“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.
“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.
Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.
“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang memasang sepatu.
Aku merasa seperti seorang pengemis. Apakah pantas jika aku meminta-minta sampai seperti ini, terhadap orang yang kusebut sebagai suami?
Mas Ardan menatapku sekilas, lantas berkata, “Kalau aku bilang segitu cukup, ya cukup. Sudah, aku mau berangkat!” Ia berlalu begitu saja tanpa mengucap salam.
Suara mobil terdengar keluar dari pekarangan. Aku masih terpaku di tempat, menatap amplop yang sedari tadi digenggam. Apa yang harus aku lakukan?
“Num … Shanum!” Suara ibu terdengar memanggil. Aku bergegas menuju ruang tengah.
“Ya, Bu. Ada apa?” Kudekati ia yang masih duduk di depan TV.
“Ardan, sudah berangkat?” tanyanya.
“Sudah, Bu. Memangnya, kenapa?” Aku balik bertanya.
“Num, Ibu kepingin sekali makan bakso yang di ujung gang itu. Rasanya sudah lama, tidak makan. Belikan ibu ya, Num,” pinta Ibu dengan wajah sendu.
Aku memaksakan senyum, “Iya, Bu. Nanti siang kita beli, ya.” Aku sungguh tak tega pada Ibu.
Ya Tuhan, bantulah aku berlapang dada. Sepertinya, bulan ini aku harus memakai lebih banyak uang tabunganku.
*
Aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah sejak tadi. Waktu menunjukkan jam setengah delapan, sebentar lagi waktunya sarapan. Hari Sabtu, Mas Ardan libur kerja. Biasanya, saat libur ia akan menghabiskan waktunya untuk bermain game atau keluar bersama teman-temannya. Jangan harap ia akan mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Tidak, tidak akan. Pernah sekali aku meminta, tapi ditolaknya mentah-mentah dengan alasan capek. Padahal, siangnya dia keluar untuk bermain.
Kadang, aku kasihan dengan Ibu yang memiliki anak seperti Mas Ardan. Pastilah Ibu menyimpan keinginan, tapi tak bisa ia ungkapkan. Dulu, aku pikir sikap Mas Ardan akan berubah seiring waktu. Nyatanya, tidak. Ia tetap dengan sikapnya yang menyebalkan dan seenaknya sendiri.
Aku baru saja akan menjemur pakaian, saat terdengar suara ketukan di pintu depan. Sedikit tergesa, kuletakkan kembali keranjang di dekat mesin cuci. Suara ketukan masih terdengar, diiringi dengan ucapan salam.
“Assalamu’alaikum! Dan, Ardan!”
“Wa’alaikumsalam!” jawabku ambil memutar kunci. Setelah pintu terbuka, nampaklah wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Maaf, cari siapa?” tanyaku.
Lelaki itu memandangiku dari atas hingga bawah. Aku merasa sedikit risih dibuatnya.
“Ardannya, ada, Mbak?”
“Iya, ada. Mas siapa?” Aku menyipitkan mata.
“Oh, saya temannya. Tolong panggilkan Ardan ya, Mbak. Bilang saja, nama Dodi!” pinta lelaki itu.
“Oh, iya. Tunggu ya, Mas. Silakan duduk,” ucapku sebelum berlalu. Lelaki itu kemudian duduk di kursi teras.
Kumasuki kamar. Terlihat Mas Ardan masih terpejam. Tadi, saat subuh sudah kubangunkan ia. Suamiku itu hanya menggeliat sebentar, kemudian tidur lagi.
“Mas, Mas, bangun!” panggilku sambil mengguncang bahunya. Tak ada respons sama sekali.
“Mas! Bangun, ada yang nyariin!” Kutepuk pipinya.
Matanya mengerjap, lalu terbuka. “Mau apa?” tanyanya dengan suara parau.
“Bangun, ada yang namanya Dodi nyariin!” ucapku.
Ia lantas duduk sebelum akhirnya turun dari ranjang. Tanpa bicara, ia mencuci muka sebelum keluar.
Segera kusiapkan dua cangkir teh. Satu untuk Mas Ardan dan satu untuk tamunya. Hal yang selalu aku lakukan, jika Mas Ardan kedatangan tamu. Setelah siap, aku bergegas ke depan dengan dua cangkir teh di tangan. Terdengar suara obrolan dari dua lelaki di teras.
“Bro, yang tadi itu, siapa? Istri kamu?” tanya Dodi sedikit berbisik, tapi terdengar di telingaku.
Aku menghentikan langkah. Mereka membicarakan aku?
“Iya … emang kenapa?” Suara Mas Ardan terdengar malas.
“Ya ampun, kupikir pembantu kamu, Bro! Maaf-maaf, nih, Bro! Ahahaha! Secara, penampilannya aja gitu. Kucel, pakai daster lagi!”
Tak lama, terdengar suara tawa dari kedua lelaki itu. Aku mematung. Dadaku terasa seperti ditusuk demi mendengar hinaan yang baru saja dilontarkan teman Mas Ardan.
“Bisa aja kamu! Pembantu plus-plus namanya!” sahut Mas Ardan setelah berhenti tertawa.
“Pantes aja kamu sering unggah foto sama yang bening-bening di Bukuwajah. Ternyata, yang di rumah, bentuknya seperti itu!” timpal lelaki bermulut lemas bernama Dodi itu.
Sekali lagi suara derai tawa mereka terdengar. Sakit, hatiku sakit. Alih-alih membela, Mas Ardan malah tertawa saat temannya mengolok-olokku. Dengan langkah pelan, aku kembali ke dalam. Usai meletakkan cangkir berisi teh panas ke washbak, kumasuki kamar dengan perasaan sangat terhina. Sambil menyeka air mata, kubenamkan kepala di bantal yang seketika basah.
***
Perlahan bangkit, kudekati cermin panjang yang menempel di pintu lemari pakaian. Benda besar itu seketika memantulkan bayanganku. Kuamati penampilan dari atas hingga bawah. Tak ada satu senti pun yang terlewatkan.Wajah yang dulu mulus terawat, sekarang terlihat kusam dan mulai menampakkan bintik-bintik hitam. Ada pula beberapa bekas jerawat yang baru kering di dahi. Kantong mata terlihat semakin jelas. Kuraba sekilas pipiku, terasa kasar sekali.Belum lagi, lemak di bawah dagu dan lengan yang semakin bertambah. Jangan tanya rambutku seperti apa. Keras dan mengembang setelah sekian lama tak tersentuh creambath. Hanya disisir sekenanya setiap hari, diikat ke belakang, dan dicuci dengan shampo sachet yang kubeli di warung.Sedih, aku sedih melihat penampilanku yang sekarang. Di usiaku yang masih tergolong muda, aku sudah terlihat seperti berumur empat puluh tahunan.Daster gembrong dan berwarna sedikit pudar karena terlalu sering dicuci-pakai, melekat di badan. Semakin menyempurnakan pe
“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.*Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku la
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad
Pagi ini Mas Ardan pergi kerja tanpa menyantap sarapan yang aku hidangkan. Menghadap ke dapur pun dia seperti tak sudi. Biarlah, kalau dia lapar pasti akan mencari makan sendiri di luar. Yang penting, aku masih mengerjakan kewajibanku seperti biasanya.Dengan sisa uang yang ditarik dari ATM kemarin, aku masih bisa membeli sayur mayur dan lauk pauk. Sedangkan sisanya, aku siapkan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. Mas Ardan yang pelit itu, benar-benar tak meninggalkan sepeser uang pun untukku dan Ibu.Saat keluar dari pintu rumah tadi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara bantingan pintu yang menjadi penanda bahwa dia sudah pergi.Untungnya, Ibu seperti tak terganggu dengan sikap suamiku itu. Kami sama-sama sudah paham. Jika keinginannya tak dipenuhi, maka pastilah Mas Ardan akan marah, uring-uringan sampai berhari-hari. Seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan saja. Sungguh kekanak-kanakan.“Num … kamu hari ini sudah mulai mau mencari kerja?
Bisa kubayangkan seperti apa rupa Mas Ardan saat ini. Pastilah wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Dadanya turun naik, karena tersulut emosi. Ya Tuhan, rasanya aku hampir tak percaya, kalau ia adalah suamiku.Apakah berdosa, kalau kupanggil ia Si Sumbu Pendek? Biasanya aku selalu diam dan hanya membaca saja saat Mas Ardan menuliskan sesuatu yang menyindirku secara tak langsung. Namun, hari ini aku ingin sedikit bermain-main dengannya.Aku ingin tahu, sampai sejauh mana ia bisa bertahan tanpa menunjukkan amarah. Menit-menit berlalu, aku menjadi tak sabaran. Berulang kali kucek status WAnya, belum ada yang baru.Keluar kamar, aku berlalu ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat Ibu sedang berada di halaman belakang rumah, menyiangi tanaman bunga anggreknya yang sedang mekar. Meski sudah renta, Ibu masih telaten merawat tanaman kesayangnnya itu.Aku berhenti sejenak memperhatikan, lantas kembali lagi ke kamar. Segera, kuraih ponsel yang tadi tergeletak di lantai.[Cuci mata dulu, bersama ya
Dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati, kuangkat panggilan telepon dari Mas Teguh.“Halo, Asalamu’alaikum, Mas,” sapaku.“Wa’alaikumsalam, Num. Apa kabar kalian di sana?” balas Mas Teguh.“Alhamdulillah baik, Mas. Ada apa menelpon, Mas?”Tumben sekali Mas Teguh menelepon. Selama ini, kami sangat jarang berkomunikasi seperti ini. Biasanya Mas Teguh hanya menelepon dan bertanya kabar lewat Mas Ardan saja.“Sudah seminggu ini, Mas coba menelepon Ardan, tapi tidak pernah diangkat. Pesan WA juga tidak pernah dibalas. Mas jadi tidak tahu kabar Ibu. Apa Ibu ada, Num?” ujar Mas Ardan panjang lebar.Aku menghela napas. Memang Mas Ardan itu kadang tingkahnya tak bisa ditebak. Apa susahnya mengangkat telepon?“Ibu alhamdulillah sehat, Mas. Hari Sabtu kemarin baru Shanum ajak kontrol. Mas Teguh, mau ngobrol sama Ibu?” tawarku. Pasti dia khawatir dengan kondisi Ibu sekarang.“Boleh, boleh, Num. Sudah lama Mas tidak dengar suara Ibu,” jawabnya cepat.“Oke, tunggu, Mas.” Aku segera keluar kamar un