"Apa kamu tahu siapa perempuan itu, Rum?" tanya Lisa. "Sepertinya aku memang tahu." "Siapa?" "Rumi." "Maksudnya, Rumi mantan pacarnya Haris?" tanya Kalisa. Aku mengangguk, meski masih bingung dengan hubungan antara Kinos dan Rumi. Apakah Rumi baik-baik saja? Atau, mereka tengah merencanakan sesuatu?"Ya sudah lah, makan aja. Nggak usah pikirin itu lagi. Toh, kamu nggak ada hubungan lagi dengan mereka berdua, kan?" tanya Kalisa. "Iya." Kami pun melanjutkan makan, lalu Lisa mengantarkanku sampai rumah. Ah iya, aku lupa memberitahu kalau Lisa sekarang tinggal di dekat sini. Ia membeli rumah di sebelahku. Tepatnya, rumah bekas aku mengontrak dulu. Aku sempat menanyakan alasannya. Jawabannya, ia sudah bosan tinggal di kota, jadi ia kembali ke kampung. Suaminya pun tak keberatan. Sebenarnya, poin utamanya adalah, karena rumah ini dijual murah. Hihi. "Mau mampir?" tawarku. "Eleeh, kaya rumah jauh aja," jawab Lisa yang membuat kami tergelak. "Makasih, ya." Lisa mengangguk, lalu ak
"Kenapa gitu?""Dia kan pelakor.""Lalu, apa hubungannya dengan Kakak." "Ish! Bisa jadi Mas Haris nanti direbut sama dia." "Nad, Kakak dan Mas Haris itu sudah cerai. Sudah lah nggak usah bawa-bawa dia lagi. Kapan move on-nya kalau selalu bawa nama Mas Haris? Sudah enam bulan lebih kami berpisah.""Eleh. Aku berani taruhan, Kakak masih ada rasa kok sama dia." "Dih, nggak usah sok tahu!" jawabku sambil mengganti saluran televisi. "Dih, salting." "Apa, sih?" ucapku, kemudian berlalu menuju kamar. Tak ingin terus membahas Mas Haris. Hidup itu perlu berjalan maju, jadi kalau menengok ke belakang terus, kapan majunya? Iya, kan? --Esok hari. Aku menemani Nadia pergi ke sebuah mall untuk mencari buku. Sesuai keputusan bersama, demi kebaikan Nadia juga, kami menolak rencana pertukaran pelajar itu meski Nadia sangat menginginkannya. Meski dengan hati sedih, tapi anak itu tetap saja bangkit jiwa berbelanjanya. Apalagi, jika aku yang membayari, mantan lewat saja nggak lihat kayaknya. Se
Setelah kepulangan keluarga Haris, ayah dan Bunda menasehati. Berbagai macam wejangan beliau katakan seolah baru pertama kali aku akan menikah, hihi. "Kami meminta pernikahannya nanti supaya kamu fokus pada kelahiranmu saja, Nak. Bukan apa-apa, ya, tapi demi kebaikan juga." "Iya, Ayah, Arum ngerti kok. Lagi pula minggu depan sudah mau tujuh bulan, dua bulan lagi lahirannya. Arumi lagi ngumpulin mental dulu. Nanya-nanya ke orang yang sudah melahirkan, katanya sakit," ucapku sambil meringis kala mengingat ucapan teman-temanku. "Lagian ngapain nanya? Kalau sakit, mana mungkin orang mempunyai anak lebih dari dua. Bahkan eyangmu saja anaknya enam, kok." Iya juga, sih. Apa mereka hanya mencoba membuatku takut dan berakhir overthinking. Aku pun mengembuskan napas panjang. Mengusap perut yang semakin membesar. "Jika begini, maka nazab anakku nanti sama siapa, Yah?" tanyaku. "Ya sama papanya. Kan kamu hamil waktu masih sama Haris. Kamu cuma terlambat menyadari aja."Aku mengangguk. Samb
"Hehehe, sebenarnya aku datang, cuma telat jadi nunggu di luar. Pas aku baru balik dari mobil ngambil hp, kalian sudah keluar. Terus aku lihat adegan pelukan sambil nangis," ucap Kalisa. "Adegan pelukan itu, sebenernya dia yang narik. Setelah di mobil juga Nadia marahin karena kami bukan mahram lagi." "Bisa-bisanya kalah sama yang muda." "Ya maap." Kami pun melanjutkan obrolan. Dari masalah dia, masalah aku. Hingga wedding dream aku nanti. Tapi, emang masih cocok? Mengingat ini bukan lah pernikahan pertamaku. "Aku cuma mau akad nikah aja. Lagian malu." "Kamu mau nikah, Rum?" tanya Mpok Siti, tetangga Kalisa yang tiba-tiba saja keluar dari balik tembok. "Ya Allah, Mpok, ngagetin aja," ucapku. "Hehe, ya maaf. Kamu mau nikah lagi?" tanyanya yang membuatku malu. Aku pun mengangguk, lalu pertanyaan kedua pun meluncur dari mulutnya. "Sama siapa? Kan kamu hamil." "Sama bapaknya anak ini lah," ucapku. "Maksudnya, mau rujuk?" tanyanya. Aku mengangguk lagi, dia sempat terkejut, lal
"Wu-wulan!" ucapku terbata saat melihat wanita itu datang sambil berjalan menenteng tas kerjanya. Sepertinya ia baru saja pulang dari bekerja. "Iya, ini aku. Bagaimana kbarmu, Arumi?" "Cih! Untuk apa menanyakan kabarku? Sekarang, bukakan ini!" ucapku sambil meronta. Namun, bukannya melepaskan ikatan yang ada di tubuh, Wulan malah terbahak-bahak bersama anak buahnya. S*nting memang! "Coba saja kamu lepaskan kalau bisa. Awas, nanti malah tergesek kulit mulusmu itu." Cih! Aku membuang ludah tepat di sepatunya yang membuat ia bergidik jijik. Melihatnya begitu, aku tertawa. Plak! Kurasakan panas menjalar di area pipiku. Wulan, menamparku. "Berani kamu sama aku, hah?" "Kamu minta aku buat lepasin Mas Haris kan?" "Pintar!" "Tapi aku takkan melepaskannya." "Atau, kamu ingin menukarnya dengan anakmu?" Jantungku serasa berhenti berdetak saat Wulan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari tasnya, dan menaruhnya di atas perutku. Meski pisau itu bukan terbuka, tapi aku ngeri melihatnya.
Kurasakan nyeri di perut saat pertama kali bangun. Saat melihat ke sekeliling, semuanya putih. Kuraba perut, tapi sudah tak ada lagi perut buncitku.Allah, bagaimana dengan anakku? "Alhamdulillah ya Allah, kamu sudah bangun?" Suara Mas Haris terdengar dari arah pintu. Aku tersenyum, lalu berusaha duduk namun tak bisa. "Bayi kita gimana, Mas?" tanyaku. "Alhamdulillah, sudah baik-baik saja. Tapi sekarang ada di ruangan bayi. Meski lahir di kurang bulan, tapi nampaknya dia sehat, Rum. Terima kasih, ya," ucap Mas Haris sambil menitikkan air mata. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, aku sudah takut anak kita akan tak selamat. Terima kasih sudah cepat datang, ya?" "Sama-sama, Rum. Mas memang sudah feeling kalau kamu sedang tidak baik-baik saja. Suaramu terdengar gemetar pas angkat telepon dari aku. Ternyata benar, kan? Kamu bahkan sedang disiksa oleh Wulan. Aku tak menyangka jika wanita itu begitu tega. Maafkan aku, Rum," ucap Mas Haris. "Nggak papa, Mas. Ini semua salahku yang tak menany
Ternyata, itu adalah polisi yang menelepon Mas Haris. Mereka menemukan dua orang terkapar di dekat sungai, lalu menemukan nomor Mas Haris di daftar panggilan cepat pada ponsel Mas Haris. "Sekarang dia di mana?" "Di rumah sakit Bunda. Mas boleh ke sana?" tanyanya. "Tentu boleh. Kenapa tidak?" "Kamu nggak cemburu?" "Mas, seseorang lagi butuh bantuanmu, sekarang bukan saatnya ngomongin itu," ucapku sedikit kesal. "Terima kasih, bidadariku. Kamu baik banget." Aku mengangguk, seraya tersenyum. Mau cemburu? Itu bukan hal terpenting sekarang. Lagi pula, aku juga penasaran kenapa Rumi bisa terkapar di dekat sungai? Apakah mereka hanyut, lalu terseret ombak? Tapi, masa ponselnya masih bisa dipakai?Lalu, siapa satu orang lagi? Kenapa bisa bareng Rumi? Ingatanku melayang ke beberapa minggu yang lalu saat Kalisa mengatakan bahwa ia melihat Rumi bersama Kinos. Apakah itu mereka? Polisi tak bilang menemukan jasad, itu tandanya, Rumi masih hidup, kan? Bunda masuk ke kamar yang memang terbuk
"G*la!" "Iya, kan?" Aku hanya menggelengkan kepala. Kenapa mereka bisa begitu? Apa semasa hidup dengan mereka, Rumi juga terlalu banyak bertingkah seperti akhir-akhir ini? Atau, mereka tak mau merawat Rumi lagi karena kini ia cacat? Apa mereka menilai itu sebagai aib? Astaghfirullah! Padahal jika dilihat wajahnya, Rumi begitu cantik. Ada yang menyadari? Rumi belakangan menimbulkan banyak masalah. Kecelakaan, ketahuan melet Mas Haris, mengancamku, bahkan menyumpahi janinku. Mengingat itu, aku melihat ke arah Renda. Bayi cantik terlihat sempurna secara fisik. Alhamdulillah, ya Allah. Semoga kamu akan menjadi anak yang berbakti, ya, Nak. Tak lama kemudian, datang keluarga Mas Haris, minus Lina karena ia sedang berkuliah. "Jadi bagaimana Rumi?" tanya Ibu. "Ya begitu. Sekarang ada di rumah sakit. Kata Polisi, kemungkinan ribut sama yang satu lagi. Akhirnya malah jatuh semua darj jembatan. Beruntung, ada jalan setapak sehingga mereka jatuhnya ke sana." "Tapi tak apa-apa, kan?" tanya