Share

2. Tamu Tak Beradab

“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.

“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.

Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.

“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang memasang sepatu.

Aku merasa seperti seorang pengemis. Apakah pantas jika aku meminta-minta sampai seperti ini, terhadap orang yang kusebut sebagai suami?

Mas Ardan menatapku sekilas, lantas berkata, “Kalau aku bilang segitu cukup, ya cukup. Sudah, aku mau berangkat!” Ia berlalu begitu saja tanpa mengucap salam.

Suara mobil terdengar keluar dari pekarangan. Aku masih terpaku di tempat, menatap amplop yang sedari tadi digenggam. Apa yang harus aku lakukan?

“Num … Shanum!” Suara ibu terdengar memanggil. Aku bergegas menuju ruang tengah.

“Ya, Bu. Ada apa?” Kudekati ia yang masih duduk di depan TV.

“Ardan, sudah berangkat?” tanyanya.

“Sudah, Bu. Memangnya, kenapa?” Aku balik bertanya.

“Num, Ibu kepingin sekali makan bakso yang di ujung gang itu. Rasanya sudah lama, tidak makan. Belikan ibu ya, Num,” pinta Ibu dengan wajah sendu.

Aku memaksakan senyum, “Iya, Bu. Nanti siang kita beli, ya.” Aku sungguh tak tega pada Ibu.

Ya Tuhan, bantulah aku berlapang dada. Sepertinya, bulan ini aku harus memakai lebih banyak uang tabunganku.

*

Aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah sejak tadi. Waktu menunjukkan jam setengah delapan, sebentar lagi waktunya sarapan. Hari Sabtu, Mas Ardan libur kerja. Biasanya, saat libur ia akan menghabiskan waktunya untuk bermain game atau keluar bersama teman-temannya. Jangan harap ia akan mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Tidak, tidak akan. Pernah sekali aku meminta, tapi ditolaknya mentah-mentah dengan alasan capek. Padahal, siangnya dia keluar untuk bermain.

Kadang, aku kasihan dengan Ibu yang memiliki anak seperti Mas Ardan. Pastilah Ibu menyimpan keinginan, tapi tak bisa ia ungkapkan. Dulu, aku pikir sikap Mas Ardan akan berubah seiring waktu. Nyatanya, tidak. Ia tetap dengan sikapnya yang menyebalkan dan seenaknya sendiri.

Aku baru saja akan menjemur pakaian, saat terdengar suara ketukan di pintu depan. Sedikit tergesa, kuletakkan kembali keranjang di dekat mesin cuci. Suara ketukan masih terdengar, diiringi dengan ucapan salam.

“Assalamu’alaikum! Dan, Ardan!”

“Wa’alaikumsalam!” jawabku ambil memutar kunci. Setelah pintu terbuka, nampaklah wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Maaf, cari siapa?” tanyaku.

Lelaki itu memandangiku dari atas hingga bawah. Aku merasa sedikit risih dibuatnya.

“Ardannya, ada, Mbak?”

“Iya, ada. Mas siapa?” Aku menyipitkan mata.

“Oh, saya temannya. Tolong panggilkan Ardan ya, Mbak. Bilang saja, nama Dodi!” pinta lelaki itu.

“Oh, iya. Tunggu ya, Mas. Silakan duduk,” ucapku sebelum berlalu. Lelaki itu kemudian duduk di kursi teras.

Kumasuki kamar. Terlihat Mas Ardan masih terpejam. Tadi, saat subuh sudah kubangunkan ia. Suamiku itu hanya menggeliat sebentar, kemudian tidur lagi.

“Mas, Mas, bangun!” panggilku sambil mengguncang bahunya. Tak ada respons sama sekali.

“Mas! Bangun, ada yang nyariin!” Kutepuk pipinya.

Matanya mengerjap, lalu terbuka. “Mau apa?” tanyanya dengan suara parau.

“Bangun, ada yang namanya Dodi nyariin!” ucapku.

Ia lantas duduk sebelum akhirnya turun dari ranjang. Tanpa bicara, ia mencuci muka sebelum keluar.

Segera kusiapkan dua cangkir teh. Satu untuk Mas Ardan dan satu untuk tamunya. Hal yang selalu aku lakukan, jika Mas Ardan kedatangan tamu. Setelah siap, aku bergegas ke depan dengan dua cangkir teh di tangan. Terdengar suara obrolan dari dua lelaki di teras.

“Bro, yang tadi itu, siapa? Istri kamu?” tanya Dodi sedikit berbisik, tapi terdengar di telingaku.

Aku menghentikan langkah. Mereka membicarakan aku?

“Iya … emang kenapa?” Suara Mas Ardan terdengar malas.

“Ya ampun, kupikir pembantu kamu, Bro! Maaf-maaf, nih, Bro! Ahahaha! Secara, penampilannya aja gitu. Kucel, pakai daster lagi!”

Tak lama, terdengar suara tawa dari kedua lelaki itu. Aku mematung. Dadaku terasa seperti ditusuk demi mendengar hinaan yang baru saja dilontarkan teman Mas Ardan.

“Bisa aja kamu! Pembantu plus-plus namanya!” sahut Mas Ardan setelah berhenti tertawa.

“Pantes aja kamu sering unggah foto sama yang bening-bening di Bukuwajah. Ternyata, yang di rumah, bentuknya seperti itu!” timpal lelaki bermulut lemas bernama Dodi itu.

Sekali lagi suara derai tawa mereka terdengar. Sakit, hatiku sakit. Alih-alih membela, Mas Ardan malah tertawa saat temannya mengolok-olokku. Dengan langkah pelan, aku kembali ke dalam. Usai meletakkan cangkir berisi teh panas ke washbak, kumasuki kamar dengan perasaan sangat terhina. Sambil menyeka air mata, kubenamkan kepala di bantal yang seketika basah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status