Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Di antara pejaman mata, semua hal terasa menyesakkan. Selain pemandangan yang kosong, tubuhnya yang sedang beristirahat dengan nyaman tiba-tiba terasa dingin. Punggung yang dirinya baringkan kini seakan menempel di lautan es. Bulan November baru datang, tapi tempat tidur miliknya tidak pernah sebeku ini di musim dingin. Mungkin ia terlalu banyak berpikir atau memang ranjang tuanya pun berubah menjadi alas lembek dan berair, seolah-olah kini ia berbaring di tanah becek. "Kenapa sangat dingin?"Gejolak rasa penasaran memaksanya membatalkan tidur lelap untuk membuka mata. Sebelah tangannya mengambil benda yang sangat dingin di bawah kaki. "Salju?" gumamnya tertelan angin. Sekarang ia paham, permukaan lembek yang menjadi alas pembaringan ternyata memang bukan ranjangnya. Entah apakah ini mimpi atau sebenarnya dia sedang berhalusinasi, tapi tempatnya terduduk sekarang adalah dataran salju."Di mana ini?" tanyanya sambil menatap sekeliling.Bulan berwarna jingga kemerahan, langit gelap ter
Kepingan salju menempel di jendela yang memburam akibat udara dingin. Entah itu bermain atau hanya duduk-duduk santai, angka tujuh derajat celsius tampak tidak mengurangi kebahagiaan anak-anak kecil untuk berada di luar rumah. Gejolak tak tertahan meronta ingin keluar, segera ia tutup hidung dengan tisu saat bersin itu datang. Benar-benar memalukan. Setengah musim baru terlewat, tapi sudah yang kelima kalinya gadis itu demam. Dirinya memang terlahir dengan kondisi yang rentan. Melihat keasyikan anak-anak kecil periang itu, dia merasa jadi butiran nasi kering di pinggiran piring."Kapan kau akan antarkan pesanannya? Hujan salju akan turun, bisa repot kalau terjebak." Seseorang membuka suaranya, memecah lamunan Zhura."Baiklah, aku akan pergi sekarang," ujar gadis itu kemudian memakai mantel, sejujurnya mantel cokelat itu adalah milik ibunya. Selanjutnya ia mengambil kertas dan juga bungkusan roti di atas meja. Kandelir besar yang tergantung di atas bergoyang saat pintu ruangan dibuka.
"Mungkin dia pergi lewat pintu belakang?" Wanita tua itu bisa saja keluar lewat pintu belakang rumahnya. Lalu mengenai suara benda roboh tadi, Zhura pasti salah dengar, buktinya saat berkeliling tidak ada benda yang jatuh di lantai."Sial, lebih baik aku pulang saja." Ia masukan kalung belati biru itu dalam saku celana seraya berjanji akan mengembalikannya pada lain kali.Niat untuk pulang menyeruak, dia pun berjalan keluar. Semuanya berjalan lancar dalam beberapa saat bahkan saat Zhura skeptis bisa tidur nyenyak nanti. Rumah di ujung hutan, nenek dengan penampilan aneh, dan semua kejadian ini sungguh tidak biasa. Baru saja dibahas, hal gila pun terjadi. Lantai ruangan berderit. Pijakannya bergetar, Zhura seperti berdiri di antara gempa bumi. Seolah-olah menjawabnya, goncangan kuat datang. Belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tempatnya berdiri sudah merekah bersamaan dengan kayu-kayunya yang jatuh ke bawah."Akh!" Zhura mengangkat sebelah kaki untuk menyelamatkan diri, tapi terl
"Aaakh! Kenapa ada centaurus?!" tanya gadis itu mengambil langkah mundur."Dasar manusia bodoh! Jangan samakan aku dengan mereka! Aku ini satir!" Dia mengikatkan tali ke tangan Zhura. Gadis itu menelan ludahnya menyadari sekawanan makhuk yang sama ternyata berdiri di sekitar. Tangan mereka menahan gadis-gadis lain, seolah baru saja menangkap kumpulan narapidana yang kabur dari sel. Menatap mereka, kandung kemih Zhura mendadak penuh, jadi selama ini dirinya asik berjalan di sekitar makhluk-makhluk aneh ini. Setelah dipikir-pikir, dihantui arwah penasaran jauh lebih baik."Sekarang waktunya kembali ke tempatmu! Sayang sekali kau menjadi budak mereka, padahal gadis sepertimu pasti laku keras di pasar," ungkap satir itu menatapnya dengan tatapan menjijikkan."Kau pikir aku sayuran?" tanya Zhura gemetar.Karena penasaran, dia memberanikan diri menatap bagian bawah satir di depannya. Seluruh jiwa kerohaniannya bergema melihat pemandangan menjijikkan di sana. Polos sekali Zhura yang menghara
"Paman, lepaskan aku! Kau salah membawa orang! Aku bukan budak!" seru Zhura kepada satir yang bertugas sebagai kusir."Diamlah!" Dia menyahut, lalu kembali menatap ke depan. "Hei, kau bodoh, ya?!" Zhura menghentakkan kaki beberapa kali pada lantai kereta. Peduli setan pada gadis-gadis di sebelahnya yang terganggu, ia akan berusaha keluar dari kereta buluk ini untuk mencari jalan pulang. Fakta bahwa tempat tujuan kereta ini mungkin adalah akhir riwayatnya membuat Zhura semakin gencar minta dilepaskan. "Paman, dengarkan aku! Aku hanya kebetulan lewat di hutan itu dan tidak ada hubungan apapun dengan mereka. Lihatlah, aku bahkan tidak mengenal siapapun di sini!"Seorang gadis asing yang duduk di sampingnya menyela, "Aku juga tidak mengenal siapa pun di sini."Mata Zhura mengerjap. Ia menutup bibir rapat-rapat menahan umpatan yang membahayakan nama baik. Di dalam kereta kini ada sepuluh gadis yang duduk bersamanya. Mereka adalah gadis-gadis yang ditangkap di hutan berkabut perak tadi. Be