Gue mo ngomong ame lu," bisik Yuki pada telinga Jevin. Jevin menoleh pada Yuki. Namun, tanpa menunggu jawaban darinya, Yuki sudah beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Lima menit kemudian, Jevin meminta izin pada sang bunda untuk ke luar sebentar. Mendapat anggukan kepala dari ibunya, Jevin pun menyusul Yuki. Dari kejauhan pria itu melihat Yuki tengah duduk di bangku taman rumah sakit. Sebelum menemui sobatnya Safia itu, Jevin melangkahkan kakinya menuju kantin rumah sakit. Dibelinya dua cup kopi susu untuknya dan Yuki. Usai membayar pada kasir, Jevin pun menderapkan diri untuk menyusul Yuki."Ki," sebut Jevin sembari mengangsurkan se-cup kopi susu pada pemuda berhoodie hitam itu Yuki menoleh. Dia menerima minuman itu seraya mengucap kata terima kasih. Kini kedua pria itu tengah sama-sama menikmati kopi susu panas itu. Jevin dan Yuki duduk berdampingan dengan pandangan ke depan."Denger, Bro ...." Yuki memulai obrolan masih dengan memandang arah depan. "Safia itu udah gue anggep
Keesokan pagi, Safia membuka mata. Ekor matanya menyapu sekeliling. Wanita itu tampak bingung dengan keadaan sekitar. Namun, lekas dia teringat kejadian apa yang membuatnya sampai berada di di sini. Safia sedikit tertegun menyadari Jevin tertidur sembari menungguinya. Kepala pria itu menindih lengannya. Pelan Safia melepas jeratan itu sehingga membuat Jevin tersadar. Pria itu merenggangkan kedua tangan ke atas, lalu mematahkan kepala ke kiri dan kanan."Fia," sebutnya kemudian. "Apa? Apa yang kamu rasakan?" Jevin menunjukkan perhatian. Safia tidak menjawab. Bibirnya serasa enggan untuk membuka mulut. Apa yang dilihatnya kemarin sungguh menyakiti hatinya."Fia ... apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan." Jevin berusaha meyakinkan melihat kemuramam pada wajah sang istri."Entah alasan apa yang mau kamu utarakan untuk menjelaskan peristiwa kemarin, aku tetap tidak respek," tukas Safia menatap datar muka suaminya. "Kamu pria beristri. Dan Embun wanita yang sudah cukup dewa
"Assalamualaikum, Nak Jevin," ucap Bu Ratih begitu sang menantu membukakan pintu untuknya."Walaikum salam, Bu." Jevin membalas ramah. Untuk kesopanan pria itu meraih tangan sang mertua untuk kemudahan diciumnya takzim."Untung ibu tidak langsung ke rumah sakit. Kalo iya ... akan sia-sia ibu ke sana, karena ternyata kalian sudah pulang," ujar Bu Ratih lagi. Wanita itu melangkah masuk. Tangan menenteng dua kotak makanan. Dengan sigap Jevin menggantikan diri untuk membawa bingkisan itu."Safia mana?" "Ada di kamar." Jevin menjawab sembari menunjuk sebuah ruangan di lantai atas dengan ekor matanya."Oh ... ya sudah ibu langsung ke atas saja, ya?" pamit Bu Ratih kemudian.Wanita itu lekas menaiki anak tangga guna menuju kamar sang putri. Jevin sendiri gegas menuju meja makan. Pria itu menaruh barang bawaan ibu mertua. Jevin membuka kotak kardus berwarna putih. Ada tiga buah bolu gulung yang begitu menggoda jiwa. Lalu dirinya kini beralih membuka kotak makanan bertingkat yang satunya. K
Kembali hati Embun terasa sesak. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Berusaha menahan jebolan air mata. Namun, Embun kalah. Dirinya berlalu dengan air mata yang berderai. Ia pergi dengan kekecewaan yang mendalam pada Jevin.Di pintu gerbang rumah Jevin, Embun berpapasan dengan Yuki. Kebetulan pemuda itu berniat untuk menengok Safia. Namun, demi melihat langkah Embun yang tergesa dengan terus terisak, Yuki membatalkan niat.Akhirnya, Yuki memutar balikkan motornya guna mengejar gadis impiannya itu. Untung langkah Embun belum jauh."Hei, Cantik... ada apa? Kenapa menangis seperti itu?" tanya Yuki peduli. Pemuda itu ikut menemani langkah Embun dengan memelankan laju motornya sepelan mungkin."Bukan urusanmu," semprot Embun masih marah. Gadis itu terus melangkah panjang"Ya elahhhh ... galak amat!" tegur Yuki agak tertegun disemprot seperti itu. "Gak usah judes gitu, Bun! Tar cantiknya hilang lho," goda Yuki dengan cengengesan.Embun tak menggubris ledekan Yuki. Gadis itu semakin memperc
"Tenang Safia jangan panik!"Vino mencoba memberi ketenangan pada Safia dengan memberi pelukan. Akan tetapi wanita itu menepis pelukan itu dengan kasar. Walau sebenarnya dia merasa ketakutan yang luar biasa.Otak Safia berputar. Cepat dia mengambil ponsel dari dalam tas selempang. Secepat kilat wanita mungil itu menyentuh layar tipis itu guna mencoba menghubungi suaminya. Namun, ketika gawainya ditempelkan di telinga tidak ada tanda-tanda ada sambungan. Safia mengulangi panggilan kembali. Kembali pula sambungnya gagal."Ah ... sial! Tidak ada sinyal," desis Safia kesal sembari meremas benda pipih itu. Ketakutannya kini kian membuncah. Wanita itu menggigit bibirnya kuat-kuat.Serta merta peristiwa pengurungan dirinya di dalam kamar mandi sekolah, kembali berkelebat mata.Tubuh Safia mulai terlihat gemetar menggigil. Keringat dingin pun mulai bermunculan. Badan Safia terasa lemas. Wanita itu luruh ke lantai. Safia memang mengidap gejala claustrophobia, yaitu ketakutan berlebih pada ruan
Jevin tetap bungkam tidak menghiraukan. Dirinya tidak peduli pada Safia yang terseok-seok di belakangnya. Di dalam mobil saat menuju arah pulang, Jevin pun enggan meladeni penuturan istrinya. Bahkan sampai rumah, suami Safia itu masih setia membisu. Begitu masuk rumah bergegas Jevin melenggang menuju kamar mandi dalam kamar. Dirinya tidak menggubris Safia yang masih saja menceritakan kronologis insiden di lift tadi. Walau sudah berulang kali wanita itu jelaskan.Jevin menyalakan shower. Air dingin mengguyur rambut dan otaknya. Kepalanya yang terasa sedikit panas akibat ketidak-relaannya melihat Safia dipeluk Vino, kini berangsur adem.Setelah merasa hati dan pikirannya sedikit sejuk, Jevin menyudahi mandinya. Ketika ia ke luar dari kamar mandi Safia sudah menunggunya di ranjang. Wanita itu memberikan piyama cokelat pastel untuk sang suami. Jevin menerima dan memakai piyama itu masih dalam diam."Kita makan dulu yuk!" ajak Safia lembut. Wanita itu menarik tangan Jevin."Kamu saja," to
Embun telah sampai di sebuah kafe dalam mal di Cilandak Town Square. Dirinya mendapat pesan dari Yuki agar bertemu dengan pemuda itu di situ. Tadinya Embun enggan menanggapi, tetapi Yuki tidak kenal lelah meneror ponselnya. Sehingga gadis itu mengalah dengan menuruti kemauan pemuda itu.Embun kini duduk termenung seorang diri di pojok kafe sembari menunggu kedatangan Yuki. Sang pemuda berpesan jika dirinya sedang dalam perjalanan. Sehingga terpaksa Embun memesan minuman dahulu. Dan frappuccino adalah pilihan Embun.Sembari menunggu Yuki untuk membuang bosan, Embun membuka galeri gadgetnya. Puluhan foto Jevin baik yang sedang sendiri ataupun berpose bersamanya memenuhi isi file tersebut.Pikiran wanita itu menerawang jauh. Teringat kembali semua kenangan indah kebersamaan dirinya dengan Jevin. Embun terkenang pula bagaimana awal pertemuan manis dirinya dengan Jevin. Masa itu dirinya baru masuk kelas sepuluh sekolah menengah atas, sedang Jevin satu tingkat di atasnya. Dan kebetulan Jevi
Semenjak Safia mempergoki Jevin dan Embun saling bercengkrama mesra di kediaman sang wanita beberapa hari lalu, sampai kini kedua sahabat yang dulu begitu akrab itu belum saling bicara. Sebenarnya Safia masih berkeinginan untuk tetap menjalin persahabatan dengan Embun. Akan tetapi bila mengingat peristiwa itu, hati Safia masih terasa sakit. Bagaimana tidak, di depan dirinya, Embun bicara ikhlas melepas Jevin. Namun, ternyata di belakangnya sang sahabat justru menikam dari belakang.Hubungan keduanya menjadi renggang. Baik Safia mau pun Embun merasakan ketidak nyamanan. Mereka yang biasanya selalu kompak dan akrab, kini saling menjaga jarak. Mereka tidak lagi makan bersama. Tidak ke luar kantor bareng. Apa lagi kongkow-kongkow bersama.Embun sendiri juga merasa tidak sudi jika harus kembali menjalin pertemanan dengan Safia. Baginya Safia itu memang seorang penikung yang tega.Namun, setelah mendapat bujukan dari Ghea kemarin, hari ini Embun menurunkan ego. Demi kembalinya Jevin padany