Share

Permainan Maut

"Seharusnya Putera Mahkota ada di sana juga, tapi aku tidak yakin dia akan datang. Kupikir, dia adalah orang yang tertutup dan jarang keluar. Sebenarnya ada beberapa alasan juga yang menyebabkan ia sebaiknya tidak banyak pergi bertemu orang lain. Kau tahu? Putera Mahkota itu adalah sosok yang aku ceritakan tadi malam. Yang aku dengar, perangainya pun sangat dingin dan tak berperasaan."

"Sosok yang kau ceritakan semalam?" Sejujurnya Zhura tidak ingat.

"Mereka mulai membaca mantra!" Seorang gadis berambut cokelat yang berdiri di baris paling depan tiba-tiba berseru. Zhura lantas mengedarkan pandangan, mengolah situasi. Para gadis dari kalangan biasa terlihat panik, sementara gadis-gadis bangsawan mulai mempersiapkan senjata. Yang Zhura lakukan hanya melongo karena yang ia punya hanya peniti di baju yang kebesaran. Sekarang ia bahkan tidak memegang apapun selain doa-doa yang terus dipanjatkan. Zhura berusaha tenang tapi rasa panik terus menggelayut ketika pria dengan jubah biru gelap mulai membaca selembar kertas di tangannya.

"Zhura, jangan khawatir. Kita akan melewati ini bersama-sama," ujar Inara seraya menggenggam tangan Zhura, seolah-olah elf itu tahu apa yang tengah gadis zamrud pikirkan. Zhura melihat ketulusan pada mata gelap Inara. Lekas ia anggukkan kepala dua kali, lalu mengeratkan genggaman tangan padanya. Ia tidak merasa aman, tapi bersama Inara, dia merasa terlindungi. Hanya saja, perasaan tenang yang dibawa gadis itu sedikit menguap karena pemandangan sekumpulan centaurus yang berbaris rapi di sisi lapangan. Mata mereka ditutup oleh selapis kain bewarna hitam dengan tombak panjang yang ada di tangan masing-masing.

"Apa yang akan mereka lakukan di sana?"

"Jangan banyak bertanya, siapkan saja kakimu karena yang harus kau lakukan hanyalah berlari," jelas si gadis merah. Zhura menoleh ke arah Valea yang baru saja berujar, gadis merah itu sibuk melilitkan secarik kain panjang pada lengannya dengan kencang. Suara dentuman tanpa aba-aba datang dengan begitu keras menggema, dalam sepersekian detik udara tiba-tiba menjadi panas seakan padang rumput ini terkena radiasi ledakan inti atom. Zhura merasakan genggaman Inara pada tangannya pun mengerat, aura ketakutan saling bertautan di sela-sela jemari mereka.

"Hei, Inara!" Zhura mendapati gadis elf yang berdiri di samping kirinya kini memejamkan mata dengan kening membentuk kerutan. Dibuka mulut Zhura menyerukan nama gadis itu berulang kali, tapi ia tetap bergeming. Tubuhnya memang ada di sisinya, tapi jiwa Inara seolah-olah tenggelam di dalam kepalanya sendiri.

"Bersiap-siap."

Terjebak kungkungan kalut, Zhura lagi-lagi mengalihkan pandangan pada Valea. Tubuh gadis merah itu tampak kokoh dengan ancang-ancang, sementara kedua tangannya terlilit kain putih dengan sempurna. Berbeda dengan dirinya yang terlihat tegap siap, sekujur tubuh Zhura justru layu berpasrah pada apa yang mungkin saja terjadi. Pada akhirnya, Zhura tetap menjadi bagian dari ritual mengerikan ini. Hal yang ia bayangkan tentang pulang ke rumah mungkin akan menjadi sebatas harapan. Ia hadapkan wajah pada langit siang yang teriknya membakar hingga ke tulang bersama risau dan gusar. Bersama angan mengenai masa depan, ia menorehkan sedikit doa-doa pada ibu jika seandainya saja ia tidak ditakdirkan kembali ke sisinya.

"Dalam hitungan ketiga, larilah secepat yang kau bisa!"

Zhura menggigit bibir menahan umpatan yang mungkin saja akan keluar guna merutuki nasib. Dia adalah gadis yang tidak suka kegiatan fisik, jika ada sertifikat lomba atau apapun yang berhubungan dengan kinerja tubuh, maka itu adalah hasil dari paksaan ibunya. Berlari mungkin akan menjadi hal terakhir yang ingin ia lakukan dalam hidup, jika saja ia punya pilihan yang lain. Sekarang di bawah terik mentari yang hebatnya membakar hangus bumi, seratus gadis dipanggang bersama buncahnya rasa takut. Jangankan memikirkan hal yang ingin dilakukan dalam kehidupan, bisa berdiri tegap saja sudah menjadi batas ambang kekuatan.

"Satu."

Bahunya tersentak kecil menyadari hitungan pertama dimulai oleh Inara yang sebelumnya sempat membisu. Suaranya yang lembut entah bagaimana bergema merambat ke barisan gadis-gadis. Mata gelapnya sudah terbuka, kini menatap lurus ke arah sumber suara dentuman. Apa yang ada dibalik kepala hitamnya masih misteri, sementara sudut mata elf itu seperti mengerucut seolah-olah memperjelas sesuatu di kejauhan. Zhura mengangsurkan perhatian pada apa yang Inara perhatikan hanya untuk tercekat melihat para centaurus berdiri di sekeliling padang.

Aramba perunggu berdentum di kepala ketika sebuah suara tiupan terompet nyaring dibunyikan. Tidak lama setelah itu, sekumpulan centaurus di sisi lapangan mengangkat tombak mereka setinggi langit. Tangan memegang senjata panjang dengan mata yang tertutup kain. Tingkah manusia setengah hewan itu lekas membuat seluruh tubuh dan napas setiap gadis raib. Perasaan Zhura pun semakin buruk ketika ia sadar bahwa tidak ada yang bisa dilakukan selain diam bersama abu pikiran yang terus hangus oleh banyak hal.

"Dua."

Valea mengambil giliran menghitung ketika tanah tempat kami berdiri berguncang kuat. Guncangan itu datang lagi memberikan rasa familiar seakan mereka berteman dekat, tapi perasaan yang timbul di hati jauh berbeda dari guncangan di rumah kayu. Pada saat bersamaan, terdengar suara geraman yang berasal dari arah jam sembilan. Kering dan haus, siapa pun akan berpikir sesuatu yang buruk pastilah dalang dari geraman keras tersebut.

Bagian permulaan menjadi semakin gila ketika suara geraman terdengar lagi dan kali ini bukan hanya sekali. Geramannya yang mengerikan bersaut-sautan menimbulkan aura sesak pada kalut gadis-gadis yang juga sudah kalang kabut. Oksigen di padang rumput hampir habis terbagi-bagi pada ratusan gadis yang tengah panik. Dalam situasi riuh itu, mata hijau Zhura justru menangkap sosok asing yang kini duduk bersama para pangeran di podium. Keningnya menyimpul tegas mendapati penampilan pemuda itu yang jauh berbeda dari kedua pangeran lainnya.

"Tiga!"

Belum juga Zhura melihat keadaan dan situasi lebih lanjut, teriakan Inara menyeruak dengan tubuhnya yang tertarik berlari bersamanya. Ia menoleh ke belakang melihat makhluk-makhluk besar menyerbu dengan jumlah yang tidak bisa dihitung dengan jari. Kelaparan ditampilkan dengan jelas di raut makhluk-makhluk aneh itu yang membawa langkah-langkah lebar bak pelatuk. Lalu seakan timah panas yang ditembakkan dari senapan, tombak-tombak diarahkan menuju punggung para gadis dengan kecepatan tinggi.

Zhura merasakan pergelangan tangannya memerah akibat tertekan tarikan Inara. Jantung yang dipacu membuat aliran darah mengalir deras, tapi karena terhambatnya nadi akan genggaman mengakibatkan bola kepalanya seakan ingin pecah. Meskipun begitu, ia tidak punya pilihan selain terus berlari menyelamatkan diri dari segerombol makhluk mengerikan yang kini mengejar para gadis.

Napas Zhura tersengal sementara kakinya tetap melaju seakan-akan tak mengenal gravitasi. Ia tidak pernah menyangka akan sesulit ini mengimbangi kecepatan lari kedua gadis di samping. Jika dilihat dari perawakan, mereka tidaklah jauh berbeda. Harusnya jika tidak bisa mengimbangi, setidaknya Zhura tidak akan kehabisan tenaga secepat ini. Seluruh dari dirinya sudah kelelahan, tapi punggung kedua gadis di depan masih terlihat kokoh dan kuat. Di mata Zhura, Inara dan Valea seperti prajurit tangguh yang pasti tidak akan mengeluh jika disuruh lomba lari dengan citah.

Rumput-rumput berdesing di antara riuhnya gadis-gadis. Di tempat penuh kesibukan, otot telinga Zhura menegang mendengar suara geraman yang sangat dekat. Tak disangka satu dari makhluk mengerikan itu kini berlari beberapa meter di belakang mereka. Jarak yang dekat membuat semuanya terlihat jelas, makhluk itu berbentuk serigala dengan bulu merah serta ukuran yang jauh lebih besar. Namun, daripada ukuran tubuh, sepasang taring yang mencuat keluar dari bibirnya adalah satu hal telak yang membuat makhluk itu mengerikan.

"Hati-hati!"

Semuanya kian mencekam hingga sebuah tombak menancap di dekat kaki Zhura. Seakan menyusul yang pertama, tombak-tombak lain pun berdatangan. Valea berseru sembari mengambil sesuatu dari tas kecil di pinggangnya. Sedetik kemudian, ia melesatkan pisau pada serigala merah yang berlari di belakang. Sayangnya, tidak ada cukup waktu untuk menatap kagum pada gadis itu karena baru saja menumbangkan satu makhluk pengejar, semua waktu Zhura hanya tersisa untuk berlari dan berlari.

Tidak ada yang ia pikirkan selain melarikan diri sampai ketika Zhura tak sengaja menatap ke podium, perasaan marah seketika itu juga datang. Orang-orang yang bertugas sebagai saksi atau sebut saja petinggi kerajaan duduk tenang menikmati aksi pembantaian di depan mereka seolah para gadis itu anggota sirkus. Mereka disuruh berlari dari serigala mengerikan, sementara centaurus terus melempar tombak. Ia menggeleng tak habis pikir menanyakan ke mana rasa iba mereka. Jadi, ini yang namanya dikorbankan.

"Makhluk apa itu?!" Saking cepatnya berlari, dia sampai kesulitan menggerakan bibir sendiri.

"Mereka Dart. Zhura, ayo cepatlah!" jawab Inara tampak fokus pada larinya.

Mata zamrud Zhura lagi-lagi hinggap pada pemuda yang duduk bersama para pangeran. Mungkinkah ia juga putera raja? Entahlah, yang jelas tampilannya membuat eksistensi pemuda itu sungguh mencolok. "Eh?" Tubuh Zhura mengejang saat mata biru pemuda itu bersinggungan dengannya dari kejauhan. Detak jantung yang sudah di atas ambang batas entah bagaimana melonjak membuat kepala Zhura ingin meledak.

"Ah!"

Suara jeritan mengalihkan pandangannya dari sosok pemuda itu. Zhura melihat seorang gadis roboh di depannya. Tubuh mungil itu terbaring di atas rerumputan dengan tombak panjang tampak menembus dadanya. Itu terbuka menampilkan luka yang Zhura kira sangat serius jika dilihat dari darahnya yang mengenai pakaiannya. Ia tak berkutik, hanya bisa menutup mulutnya antara tak percaya atau justru tengah mencegah sesuatu keluar dari dalam perutnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
itu pangeran yg bakal nangisin Zhura
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status