Dengan langkah pelan, Dilan dan Sanaya berjalan bersisian menuju ke dalam. Tepat, di saat itu pula, hujan di luar sana semakin deras. Suara petir bahkan terdengar menggelegak bersahut-sahutan.
“Tuh ‘kan, saya bilang apa. Hujannya pasti tambah deres,” ucap Sanaya, yang menoleh sekilas ke Dilan. Mereka hampir tiba menuju lorong gedung tersebut, melewati beberapa orang yang keluar masuk.
“Iya, Mbak. Aku pikir tadi cuma bentar. Eh, tahunya malah deres. Mana enggak bawa jas hujan lagi.” Dilan membalas perkataan Sanaya sambil terkekeh, menggaruk tengkuknya guna menutupi rasa canggung yang ada. Dia dan Sanaya kini berada di dalam lift hanya berdua.
“Kamu juga, harusnya sedia jas hujan, Dilan. Kita ‘kan enggak pernah tahu kapan hujan turun? Ya ... kaya sekarang ini,” timpal Sanaya, lagi-lagi mengingatkan pemuda yang berdiri di sampingnya.
Dilan melempar senyum konyol. “Hehe ... iya, Mbak. Suka enggak kepikiran.”
Sanaya menanggapinya dengan gelengan kepala. Bisa-bisanya Dilan tidak memikirkan barang sepenting itu. Namun, di sisi lain hatinya merasa senang karena saat ini dia bisa bersama dengan Dilan masuk ke unitnya.
‘Tunggu! Senang? Why, Sanaya?’ Sisi lain dari dirinya seolah menanyakan hal tersebut, tetapi lagi-lagi Sanaya mencoba mengelak.
Kebetulan, unit Sanaya terdapat private lift, oleh karena itu mereka langsung menuju ke dalam ruangan yang cukup luas dan mewah.
“Private lift?” tanya Dilan, yang sempat terkejut lantaran telah berada di unit atasannya. “Keren!” Kakinya melangkah keluar, menyusul Sanaya yang lebih dulu keluar dari lift.
“Dilan! Sini!” Sanaya memanggil Dilan yang nampaknya masih terpukau dengan semua ini.
Pertama kali menginjakkan kaki di hunian sang atasan. Dilan sempat tak percaya jika Sanaya tinggal di sini sendirian.
“Iya, Mbak.” Dilan menyahut, menyudahi kekagumannya, lantas menghampiri Sanaya yang berada di dapur. “Apartemen Mbak Sanaya keren! Beda sama apartemen aku,” ucapnya yang masih belum puas memindai seluruh ruangan tersebut.
Dapurnya saja benar-benar luas dan bagus. Apalagi ditunjang dengan isinya yang juga lengkap dan serba mewah. Ukuran apartemen Dilan masih jauh jika dibandingkan dengan ukuran unit Sanaya.
Mendengar Dilan yang terus-terusan memujinya, Sanaya pun akhirnya menanggapi dengan nada sumbang.
“Ini semua bukan aku yang beli, tapi Leo,” ucapnya, lalu menyodorkan cangkir teh panas ke Dilan. “Tehnya, Lan.”
Bibir Dilan langsung terkatup rapat mendengar Sanaya menyebut nama Leo. Entah mengapa, dadanya tiba-tiba terasa nyeri saat menatap wajah Sanaya yang sendu.
“Makasih, Mbak.” Dilan segera mengambil cangkir teh itu dari tangan Sanaya. “Mbak Sanaya enggak apa-apa ‘kan?” Tahu jika mood Sanaya mendadak berubah, Dilan langsung bertanya demikian.
Sanaya menggeleng, berusaha menyembunyikan kesedihannya dari Dilan. “Enggak apa-apa,” jawabnya dengan seulas senyuman. Lantas, menyuruh Dilan untuk duduk. “Kamu duduk dulu, Lan. Saya mau ganti baju bentar.”
“Iya, Mbak.” Kemudian Dilan memilih duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sementara Sanaya pergi ke kamarnya untuk mengganti bajunya yang basah.
Sambil menunggu Sanaya kembali, Dilan memilih mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. Mengusir rasa bosan dengan bermain permainan yang ada di dalamnya. Sebenarnya, tak hanya itu. Dilan hanya sedang berupaya mengurangi rasa canggung.
Ck!
Bisa-bisanya dia mau menerima tawaran Sanaya untuk mampir ke unit perempuan itu. Harusnya, Dilan bisa beralasan dan menolaknya. Bukannya mengiyakan, dan justru menikmati teh buatan Sanaya yang rasanya sangat enak.
“Sorry, lama.” Suara Sanaya yang khas memaksa Dilan untuk mengalihkan pandangannya dari game yang baru saja dia mainkan.
Terpaku sejenak, lalu memandang tubuh Sanaya yang kini sudah berganti baju.
“Cantik.’ Dilan hanya mampu mengucapkan satu kata itu di dalam hati.
Walau hanya memakai setelan piyama tidur berwarna kuning bermotif bunga sakura, Sanaya terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Penampilannya sungguh berbeda pada saat di Restoran, yang selalu memakai setelan blouse atau blazer.
Rambut Sanaya yang panjang dan sedikit basah dibiarkan tergerai bebas, lalu wajahnya yang tadi masih memakai make-up kini terlihat sudah bersih dan polos. Bahkan, Dilan pikir jika Sanaya lebih cantik tanpa memakai make-up. Apa adanya dan natural.
“Dilan.” Sanaya mengibaskan tangan tepat di depan muka Dilan yang sejak tadi tak berkedip menatapnya.
Pemuda itu sontak gelagapan dan segera menyadarkan diri. “Eh, ma-maaf, Mbak.” Dilan berusaha menutupinya dengan ringisan konyol, kemudian memasukkan ponselnya ke saku jaket.
Mendadak dia terserang virus gagu dan gugup.
‘Astaga, Dilan! Apa yang barusan kamu pikirin?’ Rutuknya dalam hati sesekali melirik Sanaya yang sudah duduk bersebrangan dengannya.
Ruangan itu mendadak hening. Tak ada dari mereka yang berniat membuka obrolan. Kecanggungan menghigapi keduanya. Sanaya bingung harus bagaimana. Ini kali pertama dia membawa pria asing masuk ke apartemennya, selain ayah dan Leo—tunangannya.
Apartemen ini merupakan pemberian lelaki arogan itu, tanpa Sanaya memintanya. Dengan alasan, jika apartemen lama Sanaya tidaklah layak untuk ditempati. Awalnya, Sanaya menolak lantaran tak ingin semakin menambah beban Leo. Namun, atas permintaan ayah dan orang tua Leo, dengan berat hati Sanaya menerimanya.
Suara ponsel yang menggema, memecah keheningan yang tercipta. Ponsel Sanaya yang tergeletak di meja dapur tiba-tiba berdering.
Sanaya sontak berdiri. “A-aku angkat telepon dulu,” pamitnya pada Dilan yang langsung mengangguk.
Melangkah tergesa, Sanaya menuju dapur untuk mengambil benda pipih miliknya. Alisnya menaut saat melihat nama yang tertera di layar.
“Leo?” cicitnya, lalu melirik Dilan yang duduk membelakanginya. Pemuda itu rupanya kembali sibuk dengan ponselnya.
Antara takut dan malas, Sanaya menjawab panggilan Leo.
“Ha—“ Belum sempat Sanaya membuka mulut, Leo terlebih dulu bersuara.
“Lama banget, sih! Ngapain aja kamu! Sok sibuk! Udah pulang ‘kan kamu?” cecar Leo tanpa jeda sedikit pun. Nada suaranya terdengar keras dan kesal sebab Sanaya yang lambat mengangkat teleponnya.
Sanaya langsung menjauhkan ponselnya dari telinga, suara dan cecaran pertanyaan Leo membuat gendang telinganya sakit. Menghela napas sejenak, guna mengumpulkan stok kesabaran, Sanaya lalu menempelkan kembali ponselnya.
“Iya, maaf. Tadi aku baru aja selesai mandi,” jawabnya berbohong, sesekali dia melirik Dilan yang masih sibuk bermain dengan ponselnya.
Baru saja dia merasakan ketenangan, tetapi Leo sudah merusak moodnya lagi. Sepertinya, lelaki itu memang sangat hobi merusak ketenangannya.
“Soal yang tadi jangan harap bisa selesai gitu aja. Bilang sama ayah kamu, kalo aku enggak bisa ikut ke rumah. Kerjaan aku banyak, dan aku juga enggak suka disuruh-suruh. Inget itu, Sanaya!” Leo kembali mengungkit masalah yang terjadi siang tadi.
‘Astaga...’ Memejamkan mata sekejap, kemudian menarik napasnya dalam-dalam.
Sanaya pikir, Leo menghubunginya untuk bertanya itu saja, ternyata tunangannya itu masih belum puas membahas masalah yang menurutnya sudah selesai.
“Iya, aku tahu. Nanti biar aku ngomong ke Ayah,” sahut Sanaya sambil memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut. Kepalanya sangat pusing memikirkan sikap Leo yang selalu menyudutkannya.
Bisakah dia bernapas sebentar saja?
“Bagus! Jangan harap, kamu bisa menguasaiku. Di sini, aku yang berkuasa. Kamu dan ayah kamu cukup menurut. Ngerti?”
“Iya. Maaf....” Hanya satu kata itu yang selalu terlontar dari mulut Sanaya, apabila Leo mengingatkan akan statusnya. Lelah! Sanaya benar-benar lelah dan jengah.
Dengan tangan yang masih memijat pelipis, Sanaya harus menahan kekesalannya, saat Leo seenaknya memutus sambungan telepon.
“Heuhh....” Helaan panjang berembus dari hidungnya. Lantaran rasa pusing yang kian terasa, Sanaya tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Mbak!” Dilan menahan tubuh Sanaya yang mendadak limbung ke belakang.
“Dilan?” Sanaya mendongak, menatap Dilan yang entah sejak kapan berada di belakangnya. Sentuhan pemuda itu mengapa sangat menenangkan.
‘Seandainya Leo bisa bersikap seperti Dilan?’ batin Sanaya, yang enggan mengalihkan pandangannya dari wajah tampan itu. Nampaknya, hati Sanaya mulai merasa nyaman dengan semua perlakuan Dilan.
###
Bersambung..
"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai."Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan....""Iya, Mbak.""Boleh saya minta sesuatu?""Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh."Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu."Terus apa dong, Mbak?""Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, La
Ini enggak bener, Sanaya!Ini salah!Kamu udah punya tunangan.Yang berhak atas kamu adalah Leo, bukan Dilan!Sadar Sanaya! Sadar!Sisi lain dari Sanaya seolah mencoba menyadarkan gadis itu untuk menghentikan semua yang terjadi saat ini. Detik ini, dia dan Dilan masih saling memagut dan memperdalam ciuman mereka.Lalu, tiba-tiba saja bayangan kemarahan Leo berkelebat di ingatan Sanaya, kala tangan Dilan menekan tengkuknya. Sehingga membuat kedua mata Sanaya terbuka lebar, dan dengan cepat mendorong dada Dilan.“Stop! Dilan!” jerit Sanaya, lalu mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan, berharap tak ada jejak bibir Dilan di sana. Dadanya naik turun, berusaha memasok oksigen yang hampir habis.“... ini salah! Ini enggak seharusnya terjadi!” Sanaya menggeleng berkali-kali sambil melangkah mundur, menghindari Dilan yang hendak menyentuhnya.“Mbak.” Dilan maju selangkah, tetapi Sanaya malah semakin menjauh. Pemuda itu berusaha tetap bersikap tenang dan mencoba menjelaskan yang terjadi
Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Sore ini, Sanaya sengaja meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah sang ayah. Padahal, sejak lima hari yang lalu ayah memintanya untuk datang, dia ingin segera datang. Sayangnya, Sanaya belum bisa menuruti permintaan tersebut lantaran luka tamparan Leo yang masih membekas.Sanaya tidak ingin membuat sang ayah bertanya-tanya dan merasa cemas, apabila melihat bekas luka di sudut bibirnya. Terlebih, dia juga bisa memberikan alasan yang kuat saat ayah menanyakan Leo.Ada bagusnya tunangannya itu pergi ke luar kota, hingga hari ini belum kembali.Sanaya merasa hidupnya bebas tanpa ada tekanan dari siapa pun. Jiwa dan raganya juga butuh waktu dari semua luka yang diberikan lelaki arogan itu. Tetapi, terkadang Sanaya dibuat bertanya-tanya sendiri, perihal Leo yang sama sekali tidak pernah menghubungi dirinya bila sedang ke luar kota seperti sekarang.“Ah, apa peduliku?! Mungkin, dia lagi seneng-seneng.”Sanaya bergumam sendiri sambil menggeleng berkali-kali guna mengenyahkan semua pertanyaa
Sanaya langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamar. Merentangkan kedua tangan sambil menatap langit-langit kamar yang hanya berhias lampu temaram. Menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan-lahan. "Jadi, selama ini dia udah pacar, ck!" gumam Sanaya dengan perasaan yang benar-benar kacau, setelah mendapati laki-laki yang telah mencuri ciuman pertamanya sedang berboncengan mesra dengan seorang gadis. Lantas, secara sadar Sanaya meraba bibirnya sendiri. Lalu dia menggigitnya kecil sambil memejamkan mata. Rasanya, seperti baru kemarin Dilan menciumnya, dan jejaknya masih sangat membekas. Manis dan menimbulkan sensasi yang berbeda dari ciuman Leo. Ada getaran yang Sanaya sendiri belum bisa memahami. Sebuah debaran yang terkadang masih timbul tenggelam di dalam hati. Meskipun hanya sebuah ciuman, tetapi efeknya begitu dahsyat untuk gadis bermanik cokelat itu. "Aku benci kamu, Dilan... Aku benci...." Bibir Sanaya mendesahkan nama Dilan. Mengucap
"Fyuuh...." Sanaya yang baru saja masuk ke ruangannya menghela lelah, seraya menghempas punggungnya ke sofa. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaganya. Dia kemudian melirik jam digital yang ada di meja kerja. "Jam enam." Meskipun lelah, tetapi Sanaya merasa senang dengan hasil kerja para tim di Restoran ini. Apalagi, kesan dan komentar yang diberikan pelanggan untuk pelayanan di sini. Hari ini kebetulan ada yang menyewa Restoran untuk acara lamaran. Dan, semuanya berjalan lancar tanpa kendala suatu apa pun. "Ini berkat kerja keras Dilan. Kalo gak ada dia mungkin aku yang bakal kesulitan mengelola restoran yang hampir bangkrut ini," gumam Sanaya memuji kerja keras dan andil yang diberi Dilan untuk Restoran ayahnya. Ternyata, dia baru sadar, jika peran Dilan sangat penting di hidupnya. Selain sering membela dan melindungi, Dilan juga mendampinginya hingga di titik sekarang. "Mbak?" panggil Dilan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Sanaya terhenyak sesaat, kemudian menatap soso