“Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa
Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya
Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k
Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu
Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk
Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing