Bab 84Amina berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan pikiran mengambang. Setelah perdebatan yang diwarnai drama, akhirnya ia berhasil membujuk Ayang ikut dengannya ke Jember.Bik Susi juga diajaknya supaya bisa menjaga Ayang. Walaupun anak itu sudah mandiri, tetapi Amina merasa tenang ada orang yang membantunya menjaga Ayang.“Tolong, tidak usah diungkit soal omongan Bapak ke Ayang. Sedapat mungkin, jaga perasaan dan kesehatannya.” Eril mengingatkan.“Hmm…” Amina menjawab pendek. Setibanya di Bandara Jember, pikirannya melayang pada sang Ibu. Selama beberapa hari ini ia belum mendengar kabar tentangnya. “Apa ada berita soal Ibu?” tanya Amina dengan khawatir. Ia tahu Eril menyebarkan berita kehilangan ibunya di media sosial.“Nanti aku ceritakan setelah kita menjenguk Bapak,”Amina menangkap teka – teki dalam kalimat Eril. Perasaan takut kehilangan ibunya ia telan sendiri. “Apakah ada kabar bahagia?” Ia bertanya lagi setengah menuntut.Eril hanya tersenyum kecil. “Kamu nanti aka
Bab 85Eril kemudian mengajak Dokter Kartika bicara lebih pribadi supaya tidak terdengar orang lain."Tolong jelaskan jelaskan dengan rinci, apakah kejiwaan Ibu Amina sulit disembuhkan?""Bisa, tapi Ibu Amina perlu perhatian khusus, dia tidak boleh stres dan tertekan. Selama ini dia memendam masalah, dan tekanan bertubi-tubi yang dialaminya membuat jiwa Ibu Amina tak kuat dan akhirnya meledak."Eril manggut - manggut. "Apa yang harus Amina lakukan Dok?""Untuk sementara, Ibu Amina harus dikirim ke panti rehabilitasi jiwa dulu. Dia harus berada di lingkungan kondunsif. Nanti saya akan berikan rekomendasi.” Dokter Kartika memandang Eril.“Setelah kondisinya membaik, sebaiknya Amina membawanya ke Jakarta. Berada di dekat cucu dan anak yang dicintainya akan mempercepat proses kesembuhannya,” lanju Dokter Kartika.Eril menggigit bibir bawahnya. Apartemen Amina sempit, dan hanya memiliki satu kamar. Jika dia mengajak ibunya, maka harus pindah ke tempat yang lebih luas. Wanita itu juga harus
Bab 86"Istighfar Pak. Apa salah Ibu?" teriak Amina gusar. Ia tidak suka melihat sikap Bapak yang mempermalukan ibunya di depan banyak orang. Perempuan itu lalu merangkul Ibu dan anaknya yang mulai menangis ketakutan.Dada Amina bergemuruh dan bersiap - siap meledak melihat wajah bapaknya yang berubah datar dan bengis.Ibu tidak bersuara dia diam dengan muka polos. Dia malah memakan kue yang dilempar Bapak kepadanya.Emosi Bapak naik melihat sikap masa bodoh Ibu. Dia mengambil kue nogosari yang tercecer di lantai. Kemudian pria tua yang baru sembuh dari sakit itu satu tangannya memegang kepala Ibu dan tangan lainnya menyumpalkannya kue ke mulut Ibu.“Makan ini perempuan gila! Kamu mau lagi huh!”Mulut Ibu kewalahan memakan kue yang dijejalkan suaminya. Matanya sampai melotot.Amina ketakutan.Sementara ibu – ibu tetangga yang membantu di situ tertegun dengan sikap Bapak yang lain dari biasanya. Lelaki yang sangat memuja istrinya, tiba – tiba berulah dan tampak sangat membenci perempua
Bab 87Amina mendengarkan obrolan tetangganya itu sepintas lalu. Dia tidak terlalu membawa informasi tersebut ke dalam hati karena pikirannya sedang fokus memikirkan Ayang."Bagaimana Bik, apa ada respon dari Ayang?" tanya Amina setengah berbisik.Bik Susi masih menempelkan telinga kirinya ke pintu kamar Bapak.Tangis Ayang sudah terhenti, dan dia mendengar percakapan anak itu dengan kakeknya."Kek, Ayang sakit perut. Ayang mau ke toilet.""Tahan dulu, masih ada orang berdoa di luar."Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan yang tertata di pintu."Apa itu Bik?""Ayang bilang, kakeknya main hape."Bik Susi berusaha berkomunikasi dengan Ayang. Suara ketukannya bersinergi dengan tahlil yang dilantunkan oleh para undangan.Di dalam kamar kakeknya, Ayang mencari akal supaya bisa keluar tanpa menimbulkan keributan. Dia duduk di belakang pintu seraya memperhatikan kakekknya. Lelaki tua itu masih sibuk dengan ponselnya, sesekali dia tertawa mengikik.Kemudian, prlia tua beberapa kali
Bab 88Mendengar perkataan Bude Surti. Amina bergegas berlari ke rumah tetangganya itu dan di sana, kaki wanita itu lemas. Di atas amben, dia melihat ibunya terbujur dan Dokter Kartika terlihat lemas duduk di samping amben. Kesedihan tampak sekali di wajahnya.“Maafkan aku Amina, aku tak bisa menolong ibumu.” Dokter cantik itu merangkul Amina yang membeku.Melihat jasad ibunya yang masih hangat. Amina seperti orang linglung. Hanya air matanya yang tumpah laksana air terjun. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Baru beberapa menit yang lalu ia melihat ibunya segar bugar, kini wanita yang melahirkannya itu telah berpulang dan tak kan kembali.Takdir sungguh mengejutkan!Eril, Bude Surti disusul Ayang dan Bik Susi kemudian masuk. Eril kemudian memeluk Ayang dan Amina. Mulut lelaki itu terkunci. Dia bisa merasakan kesakitan luar biasa pada wanita yang dicintainya itu.Kematian ibunya Amina yang mendadak menghebohkan semua orang yang masih berada di rumah Amina. Suasana berubah ch
Bab 89“Masak sih? Kamu tahu dari mana?”“Dari gossip di warung. Katanya Amina itu dulu mau diambil sama Pakde Sule dan Bude Surti, tapi Yu Mukidi tidak mengijinkan.”“Pantesan saja, wajah Amina cantik sekali, kulitnya putih bersih, beda dengan almarhum Ajeng. Aku yakin ibunya Amina pasti cantik sekali. Tapi ngomong – ngomong di mana sekarang ibunya Amina. Apa dia pernah nyari Amina?”“Soal itu aku tidak tahu. Aku hanya kesel sama kelakuan Kang Mukidi, apalagi dia sekarang sedang tergila – gila sama Asih – keponakannya Yu Mukidi. Katanya nih, Yu Mukidi pernah memergoki mereka sedang ena – ena di rumah Asih.”“Hah, yang bener? Berani amat Asih. Aduh, kalau aku sudah kucincang kemaluan suaminya. Terus… terus?”“Yu Mukidi hanya diam, dia pulang ke rumahnya ngurus Ajeng.”“Hih, gemes aku. Kok gak langsung dilabrak saja sih Asih, masak dia gak punya malu gitu. Gimana juga perasaan adik Yu Mukidi melihat kakak iparnya menggagahi keponakannya sendiri.”“Mana peduli mereka. Yang penting merek
Bab 90Kedua alis Amina tersentak bersama – sama. Senyum wanita itu hilang ditelan gelombang kemarahan. “Saya tidak akan memberikan uang sesenpun untuk Bapak! Apalagi untuk menikahi Asih!”Dia kemudia berdiri di samping Asih. “Aku tak menyangka, kamu bisa sekejam itu pada ibuku, Sih! Apa kamu ingat, Ibu rela mengais sampah supaya bisa membantumu membayar sekolahmu! Tapi apa balasanmu sekarang padanya!” ujar Amina dengan mata berkilat. Muak sekali wanita itu melihat sepupunya Asih berdiri mesra dengan bapaknya.Amina mengamati penampilan Asih. Dia memang lebih terawat daripada sebelumnya. Rambutnya dicat merah dengan alis terukir rapi, mukanya glowing dengan lipstick merah menggoda.Asih melengos. “Aku gak minta. Bude saja yang minta aku sekolah dan asal kamu tahu, aku mencintai Pakde dengan tulus.” Matanya mengerling manja pada Bapak, tangannya memegang dada Bapak. “Aku cinta kamu sayang.”Amina ingin muntah melihatnya. “Persetan dengan cintamu. Aku tak percaya itu. Kamu hanya mengeja
Bab 91Sebelum pentungan kayu itu menghantam kepala Amina. Kaki Bik Susi naik ke atas dan sekuat tenaga menendang tangan Bapak hingga pentungan itu terpental membentur pintu kaca almari.Brak!! Akibatnya lemari kaca itu pecah berkeping-keping. Tangan Bapak kesakitan. “Kurang ajar kamu! Berani – beraninya melawanku!” cerca Bapak marah.Amina melongo. Ia belum sadar dengan apa yang terjadi."Bapak yang kelewatan. Ibu Amina itu anak Bapak. Kenapa Bapak malah mau mencelakai dia!” Bik Susi berani menatap mata Bapak. “Kita sebaiknya cepat pergi dari sini Bu!' Bik Susi menarik tangan Amina.Bapak sangat marah! Emosi lelaki itu memuncak. Matanya jalang melihat Amina dan Bik Susi keluar dari rumahnya."Dasar anak setan, sikapmu mirip sama ibumu!" Bapak mengejar mereka sampai di depan pintu.Asih keluar kamar. Dia menutupi tubuhnya dengan selimut. "Sudahlah Mas, biarkan saja mereka pergi. Kita bersenang - senang saja yuk di dalam." Kepalanya ia sandarkan pada dada Bapak."Sayang, Amina belum me