Bab 79"Tapi Ril, siapa yang akan menjaga keluargaku?" Amina sadar ia butuh uang, tetapi dia tidak bisa meninggalkan keluarganya dalam keadaan kacau seperti ini.Sebuah dilema dan keputusan sulit yang harus ia putuskan, memikirkan antara karir dan keluarganya. Keduanya sama – sama penting baginya saat ini."Amina tenang, kami semua ada di sini untuk membantumu," kata Bude Surti."Iya Mba Amina, serahkan pada kami. Kami akan bergilir menjaga Pakde Mukidi dan mencari Bude Mukidi, " lanjut Mas Pur.Amina bimbang."Besok Ayang harus masuk sekolah juga." Eril semakin memperkuat alasannya untuk mengajaknya kembali ke Jakarta.Amina tersadarkan. Ayang dari kemarin lepas dari ingatannya."Ril, bisakah kamu undur meetingnya barang sehari? Aku tidak bisa memutuskan mendadak begini?" Ia memilin – milin ujung kemejanya."Tidak bisa! Ibu Hesti pemilik RTV akan terbang ke Yunani besok siang setelah meeting bersama kita."Amina tercenung. Dia menarik napas panjang."Berangkatlah Amina, kami akan memb
Bab 80Amina tergagap mendengar permintaan Bapak. Dengan kejadian beruntun yang dilaluinya. Apalagi dengan teror Jazuli yang masih mengintainya. Sulit bagi perempuan itu untuk jauh dari Ayang.Namun, jika dia menolak permintaan Bapak. Amina khawatir akan membuat kesehatannya semakin memburuk.Perempuan cantik itu memandang Eril yang juga menatapnya. Dari sorot mata gadis itu terlihat jelas ia meminta dukungan pria manis itu.Samar, Amina melihat Eril menggelengkan kepalanya.Eril mendekat ke Bapak. "Pak, kami tidak lama di Jakarta, paling cuma 3 hari. Setelah selesai urusan di sana kami segera kembali.""Iya Pak, lagian Bapak masih sakit, kasihan Ayang kalau harus tidur di rumah sakit.""Jangan rayu Bapak, Bapak mau Ayang tetap di sini, nemenin Bapak. Dia satu -satunya yang bisa menghibur Bapak. Titik!"Bapak yang biasanya lembut, berubah kaku dan kolokan. Wajahnya menyimpan kemarahan.Hal itu membuat posisi Amina kian terpojok.Eril meremas rambutnya. Urat - urat dikenangnya tampak m
Bab 81Amina memandang wajahnya di cermin. Meskipun make up tebal menutupi wajahnya, tetapi tak bisa menutupi sisa – sisa kelelahan yang tergambar jelas di matanya.Setibanya di Jakarta, Amina hanya tidur beberapa jam. Itupun tidak pulas. Ia masih sering terjaga dan teringat dengan Bapak dan ibunya yang belum diketemukan. “Di mana dirimu Ibu?” katanya lirih."Hey, apakah sudah siap?" sapa Eril manis. Lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan memakai celana jeans dan kemeja putih, pria itu tampak menawan."Mmm... sudah." Amina tersenyum lalu mengambil tas di atas meja. "Apa kamu bertemu Ayang, dari tadi ia belum ke sini."“Iya. Dia masih makan ice cream bersama Bik Susi di teras." Eril terus memandang Amina dengan mata rindu."Apakah mau berangkat sekarang?" tanya Amina, membuyarkan pandangan Eril. Dia melenggangkan kakinya keluar kamar.Mata Eril dibuat takjub oleh cara Amina berjalan. Perempuan itu berjalan gemulai. Terusan selutut berwarna pink muda dengan rempel detail yan
Bab 82"Bagaimana jika aku tidak mau menikah, Ril? Apakah kamu tetap mencintaiku?" ulang Amina dengan dada berdebar. Ia tahu dirinya memiliki perasaan yang sama dengan lelaki itu. Tetapi dia belum pernah menyatakan perasaannya secara terbuka.Eril memelankan mobilnya, kemudian menoleh dan menatap raut muka Amina dengan lembut. Kebetulan saat itu suara Rizky Febian mengalun lembut. Eril mengikuti sebait lagunya.Selama napas jantung ini berdetak, ku akan selalu menjagamu hingga akhir waktu."Ril, aku serius, ngapain kamu malah bernyanyi?" ujar Amina cemberut."Itulah perasaanku padamu, Amina. Aku tidak tahu apakah perasaan itu akan berubah atau tidak nanti. Tapi aku berjanji akan menjaganya di sini." Eril menunjuk dadanya.Lelaki itu tersenyum manis. "Tidak usah dipikirkan soal masa depan. Biarlah itu rahasia Allah. Lebih baik kita jalani saja setiap hari dengan suka cita. Aku tidak butuh apa – apa, aku hanya mau kamu dan anakmu berada di sisiku. Kita menjaga satu sama lain."Amina men
Bab 83Amina menaiki lift dengan terburu - buru menuju apartemennya.Wajah Bik Susi kelihatan cemas. Dia terlihat berjalan mondar - mandir di depan kamar Amina."Ayang apa masih di dalam Bik?" tanya Amina gugup. Dia melemparkan tasnya di sofa."Masih di dalam Bu, dari tadi saya panggil - panggil, tetapi Ayang tidak menyahut. Saya takut ada apa - apa."Amina memanggil - manggil nama anaknya. "Ayang, tolong buka lpintu Nak. Ini Ibu sudah datang."Sama tak ada jawaban. Amina sampai menempelkan telinganya ke pintu. Dia tak mendengar gerakan gerakan sedikitpun di dalam."Eril, bagaimana ini?" Air matanya mulai merebak. Sedangkan raut muka Amina tak bisa menyembunyikan ketakutannya."Bik, tolong ambilkan perkakas di dapur." Eril menggulung lengan kemejanya. Bik Susi melesat seperti burung mengambil apa yang diperintahkan Eril. Beberapa detik kemudian lelaki itu sibuk mencongkel pintu kamar Amina. Hingga keringatnya bergerombol di dahinya.Di belakang pemuda itu, Amina dan Bik Susi menungg
Bab 84Amina berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan pikiran mengambang. Setelah perdebatan yang diwarnai drama, akhirnya ia berhasil membujuk Ayang ikut dengannya ke Jember.Bik Susi juga diajaknya supaya bisa menjaga Ayang. Walaupun anak itu sudah mandiri, tetapi Amina merasa tenang ada orang yang membantunya menjaga Ayang.“Tolong, tidak usah diungkit soal omongan Bapak ke Ayang. Sedapat mungkin, jaga perasaan dan kesehatannya.” Eril mengingatkan.“Hmm…” Amina menjawab pendek. Setibanya di Bandara Jember, pikirannya melayang pada sang Ibu. Selama beberapa hari ini ia belum mendengar kabar tentangnya. “Apa ada berita soal Ibu?” tanya Amina dengan khawatir. Ia tahu Eril menyebarkan berita kehilangan ibunya di media sosial.“Nanti aku ceritakan setelah kita menjenguk Bapak,”Amina menangkap teka – teki dalam kalimat Eril. Perasaan takut kehilangan ibunya ia telan sendiri. “Apakah ada kabar bahagia?” Ia bertanya lagi setengah menuntut.Eril hanya tersenyum kecil. “Kamu nanti aka
Bab 85Eril kemudian mengajak Dokter Kartika bicara lebih pribadi supaya tidak terdengar orang lain."Tolong jelaskan jelaskan dengan rinci, apakah kejiwaan Ibu Amina sulit disembuhkan?""Bisa, tapi Ibu Amina perlu perhatian khusus, dia tidak boleh stres dan tertekan. Selama ini dia memendam masalah, dan tekanan bertubi-tubi yang dialaminya membuat jiwa Ibu Amina tak kuat dan akhirnya meledak."Eril manggut - manggut. "Apa yang harus Amina lakukan Dok?""Untuk sementara, Ibu Amina harus dikirim ke panti rehabilitasi jiwa dulu. Dia harus berada di lingkungan kondunsif. Nanti saya akan berikan rekomendasi.” Dokter Kartika memandang Eril.“Setelah kondisinya membaik, sebaiknya Amina membawanya ke Jakarta. Berada di dekat cucu dan anak yang dicintainya akan mempercepat proses kesembuhannya,” lanju Dokter Kartika.Eril menggigit bibir bawahnya. Apartemen Amina sempit, dan hanya memiliki satu kamar. Jika dia mengajak ibunya, maka harus pindah ke tempat yang lebih luas. Wanita itu juga harus
Bab 86"Istighfar Pak. Apa salah Ibu?" teriak Amina gusar. Ia tidak suka melihat sikap Bapak yang mempermalukan ibunya di depan banyak orang. Perempuan itu lalu merangkul Ibu dan anaknya yang mulai menangis ketakutan.Dada Amina bergemuruh dan bersiap - siap meledak melihat wajah bapaknya yang berubah datar dan bengis.Ibu tidak bersuara dia diam dengan muka polos. Dia malah memakan kue yang dilempar Bapak kepadanya.Emosi Bapak naik melihat sikap masa bodoh Ibu. Dia mengambil kue nogosari yang tercecer di lantai. Kemudian pria tua yang baru sembuh dari sakit itu satu tangannya memegang kepala Ibu dan tangan lainnya menyumpalkannya kue ke mulut Ibu.“Makan ini perempuan gila! Kamu mau lagi huh!”Mulut Ibu kewalahan memakan kue yang dijejalkan suaminya. Matanya sampai melotot.Amina ketakutan.Sementara ibu – ibu tetangga yang membantu di situ tertegun dengan sikap Bapak yang lain dari biasanya. Lelaki yang sangat memuja istrinya, tiba – tiba berulah dan tampak sangat membenci perempua