.Wanita itu lekas menaiki anak tangga guna menuju kamar sang putri. Jevin sendiri gegas menuju meja makan. Pria itu menaruh barang bawaan ibu mertua. Jevin membuka kotak kardus berwarna putih. Ada tiga buah bolu gulung yang begitu menggoda jiwa. Lalu dirinya kini beralih membuka kotak makanan bertingkat yang satunya. K